NYOMAN Windra, seniman patung kenamaan Bali, menghela napas panjang, menatap bongkahan kayu sawo di depannya. Sudah seminggu ia mencoba mengukir, namun tak ada ilham yang datang. Jemarinya kaku, pikirannya kosong. Padahal, biasanya ide mengalir deras seperti air terjun di pedalaman Bali.
“Ada apa, bli?” suara lembut Luh Ayu, istrinya, memecah keheningan sanggar. Luh Ayu meletakkan secangkir kopi Bali hangat di meja kerja Windra.
Windra menggeleng pelan. “Entahlah, Ayu. Rasanya ada yang hilang. Semua karyaku terasa hambar, tidak punya jiwa.” Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, memejamkan mata.
Malam itu, Windra bermimpi. Ia melihat dirinya berdiri di tengah hutan yang rimbun, pepohonan menjulang tinggi, dan sungai mengalir jernih. Tiba-tiba, bumi bergetar. Pepohonan tumbang, sungai mengering, dan suara tangisan pilu memenuhi udara.
Di tengah kehancuran itu, muncul sesosok penari anggun dengan pakaian dari akar dan dedaunan. Gerakannya lambat namun penuh kekuatan, seolah mencoba menyatukan kembali serpihan alam. Penari itu menoleh ke arah Windra, matanya memancarkan kesedihan mendalam, dan membisikkan sesuatu yang tidak dapat ia dengar dengan jelas, namun rasa urgensi itu sampai ke hatinya.
Windra terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, menusuk relung jiwanya. Ia segera mengambil sketsa dan mulai menuangkan apa yang ia lihat. Bukan patung, melainkan gerakan, formasi, dan ekspresi. Semuanya tentang tarian.
“Ini tarian konservasi, Ayu,” jelas Windra esok harinya, saat menunjukkan sketsa-sketsa itu kepada istrinya. “Tarian yang menjaga kelestarian fisik dan harmoni alam nyata dan tak nyata. Pesan dari leluhur, mungkin?”
Luh Ayu menatap sketsa itu dengan takjub. “Ini indah sekali, Bli. Tapi… apakah Bli yakin bisa mewujudkan ini dalam tarian?”
“Aku harus mencobanya,” jawab Windra mantap. “Mimpi ini terlalu kuat untuk diabaikan.”
Windra mulai bekerja. Ia mengumpulkan penari-penari muda baik laki maupun perempuan dari desa sekitar. Mereka semua antusias dengan ide Windra, meskipun beberapa merasa ragu karena konsepnya begitu abstrak. Latihan demi latihan, Windra membimbing mereka, menjelaskan setiap gerakan, setiap ekspresi, dan setiap filosofi di baliknya sesuai dengan mimpinya. Ia ingin tarian ini bukan hanya pertunjukan, melainkan sebuah doa, sebuah seruan.
Suatu sore, saat latihan mencapai puncaknya, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ni Wayan Sari, salah satu penari paling berbakat, tiba-tiba limbung. Matanya terpejam, tubuhnya menegang, lalu mulai bergerak dengan gemulai yang luar biasa. Gerakannya bukan lagi gerakan yang diajarkan Windra, melainkan gerakan yang lebih kuno, lebih berbobot, dan penuh makna. Suara yang keluar dari mulut Sari bukanlah suaranya, melainkan suara berat dan berwibawa, seolah-olah berumur ratusan tahun.
“Kita telah melupakan asal kita,” suara itu menggema di sanggar. “Kita telah merusak bumi, melupakan roh-roh penjaga. Keseimbangan telah goyah. Air mata bumi telah mengering, dan suara hutan tak lagi terdengar.”
Para penari lainnya terdiam, terpaku. Windra merasakan merinding di sekujur tubuhnya. Ini bukan Sari, ini adalah roh leluhur yang merasukinya.
“Pesan ini harus diwariskan,” lanjut suara itu. “Lewat tarian ini, bangunkanlah kesadaran. Jagalah Tri Hita Karana, keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. Hutan adalah paru-paru, sungai adalah darah, dan gunung adalah jantung. Jika ketiganya sakit, maka kita semua akan sakit.”
Setelah menyampaikan pesannya, tubuh Sari melemas. Ia ambruk ke pelukan Luh Ayu yang sigap menangkapnya. Beberapa saat kemudian, Sari membuka mata, tampak bingung.
“Apa yang terjadi?” tanyanya, suaranya parau.
Windra menceritakan apa yang baru saja mereka saksikan. Sari mendengarkan dengan saksama, matanya memancarkan rasa tak percaya dan haru.
“Saya tidak ingat apa-apa,” bisik Sari. “Tapi saya merasakan energi yang luar biasa… seperti ada sesuatu yang mengalir melalui saya.”
Kejadian itu semakin menguatkan keyakinan Windra. Tarian ini, yang ia namai “Tari Bhuana Lestari” (Tarian Kelestarian Dunia), bukan hanya sekadar seni, melainkan sebuah misi. Mereka berlatih lebih intens, dengan semangat baru. Pesan-pesan dari roh leluhur yang disampaikan melalui Sari menjadi inti dari setiap gerakan, setiap ekspresi, dan setiap iringan musik.
Malam pementasan tiba. Suasana panggung di sanggarnya penuh sesak. Penari-penari melangkah ke panggung, diiringi gamelan yang mengalun syahdu. Saat Tari Bhuana Lestari dimulai, penonton terdiam. Gerakan yang anggun namun kuat, diiringi musik yang memilukan sekaligus penuh harapan, memukau setiap pasang mata.
Ada bagian di mana para penari bergerak seperti pepohonan yang merintih, lalu berubah menjadi aliran air yang berusaha menyelamatkan. Kemudian, ada bagian di mana mereka menari dengan penuh semangat, merayakan keindahan alam yang lestari.
Di tengah tarian, Sari kembali mengalami trans. Gerakannya menjadi lebih intens, lebih mendalam. Kali ini, ia tidak berbicara. Namun, ekspresi wajahnya, tatapan matanya yang penuh duka, dan kemudian beralih menjadi tekad, menyampaikan pesan yang lebih kuat daripada kata-kata. Seolah-olah, roh leluhur itu sekali lagi hadir, memohon, dan memberkati. Penonton merasakan gelombang emosi yang kuat, ada yang meneteskan air mata, ada pula yang merasakan getaran spiritual yang mendalam.
Setelah tarian berakhir, keheningan menyelimuti panggung. Kemudian, tepuk tangan riuh pecah, menggelegar memenuhi puri. Bukan sekadar tepuk tangan apresiasi seni, melainkan tepuk tangan penghormatan, tepuk tangan kesadaran.
Windra berdiri di belakang panggung, menatap penari-penarinya yang membungkuk hormat. Ia tahu, mimpi itu, kesurupan itu, dan tarian itu, telah membuka mata banyak orang. Pesan dari leluhur, yang disampaikan melalui seni dan manifestasi tak kasat mata, kini telah diwariskan. Sebuah langkah kecil, namun itu memuat pesan leluhur lewat karya seni yang penuh makna dalam menjaga kelestarian alam dan harmoni Bhuana Agung, untuk generasi mendatang. (*)








