Misteri Hilangnya Patung Penari Kayu Kuno: Kutukan atau Pencurian?

Patung penari
Ilustrasi patung penari yang sedang dibersihkan. (Image: Dibuat dengan AI/Nusaweek)
banner 468x60

LANGIT Bulungdaya masih memancarkan semburat jingga saat Aji menjejakkan kaki di halaman Pura Beji Segara yang berlokasi di antara dua tanjung. Sebagai seorang fotografer perjalanan, ia datang untuk mengabadikan persiapan upacara besar, sebuah perayaan yang katanya hanya digelar setiap lima tahun sekali. Namun, bukannya suasana riuh rendah, yang ia temukan hanyalah keheningan mencekam.

Seorang pria tua dengan kain batik klasik dan udeng putih, sang pemangku pura, I Wayan Kelor, duduk lesu di bale, matanya kosong menatap ruang kosong.

Read More

“Selamat pagi, Pak,” sapa Aji, merasa ada yang tidak beres. “Persiapannya sudah dimulai.”

Pak Mangku mengangkat kepala, tatapannya menyiratkan kepanikan yang tersembunyi. “Sudah, Nak. Tapi… tidak lengkap.”

“Kenapa? Ada apa?” tanya Aji, menurunkan kameranya.

“Patung Penari Ni Luh… ia hilang.”

Aji tertegun. Ia tahu tentang patung itu. Sebuah arca kayu kuno yang konon berisi roh penari Legong legendaris. Itu adalah jantung dari upacara ini.

“Hilang bagaimana? Dicuri?” Aji mengamati sekeliling. Tidak ada pintu yang rusak, tidak ada jejak paksa. Pintu kecil di pelawatan, tempat patung itu disimpan, tampak utuh.

“Saya tidak tahu,” bisik Pak Mangku. “Tadi malam saya yang terakhir memeriksa. Semua terkunci. Pagi ini, saat saya kembali, ia sudah tidak ada. Tidak mungkin manusia bisa melakukannya tanpa merusak apapun.”

“Jadi, Anda pikir… ini bukan ulah pencuri?”

“Bisa jadi,” jawab Pak Mangku, matanya berkaca-kaca. “Bisa jadi, arwah Ni Luh memang ingin pergi. Tapi mengapa? Ada kesalahan apa yang kami lakukan?”

Rasa penasaran Aji memuncak. Ini bukan lagi sekadar pekerjaan, ini adalah misteri. Ia mulai bertanya kepada para warga desa yang lewat. Mereka semua memberikan jawaban yang sama: ini adalah pertanda buruk, hukuman dari para leluhur.

“Itu kutukan, Mas!” seru seorang ibu tua sambil tergesa-gesa. “Jangan ikut campur. Nanti rohnya marah.”

Seorang pemuda yang sedang mengangkut sesajen menambahkan, “Patung itu sakral. Mungkin ia tidak suka dengan orang-orang yang hanya datang untuk melihat, bukan untuk menghormati.”

Aji tahu, ia tidak akan mendapatkan jawaban dari mereka. Mereka terlalu takut. Dengan naluri fotografernya, ia mulai menyusuri jalan setapak di tengah sawah, memotret keindahan terasering yang tenang, namun pikirannya terus bekerja. Ia harus mencari petunjuk lain.

Pikiran Aji membawanya ke Denpasar, ke sebuah toko yang mengoleksi dan menjual barang antik di pusat kota. Ia tahu ada seorang pedagang yang memiliki jaringan luas untuk barang-barang kuno, Pak Surya.

Aji masuk ke dalam toko yang dipenuhi dengan ukiran kayu tua dan topeng-topeng misterius. “Pak Surya,” sapa Aji. “Saya dengar ada patung sakral yang hilang di Bulungdaya. Apakah Bapak tahu?”

Pak Surya, seorang pria tambun dengan mata kecil yang licik, tersenyum sinis. “Ah, patung Legong dari Pura Beji Segara? Saya dengar ceritanya. Tapi, tidak, saya tidak tahu apa-apa. Barang-barang seperti itu tidak masuk pasar.”

“Tapi, jika ada yang mencoba menjualnya…”

“Itu tidak mungkin. Patung itu terlalu terkenal. Siapa pun yang memilikinya akan tahu bahwa mereka akan dilacak.” Kata-kata Pak Surya terasa meyakinkan, tapi cara ia membelai sebuah patung barong tua di dekatnya membuat Aji curiga. Sikapnya terlalu tenang, terlalu waspada.

Merasa tidak mendapatkan apapun, Aji kembali ke Bulungdaya dengan hampa. Ia kembali ke Pura Beji Segara saat senja tiba, berharap ada keajaiban. Ia duduk di tempat yang sama, di bale, dan menatap pelawatan yang kosong. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu yang luput dari perhatiannya sebelumnya.

Sebuah canang sari kecil, sesajen khas Bali, tergeletak di samping pelawatan. Ukurannya tidak biasa, jauh lebih kecil dari yang lain, dengan bunga yang masih segar. Di atasnya, tergeletak sehelai daun kecil yang digulung rapi, diikat dengan benang merah. Pak Mangku Wayan dan warga desa tidak melihatnya, terlalu fokus pada hilangnya patung itu. Aji membuka gulungan daun itu. Di dalamnya, terukir dengan sederhana, ada simbol sebuah pohon beringin tua.

Ia teringat cerita Pak Mangku Wayan tentang legenda Pura Beji Segara. Konon, patung Penari Ni Luh dibuat dari kayu pohon beringin kuno yang tumbuh di dekat mata air tersembunyi, yang dipercaya sebagai tempat favorit Ni Luh untuk menari.

Aji berlari, mengikuti jalan setapak di belakang pura. Ia melewati sawah dan sungai kecil, hingga tiba di sebuah pohon beringin raksasa yang sudah sangat tua. Di sampingnya, mengalir mata air yang tenang.

Di sana, di bawah naungan pohon beringin, duduk seorang wanita tua dengan rambut perak dan wajah penuh kedamaian. Ia mengenakan kebaya putih dan sedang menyeka sebuah patung kayu dengan kain. Patung itu tidak lain adalah Ni Luh.

“Anda yang memindahkannya,” kata Aji, suaranya tercekat.

Wanita tua itu tersenyum. “Nama saya Jero Mangku. Saya adalah sesepuh desa ini.”

“Tapi kenapa? Semua orang khawatir,” tanya Aji.

“Patung ini, ia bukan hanya kayu, Nak. Ia memiliki jiwa. Tadi malam, arwah Ni Luh datang dalam mimpi saya. Ia mengatakan bahwa ia ingin kembali ke tempat asalnya sebelum upacara dimulai. Ia lelah dengan keramaian di pura. Ia ingin bersatu kembali dengan pohon yang memberinya jiwa.”

Jero Mangku menjelaskan bahwa memindahkan patung ini adalah sebuah ritual rahasia, sebuah “wangsit” yang hanya bisa dipahami oleh beberapa orang terpilih. Itulah mengapa tidak ada tanda-tanda pencurian. Itu adalah perpindahan spiritual, bukan tindakan manusia.

Aji merasa lega, sekaligus kagum. Misteri yang ia kejar bukanlah tentang kejahatan, melainkan tentang kepercayaan. Ia mengambil kameranya dan memotret patung itu di bawah cahaya rembulan yang samar, di tempat ia seharusnya berada. Kisah yang akan ia tulis nanti tidak akan hanya tentang patung yang hilang, tapi tentang keajaiban dan keyakinan di Bali yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. (*)

banner 300x250

Related posts