DEBURAN ombak pantai pagi itu agak keras, luar dari biasanya. Nampaknya suasana laut tidak baik-baik saja, bisa jadi karena pengaruh cuaca yang tak menentu. Tak seorang pun nelayan nampak pergi melaut di depan vila pada hari itu. Mungkin saja mereka ada kesibukan lain.
Sementara itu, di sebuah vila pribadi yang terletak di dekat tebing pinggir pantai, yang dihiasi sebuah pohon besar yang menjulang tinggi, tinggal seorang wisatawan asing bernama Michael. Ia adalah seorang pekerja remote dan sudah tinggal di vila itu kurang lebih dua tahun.
Vila itu menawarkan pemandangan yang menakjubkan, dengan sebuah pura kecil yang tidak jauh dari sana, menambah nuansa spiritual yang kental di sekitar tempat tersebut.
Pada suatu sore, Michael memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar vilanya. Ia tertarik dengan berbagai tanaman lokal yang tumbuh liar dan unik di sepanjang jalan pinggir tebing. Saat menjelajahi area dekat tebing, matanya menangkap kilauan sesuatu yang aneh. Ia mendekati objek tersebut dan menemukan sebuah gelang berwarna hitam legam di dalam kotak anyaman. Kelihatannya sangat klasik dan menarik.
“Wah… gelang uli (akar bahar) ini sangat menarik dan klasik lagi. Tentu ini akan melengkapi koleksi barang antikku di vila,” katanya dalam hati.
Tanpa berpikir panjang, Michael mengambil gelang tersebut dan membawanya pulang. Ia meletakkannya di meja dekat tempat tidurnya, berpikir bahwa gelang tersebut akan menjadi tambahan yang menarik untuk koleksi barang antiknya.
Malam harinya, seperti biasa, ia menyelesaikan tugas-tugasnya hingga pukul 11. Setelah itu, Michael mengantuk berat. Ia pun menghentikan pekerjaan lalu tidur. Lewat tengah malam, ia mengalami mimpi yang sangat mengerikan. Dalam mimpinya itu, ia melihat dua sosok tubuh tinggi kekar dan besar dengan wajah menyeramkan datang mencarinya. Mereka meminta gelang itu kembali dengan nada yang mengancam.
“Kembalikan gelang kesayangan kami itu, atau kau akan celaka!” kata sosok itu lalu meninggalkan dirinya.
Michael terbangun dengan keringat dingin dan jantung berdebar kencang. Malam itu, ia tidak berani tidur lagi. Selama tiga malam berturut-turut, mimpi buruk yang sama terus menghantuinya. Michael semakin takut dan tidak bisa tidur nyenyak. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan gelang yang ditemukannya. Ia tidak bisa mengabaikan mimpi itu, apa lagi sekedar dianggap sebagai bunga tidur semata.
Setelah tiga kali bermimpi yang sama, Michael nekat bertemu dengan Kadek, staf housekeeping di vilanya yang juga sering membersihkan kolam renangnya. Walau sedikit ragu, Michael memberanikan diri untuk menceritakan pengalaman buruknya dan menunjukkan gelang tersebut kepada Kadek.
Kadek terkejut melihat gelang itu.
“Pak, ini adalah gelang uli (akar bahar). Gelang ini milik mahluk gaib penghuni pohon besar di dekat tebing. Mereka adalah penjaga tempat ini, jelas Kadek dengan nada serius.
Kadek kemudian menyarankan Michael untuk mengembalikan gelang tersebut ke tempat asalnya dengan sesajen sebagai tanda minta maaf.
“Kita harus membuat sesajen yang terdiri dari bunga, buah, dan dupa. Ini adalah cara untuk meminta maaf dan memohon agar tidak diganggu lagi,” kata Kadek.
“Sebenarnya, saya tidak percaya pada hal-hal beginian. Tapi, tidak ada salahnya mencoba cara ini. Siapa tahu ini akan meredakan kecemasan saya dan melepaskan saya dari gangguan mimpi buruk itu,” kata Michael.
“Baiklah, kalau memang demikian keputusan Tuan. Saya akan minta istri saya membantu membuatkan sesajennya.”
“Terima kasih, Kadek.”
“Sama-sama, Tuan.”
Dengan bantuan Kadek, Michael mempersiapkan sesajen dan mengembalikan gelang tersebut ke tempat di mana ia menemukannya. Mereka berdoa dan meminta maaf kepada penghuni pohon besar tersebut. Michael berharap agar mimpi buruknya berakhir.
Malam itu, Michael tidur dengan perasaan cemas. Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa malam, ia tidur nyenyak tanpa mimpi buruk. Keesokan paginya, ia merasa segar dan lega.
Sejak kejadian itu, Michael semakin menghormati adat dan kepercayaan lokal. Ia juga lebih berhati-hati saat menemukan benda-benda asing di sekitar vilanya. Pengalaman itu mengajarkannya untuk hidup selaras dengan alam dan menghargai kekayaan spiritual yang ada di sekitarnya. (*)