- SUASANA mistis mencekam ketika Rangda mulai mengundang para siswanya untuk hadir dan menari bersama
- Namun saat itu ada ‘seseorang’ dari luar desa datang dan menantang
Calonarang adalah salah satu seni pertunjukan drama tradisional Bali yang penuh dengan nuansa mistis. Masyarakat lokal sangat menyukai jenis pertunjukan ini karena ini memadukan kreativitas seni dan elemen mistis.
Di satu sisi, mereka bisa menikmati kisah-kisah dalam budaya tradisional lewat cerita yang dipentaskan, filsafat agama Hindu serta bumbu-bumbu dunia mistis yang senantiasa abadi dari zaman ke zaman.
Diceritakan ada seorang lelaki pasca paruh baya, sekitar 65an tahun, penekun black magic atau ilmu hitam, Kakek Didu, menganggap diri sudah merasa mumpuni. Mungkin baginya, sudah tidak ada lagi lawan tanding.
“Mungkin aku sudah tidak lagi menemukan yang ‘lebih sakti’ di kampung ini atau sekitarnya. Atau memang sudah tak ada yang sebanding. Ini berarti aku harus mencari lawan tanding yang lebih tinggi hebat,” gumamnya pada suatu pagi sambil menikmati kopi bersama ketela rebus di beranda rumahnya.
“O ya, nanti akan ada piodalan (upacara) di Pura Dukuh Ketapang dekat pantai yang dirangkaikan dengan pementasan drama calonarang. Ini pasti menjadi ajang menarik. Bagaimana kalau aku jadikan ini target uji coba!” katanya dalam hati dengan penuh semangat sembari menyeruput sisa kopi pahitnya.
********
Kakek Didu pun menyiapkan diri untuk ‘adu kesaktian’ pada piodalan Pura Dukuh tersebut yang jatuh pada Tumpek Krulut (Sabtu Kliwon Wuku Krulut). Segala sesuatunya sudah disiapkan dengan baik termasuk pemantapan ilmu kesaktiannya.
“Aku akan coba melawan Sesuhunan (dewata yang dipuja) di pura dukuh tersebut. Kalau aku bisa mengalahkan, itu berarti kesaktianku melebihi beliau.”
********
Pertunjukan Calonarang tersebut dimulai sekitar pukul 11 malam, tepat usai upacara besar di Pura Dukuh Ketapang. Lalu pada tengah malam, Rangda sudah mengundang semua muridnya untuk berlatih dan menyempurnakan ilmunya.
Mengapa pada hajatan ini tidak mengundang ‘manusia sakti’ seperti Calonarang lain pada umumnya? Karena ini acara internal bukan untuk tontonan publik atau komersial. Jadi ini sifatnya internal saja, tidak mengundang pihak luar yang ingin adu kesaktian.
Suasana di kawasan pura yang ditumbuhi banyak pohon ketapang dan bambu sungguh mencekam. Lolongan anjing di sekitar lokasi pertunjukan saling bersahutan. Suara jangkrik dan katak demikian pula halnya. Penonton sungguh tampak larut dalam suasana mistis tersebut. Bulu kuduk pun berdiri, mungkin saja ada undangan ‘mahluk mistis’ ilegal yang tertarik datang dari luar desa kendatipun tidak diundang.
Nah, pada sesi berikutnya Barong Ket sudah menyeruduk Rangda. Sang Rangda pun mengibasi barong dengan kerudung yang penuh rerajahan saktinya dan robohlah sang barong. Begitu disuruh bangkit, kedua penari barong langsung bangun satu per satu dan seolah ingin menantang. Konon, pada kondisi seperti itu sang penari sangat marah dan ingin menghajar Rangda, namun tidak berani berhadap-hadapan. Setelah balik badan, barulah mereka berani mendekat dan ingin melampiaskan hasratnya untuk menikam Rangda dari belakang.
Setelah itu, semakin banyak saja penari yang kerauhan. Dalam hal ini, mereka-mereka itu memang orang terpilih dan mewarisinya secara turun-temurun. Untuk menjaga keamanan mereka yang kerauhan juga sudah ditunjuk yang namanya pengabih. Jadi masing-masing mereka yang kerauhan tersebut akan tetap aman.
Dalam suasana keriuhan karena kerauhan itu, kedua penari barong di justeru berlari melewati jembatan gantung dekat lokasi pentas dan sepertinya mengejar seseorang hingga ke seberang muara. Untunglah, para pengabih bisa mencegat dan membawanya kembali ke lokasi pertunjukan.
Setelah itu pertunjukan dilanjutkan kembali dan berlangsung dengan tertib sesuai rencana. Para penonton yang juga warga adat setempat yang usai sembahyang kembali tenang dan menyaksikan sesi lanjutan pertunjukan hingga usai.
********
Keesokan harinya beredar selentingan di antara masyarakat lokal saat bergotong royong untuk membongkar panggung jika semalam ada sesorang dari luar desa yang hendak ‘adu kesaktian’ melawan Ida Sesuhunan.
