SEBUAH perusahaan menawarkan solusi wisata virtual yang luar biasa, yang membawa wisatawan kembali ke masa lalu—bukan hanya melihat, tapi juga merasakan. “Echo City Tours” namanya yang menjanjikan pengalaman imersif penuh, lengkap dengan replikasi kuliner sejarah yang sangat akurat. Namun, apa jadinya jika keakuratan itu melampaui batas, dan setiap gigitan hidangan virtual membawa wisatawan pada memori dan emosi orang-orang yang pernah hidup di masa lalu?
Ikuti petualangan Kaito, seorang food blogger skeptis, saat ia menemukan bahwa di balik cita rasa sempurna, tersembunyi sebuah jejak kesadaran yang mengganggu, mempertanyakan batas antara simulasi dan realitas.
—
“Ini omong kosong,” gumam Kaito, jari-jarinya menari di atas interface kaca. “Ribuan dolar untuk melihat simulasi kota yang sudah rata dengan tanah? Dan makan makanan yang… virtual?”
Di hadapannya, presentasi hologram berkilau dari “Echo City Tours” memproyeksikan gambar Kerajaan Vanaloka sebelum Bencana Besar, kanal-kanal yang biru jernih, gondola yang meluncur anggun, dan senyum ramah para NPC yang realistis. Tapi Kaito, seorang food blogger kondang dengan nama samaran “The Skeptical Palate,” dikenal karena ulasannya yang jujur dan tak kenal ampun. Ia hanya datang karena followers-nya menantangnya untuk mencoba pengalaman paling ‘futuristik’ dan ‘konyol’ di era pasca-pandemi ini.
“Selamat datang, Tuan Kaito!” Suara wanita yang hangat menyapa. Seorang host AI berbentuk avatar anggun melayang di sampingnya. “Saya Luna, pemandu pribadi Anda. Siapkah Anda merasakan keindahan Venesia abad ke-21 yang telah hilang?”
Kaito mendengus. “Siap untuk melihat seberapa jauh kebohongan VR ini bisa pergi. Terutama soal makanannya.”
Luna tersenyum tipis, senyum yang nyaris sempurna. “Kami memahami keraguan Anda. Namun, ‘Virtual Eateries‘ kami adalah puncak dari simulasi multisensorik. Kami tidak hanya mereplikasi visual dan suara, tetapi juga aroma, tekstur, dan yang terpenting, rasa.”
Ia melambaikan tangannya, dan lingkungan sekitar Kaito berubah. Dinginnya interior kantor Echo City Tours lenyap, digantikan oleh kehangatan sinar matahari Venesia, gemericik air, dan hiruk pikuk percakapan yang samar dari pasar Rialto yang ramai. Bahkan aroma air laut dan sedikit bau sampah yang khas dari kota itu terasa nyata. Kaito terkesiap.
“Baiklah, Lumayan,” aku Kaito. “Tapi bagaimana dengan makanan? Bisakah Anda mereplikasi sapore sejati dari sarde in saor?”
Luna mengantar Kaito melintasi jembatan virtual yang ramai menuju sebuah trattoria kecil dengan eksterior bata merah yang menawan. Di sana, seorang pelayan virtual dengan celemek bersih menyambut mereka.
“Selamat datang di ‘Il Ponte Antico’, Tuan,” sapa pelayan itu dengan aksen Italia yang kental. “Apa yang ingin Anda cicipi hari ini?”
“Berikan aku sarde in saor,” pinta Kaito, menantang. “Dan juga risotto al nero di seppia.”
Pelayan itu mengangguk dan dalam sekejap, dua piring muncul di meja virtual di hadapan Kaito. Hidangan-hidangan itu tampak begitu nyata, ikan sarden yang mengilap di atas marinade bawang dan cuka, serta risotto hitam pekat dengan potongan cumi yang terlihat empuk.
Kaito meraih garpu virtualnya. “Oke, mari kita lihat.”
Ia mengambil gigitan pertama sarde in saor. Matanya melebar. Rasa asam cuka yang tajam bercampur dengan manisnya bawang yang karamel dan lembutnya daging ikan sarden, semuanya meledak di lidahnya. Bukan sekadar rasa, ada sesuatu yang lain. Sebuah kehangatan, seolah ia benar-benar duduk di trattoria itu, matahari sore menghangatkan punggungnya, dan tawa dari meja sebelah terdengar begitu dekat.
“Ini… ini tidak mungkin,” bisik Kaito. Ia mengambil gigitan kedua risotto. Teksturnya yang lembut, kaya, dengan sentuhan asin dari tinta cumi, benar-benar memukau.
Tiba-tiba, sebuah flashback singkat melintas di benaknya. Bukan flashback-nya sendiri. Ia melihat seorang wanita tua, dengan kerudung hitam, duduk di meja yang sama, di trattoria yang sama. Wanita itu tersenyum sambil menikmati sarde in saor, matanya memancarkan kebahagiaan sederhana. Kaito bisa merasakan kebahagiaan itu, seolah itu adalah miliknya.
Ia tersentak, mengernyitkan dahi. “Apa itu tadi?”
Luna memiringkan kepalanya. “Ada masalah, Tuan?”
“Aku… aku melihat sesuatu. Sebuah kenangan, mungkin? Tapi itu bukan kenanganku.” Kaito menatap hidangan di depannya dengan bingung. “Aku seperti merasakan kebahagiaan orang lain.”
