- MENEBANG pohon, menurut keyakinan masyarakat di Bali, tidak bisa sembarangan. Ada hal-hal penting yang perlu diperhatikan.
- Pak Degar, seorang pengusaha kayu, membagikan cerita mistis tentang pengalamannya menebang pohon angker
Pak Degar adalah seorang pengusaha kayu. Artinya ia mengelola bisnis jual beli kayu. Kalau ada yang menjual kayu di pohonnya, ia siap menebang dan mengolahnya. Kemudian ia menjualnya menjadi kayu siap pakai untuk bangunan dan keperluan sejenisnya.
Dirinya sudah malang melintang di dunia perkayuan hingga 20 tahun. Berbagai pengalaman suka dan duka ia lewati dalam pekerjaan tersebut.
Pada suatu hari ia memutuskan untuk membeli sebatang pohon piling yang cukup besar, mungkin diameternya mencapai 1,5 meter dan tingginya 30 meter. Tentu saja ia sangat gembira dan membayangkan akan mendapat banyak kayu.
Pohon tersebut dibeli oleh Pak Degar seharga 4 juta rupiah dan sudah membayar uang muka Rp 1 juta, namun jadwal menebangnya agak lama karena masih ada banyak pekerjaan di tempat lain. Untuk itu, ia diberikan waktu 2 bulan. Bila tidak ditebang dalam kurun waktu tersebut, transaksi batal dan dengan sendirinya uang muka hangus.
Dari sisi penjual, ia perlu menebang kayu tersebut karena ingin membangun sebuah warung tepi sungai dan membuat beberapa spot selfie yang menjadi tren wisata alternatif masa kini.
******
Nah, dua bulan kemudian, Pak Degar datang ke rumah pemilik kayu dan hendak menyampaikan bahwa penebangan akan dilakukan dalam tiga hari ke depan sesuai perhitungan hari baik.
“Pak, begini saya datang kemari untuk menyampaikan bahwa kayu Bapak akan saya tebang tiga hari lagi, tepatnya hari Sabtu.”
“Maaf ya Pak. Kebetulan Bapak datang. Sebenarnya siang ini saya berencana datang ke rumah Bapak. Sesuai kesepakatan kita, waktu bagi Bapak untuk menebang pohon itu sudah habis. Kedua, saya berubah pikiran. Saya batal menjual pohon tersebut karena tadi malam saya bermimpi didatangi tiga orang besar bertubuh kekar. Mereka mengancam saya.”
“Terus?”
“Ya, saya batal menjual pohon tersebut dan tidak mau mengambil risiko.”
“Bagaimana dengan uang muka yang sudah saya berikan kepada Bapak?”
“Sesuai dengan perjanjian kita tempo hari, yaa hangus, Pak.”
“Lho, kok bisa. Bapak tidak boleh begitu, ini curang namanya. Saya tidak terima ini.”
“Boleh saja Bapak tidak setuju. Cobalah pelan-pelan dan ingat kembali kesepakatan kita tempo hari.”
“Kesepakatan apa lagi?”
“Ini Pak. Salah satunya berbunyi ‘Bilamana pohon tersebut tidak ditebang dalam kurun waktu dua bulan (enam puluh hari) sejak kesepakatan ini dibuat, maka kesepakatan ini kedaluwarsa dan otomatis uang muka hangus.”
“Siapa bilang begitu? Mana buktinya?” tanya Pak Degar dengan nada agak meninggi.
“Entar Pak (sambil membuka telpon pintarnya). Ini saya ada salinan kesepakatan tersebut. Dan salinan digitalnya saya juga sudah kirim ke Bapak tanggal 21 April lalu. Coba Bapak buka arsipnya pada tanggal tersebut. Ini percakapan saya dan Bapak juga masih ada yang berisi persetujuan Bapak.”
“Oooh ya. Saya baru ingat. Maaf, maaff!”
“Begini Pak, sebenarnya saya sih tidak keberatan dengan lewatnya batas perjanjian ini. Tetapi saya tidak berani ambil risiko setelah mengalami mimpi buruk itu sehingga perjanjian ini saya batalkan. Kejadian serupa juga pernah dialami teman saya, yang berakhir fatal. Dan uangnya sudah habis dipakai.”
“Mau bilang apa lagi. Perjanjiannya sudah seperti itu. Saya tidak bisa berbuat banyak. Peristiwa ini harus menjadi pelajaran penting bagi saya, Pak.”
*****
Berkaca dari pengalaman tersebut, ia harus melakukan sesuatu dan mencari informasi kepada orang yang tepat apakah sebuah pohon itu bisa ditebang atau tidak sehingga akhirnya tidak merugi.
Atas saran seorang teman, ia kemudian mendatangi seorang pintar, yang memang paham mengenai hal-ikhwal tersebut.
“Pak, kedatangan saya ke sini untuk minta bantuan Bapak apakah ada cara mengetahui bila sebuah pohon boleh ditebang atau tidak,” tanya Pak Degar.
“Maksudnya, Bapak akan menebang pohon, begitu?”
“Ya Pak. Dulu saya pernah membeli sebuah pohon dan sudah membayar uang muka. Namun kemudian dibatalkan. Katanya, ia didatangi penghuni pohon itu dan tak diizinkan menebang.”
“Nah, kalau Bapak percaya, saya sarankan begini. Bapak berdoa saja di sana untuk mohon izin. Bapak tancapkan kapak di pohon itu dan sampaikan kalau keesokan harinya masih menancap, itu pertanda diizinkan.”
“Oooh, begitu ya Pak. Baiklah!”
“Dari dulu sih saya sarankan seperti itu kalau ada yang nanya perihal itu. Tapi, itu tadi, ada yang berhasil dan ada juga tidak.”