“Siapa yang kamu kejar semalam, kok hingga melewati jembatan di atas muara dekat pantai segala?” kata seorang warga kepada Made, salah seorang penari Barong Ket.
“Aku cuma melihat bayangan api dan itu membuat aku jengkel sehingga aku kejar. Tampaknya ia bermaksud jahat, makanya aku usir dia,” sahut Made.
“Pantasan kelihatannya kamu marah sekali dan berlari tanpa melihat medan yang dilalui.”
*********
“Jangan, jangan kejar aku. Aku cuma ingin menguji kemampuan diriku agar tidak percuma belajar,” ucap Kakek Didu dalam igauan yang didengar oleh isterinya.
“Pak, bangun…bangun, siapa yang mengejar Bapak?”
“Aahhh……. ternyata aku tadi bermimpi toh! Bu, aku mimpi dikejar oleh beberapa orang pengawal yang berwajah seram dan menakutkan.”
“Lho, kenapa bisa begitu Pak? Lokasinya dimana itu?”
“Sssstt! Ibu jangan ribut!!!”
“Memangnya apa yang terjadi, Pak?”
“Semalam aku bermaksud adu kekuatan dengan Ida Sesuhunan di pura sebelah.”
“Lalu gimana Pak?”
“Ya itu tadi, aku dikejar beberapa pengawalnya hingga menyeberangi jembatan di atas muara dan aku lari hingga ke pantai. Aku seperti kehabisan nafas dan bersandar di belakang pondok kita itu.”
“Makanya jangan usil Pak. Lain kali jangan diulangi lagi. Nyawa Bapak bisa jadi taruhannya.”
“Aah …Ibu ini, namanya orang penasaran nyoba ilmu.”
“Bapak ini keras kepala. Tak bisa dinasehati, tanggung sendiri akibatnya.”
“Sudahlah Bu, aku ingin tidur lagi.”
********
Tiga hari kemudian ada berita bahwa Kakek Didu jatuh sakit. Dikatakan ia mengalami stroke ringan. Salah satu kakinya tidak bisa digerakkan serta omongannya sudah mulai meracau dan tidak jelas. Dilihat dari jejak kesehatannya, ia tidak ada menderita diabetes atau tekanan darah tinggi yang biasanya memicu stroke ringan.
Secara medis, secepatnya ia sudah dicarikan perawatan ke rumah sakit terdekat. Kondisinya ini dideritanya selama kurang lebih tiga tahun.
********
Dalam kurun waktu tersebut, ia juga sudah beberapa kali diajak mencari pengobatan tradisional alternatif. Mungkin belum jodohnya, barangkali sudah 15 tempat ia coba namun belum kunjung ada perubahan.
Pada suatu hari, ia juga dicarikan pengobatan alternatif serupa sebagai tambahan perawatan pendamping bagi pengobatan medisnya. Dukun muda ini cukup terkenal di daerahnya.
Sang dukun datang untuk memeriksa kondisi sang pasien sebelum memberi pertolongan pengobatan alternatif sesuai kode etiknya seperti disebutkan di buku Buda Kecapi. Artinya, ia akan mengobati sang pasien bila ditakdirkan untuk bisa diobati atau disembuhkan. Sebaliknya, ia tak akan berani melawan takdir dengan mengobati sang pasien kalau memang tidak dibolehkan dengan melihat atau meraba ciri-ciri fisik pada pasiennya.
“Jangan obati pasien ini karena ia sedang menjalani hukuman dan berani betul menyerang Ida Sesuhunan,” demikian pawisik (bisikan) yang didengar oleh sang dukun.
“Bagaimana Pak Dukun keadaan suami saya?” tanya istri sang pasien kepada dukun.
“Mohon maaf Ibu, saya menyerah karena tidak bisa membantu menyembuhkan suami ibu.”
“Memang kenapa, Pak?”
“Karena keterbatasan saya. Ibu sebaiknya cari dukun yang lain saja.”
“Tolonglah Pak, bantu obati suami saya,” pinta sang istri dengan penuh harap.
“Maaf ibu, saya sebenarnya sangat ingin menolong Bapak, kasihan dia. Namun tampaknya ini di luar kemampuan saya. Jadi, sekali lagi mohon maaf ya Ibu.”
“Baiklah Pak, kalau memang demikian, apa boleh buat. Terima kasih Bapak sudah bersedia datang.”
“Sama-sama Ibu.”
Kabarnya ada beberapa lagi penyembuh tradisional yang mencoba membantu mengobati Kakek Didu, namun tidak juga berhasil.
Hingga akhir hidupnya Kakek Didu dihantui rasa bersalah karena sudah berani melakukan tindakan terlarang itu. Sebelumnya, ia tidak pernah merasakan hal itu. Maklumlah hal itu terjadi karena hasrat ingin menjadi ‘jawara’ dan menunjukkan kesaktiannya.
Suasana mistis
Rangda mulai mengundang
Calonarang
Nuansa mistis
Drama tradisional Bali
Filsafat agama Hindu