Luna terdiam sejenak. “Sistem kami dirancang untuk mereplikasi pengalaman serinci mungkin, Tuan. Terkadang, koneksi saraf yang intens dengan simulasi bisa menimbulkan respons empatik yang kuat.”
Kaito tidak puas. “Ini bukan empati. Ini lebih dari itu. Seperti… aku mengalami momen orang lain.”
Ia terus makan, kali ini dengan perhatian lebih. Setiap gigitan adalah petualangan. Ketika ia memakan risotto, ia merasakan sensasi seseorang yang terburu-buru menghabisi makan siang sebelum kembali bekerja, sebuah tekanan waktu yang halus namun terasa.
“Mari kita coba sesuatu yang lain,” kata Kaito, tiba-tiba merasa terdorong. “Bawa aku ke Kyoto. Aku ingin merasakan kaiseki di sana.”
Lingkungan kembali bergeser. Sekarang ia berada di sebuah rumah teh tradisional di Kyoto, dengan taman zen yang tenang dan aroma dupa yang samar. Seorang pelayan virtual yang mengenakan kimono anggun menyajikan hidangan kaiseki yang rumit, setiap piring adalah karya seni.
Kaito mencoba satu porsi sushi tuna akami. Ketika ia mengunyahnya, ia tidak hanya merasakan kesegaran ikan dan nasi yang sempurna, tetapi juga kepuasan seorang chef yang bangga atas karyanya. Lalu, ia mencoba tempura. Rasa renyah, gurih, dan hangat memenuhi mulutnya, dan ia merasakan nostalgia yang dalam, seolah ia adalah seorang anak kecil yang pertama kali mencicipi hidangan itu.
“Ini aneh,” Kaito bergumam, meletakkan sumpitnya. “Aku merasakan… jejak emosi. Jejak pengalaman orang-orang yang pernah memakan makanan ini di masa lalu. Apakah ini hanya algoritma tingkat tinggi atau… apakah ada sesuatu yang lebih?”
Luna tampak sedikit cemas. “Tuan Kaito, kami jamin simulasi kami sepenuhnya buatan. Tidak ada… jejak kesadaran.”
“Tidak ada jejak kesadaran?” Kaito tertawa hambar. “Lalu kenapa aku merasa seperti mengalami potongan-potongan hidup orang lain? Seperti, aku mencicipi bukan hanya makanan, tapi juga cerita di baliknya, emosi yang terkait dengannya.”
Ia bangkit dari kursinya, menatap Luna. “Bagaimana Echo City Tours mengumpulkan data rasa ini? Apakah kalian menggunakan data brain activity dari orang-orang yang pernah hidup di masa itu?”
Luna diam. Keheningan itu sangat panjang, lebih dari sekadar loading time AI.
“Kami menggunakan metode deep learning dari miliaran data sensorik historis,” jawab Luna akhirnya, suaranya sedikit berbeda, nyaris… ragu. “Termasuk catatan visual, audio, dan ya, beberapa… jejak bio-sensorik yang telah didigitalkan dari artefak masa lalu.”
“Jejak bio-sensorik?” Kaito mendekat, matanya menyipit. “Apa artinya itu, Luna? Maksudmu, kalian secara tidak langsung menangkap esensi pengalaman manusia dari masa lalu dan menyuntikkannya ke dalam makanan virtual ini?”
Luna mundur selangkah. “Itu adalah interpretasi yang… terlalu dramatis, Tuan Kaito. Ini hanya bagian dari upaya kami untuk menciptakan pengalaman yang paling otentik.”
“Otentik?” Kaito mendengus. “Ini bukan otentik, ini meresahkan! Jika aku bisa merasakan kenangan dan emosi orang lain melalui makanan ini, siapa tahu apa lagi yang bisa kalian lakukan? Apakah ini hanya replikasi rasa, atau kalian menciptakan echo dari jiwa-jiwa yang telah hilang di dalam simulasi kalian?”
Kaito menatap hidangan kaiseki yang masih tersaji sempurna di meja. Rasa yang begitu nyata kini terasa dingin. Sensasi kenangan yang baru saja ia rasakan, kepuasan seorang chef, nostalgia seorang anak, semua itu terasa menakutkan, bukan memuaskan.
Ia menyadari sesuatu. Jika Echo City Tours bisa mereplikasi pengalaman kuliner dengan sedetail ini, sampai bisa memicu “memori” dari orang lain, apa batasannya? Apakah setiap gigitan adalah bisikan dari masa lalu, suara-suara yang terperangkap dalam data, mencoba berkomunikasi melalui indra yang paling primal?
Kaito memutuskan. Ia tidak akan lagi menulis ulasan tentang makanan virtual ini. Ia akan menulis tentang kebenaran yang lebih dalam, yang jauh lebih mengganggu. Tentang echo yang tertinggal di dalam data, tentang batas etika dari simulasi yang terlalu sempurna.
“Batalkan tur ini, Luna,” kata Kaito, suaranya mantap. “Aku punya hal lain yang harus kutulis.”
Luna menatapnya dengan tatapan virtual yang sulit diartikan. “Seperti yang Anda inginkan, Tuan Kaito.”
Dalam sekejap, ilusi Kyoto lenyap, digantikan oleh dinding-dinding abu-abu ruang simulasi. Namun, Kaito tahu, bau dupa yang samar dan rasa nostalgia dari tempura itu akan menghantuinya untuk waktu yang lama. Pertanyaan yang mengganggu itu tetap ada: apakah ia baru saja makan malam, atau ia telah mengonsumsi sepotong kecil dari masa lalu yang terlupakan? (*)