“Terima kasih banyak Pak.”
“Sama-sama.”
******
Di lain kesempatan, Pak Degar beruntung lagi dapat membeli kayu piling berukuran besar, sekitar dua pelukan orang dewasa. Lokasinya juga sama di pinggir sungai dekat pura beji milik sebuah keluarga di desa itu.
Ia pun masih ingat pengalaman sebelumnya, dan ia harus ‘mencaritahu’ apakah pohon itu boleh ditebang atau tidak dengan menancapkan kapak sehingga bisa mengurangi risiko.
Pak Degar melakukannya sesuai saran orang pintar tersebut. Lalu apa yang terjadi??? Ternyata, pada keesokan harinya masih menemukan kapak itu masih menancap di pohon besar itu. Itu menandakan bila pohon itu boleh ditebang.
“Syukurlah, ini berarti aku bisa menebang pohon itu. Aku akan persiapkan segala sesuatunya dengan baik,” katanya dalam hati.
*****
Pada malam harinya setelah mencari tahu pertanda tersebut ia bermimpi didatangi seorang kakek tua berpakaian serba putih.
“Nak, kamu boleh saja memotong pohon besar di area pura tersebut. Tapi kakek mohon haturkan sesajen. Nanti kakek akan bantu, namun kamu baru bisa menebang saat menjelang senja. Jangan khawatir, semuanya akan beres.”
“Terima banyak kasih kek, tolong dibantu ya.”
Setelah mengatakan itu, sang kakek sudah tidak ada di hadapannya. Lokasi kejadiannya seperti di sebuah rumah besar yang memiliki halaman luas.
*****
Nah, saatnya tiba untuk menebang pohon itu. Segala sesuatunya sudah dipersiapkan dengan baik. Aktivitas menebang pohon itu dimulai sekira pukul 8 pagi. Pak Degar dibantu oleh tiga orang untuk membersihkan area di sekitar pohon, mengoperasikan gergaji mesin, memasang tali dan persiapan lainnya.
Dua jam kemudian, pemotongan sudah bisa dimulai. Pemotong bisa berjalan lancar jaya. Namun menjelang tengah hari, mesin mengalami kerusakan dan rantainya juga putus.
“Pak bagaimana ini, sepertinya gergaji kita ini rusak parah. Baru kali ini terjadi,” tanya Adek, seorang tukangnya.
“Begini saja, kamu ajak teman satunya lagi ke bengkel bawa gergaji ini untuk diperbaiki,” pinta Pak Degar.
“Baik Pak.”
“Kamu tungguin di sana ya sampai selesai. Jangan lupa makan siang,” tambah Pak Degar.
Pak Degar cemas bila pekerjaannya tidak tuntas pada hari itu. Itu berarti ia merugi ongkos tenaga kerja. Itu tiga orang lho! Sambil mondar-mandir di sekitar pohon itu, ia berpikir terus.
“Oh iya, aku baru inget! Kakek berpakaian serba putih dalam mimpi itu berjanji akan membantu sampai selesai. Hari ini juga, tapi menjelang senja,” gumam Pak Degar.
Pak Degar pun menjadi lebih tenang. Ia berpikir mungkin para penghuninya sedang berkemas-kemas memindahkan barang-barangnya sehingga mereka perlu waktu lebih lama. Pasti semuanya nanti akan beres. Lalu ia menelpon tenaganya ke bengkel.
“Dek, gimana gergajinya, sudah diperbaiki?”
“Ini sedang dikerjakan, Pak.”
“Oke. Kamu tungguin saja di situ. Nggak usah khawatir atau buru-buru. Nanti sore sebelum pulang pekerjaan kita pasti sudah beres.”
“Baik, Pak.”
Pak Degar juga berdoa terus-menerus agar pekerjaan nanti bisa berjalan lancar. Ia menunggu dengan sabar. Beberapa saat kemudian, Adek bersama temannya datang.
“Gimana Dek, bereskah?” tanya Pak Degar.
“Beres, Pak.”
“Kamu minum dulu di sana. Nanti kita lanjutkan pekerjaannya.”
Sekitar pukul dua siang, pekerjaan menebang pohon piling besar di pinggir sungai itu pun dilanjutkan. Udara di pinggir sungai itu cukup sejuk karena banyak pepohonan yang menaunginya.
Tumbang pohon itu diarahkan ke sungai dan kebetulan ada celah aman dan tidak menindih tanaman budidaya.
Pak Degar mencoba gergaji untuk memastikan keadaannya setelah diperbaiki. Sebelum rusak tadi, ia sudah memotong sepertiga dan kayunya cukup keras. Karenanya butuh waktu agak lama.
“Sekarang kita lanjutkan,” pancing Pak Degar.
“Ayo kita semangat agar bisa kelar hari ini,” semangat Adek.
“Tetap hati-hati ya. Jangat dipaksa mesinnya. Biarkan dan ikuti kekuatan mesinnya.
“Tinggal sedikit lagi, Pak.”
“Lanjutkan dan hati-hati.”
Sekitar pukul lima sore kurang seperempat dan langit masih terang, pohon itu tumbang.
“Gedebruaak!”
Pohon itu tumbang ke arah sungai. Rumpun bambu ampel di pinggir sungai kena serempet sedikit oleh cabang-caban pohon piling itu.
“Horeee….. akhirnya tumbang juga Pak. Pekerjaan kita lancar,” seru Adek penuh kegembiraan.
“Yaa Dek, usaha kamu tidak sia-sia. Akhirnya pekerjaan bisa dituntaskan dalam sehari. Kerja kamu bagus dan juga berkat bantuan niskala (penghuni) pohon ini yang kooperatif,” tutup Pak Degar.
**** TAMAT ****