MUARA sungai yang indah dan sunyi dipilih menjadi lokasi pembangunan proyek hotel mewah dan megah—tapi ada sesuatu yang tak terlihat oleh mata manusia. Di balik gemerlap lampu dan denting alat berat, ada kehidupan yang terusik.
Alam tak kasat mata berbisik, memrotes keras. Mereka, para penghuni lama yang tak dikenal, tak diundang, dan kini merasa tersingkir. Hujan badai lokal di sertai petir tiba-tiba mengguyur kawasan proyek di sore hari, membuat para pekerja gemetar ketakutan. Apakah ini hanya kebetulan, ataukah alam memberi peringatan? Saat keharmonisan dua dunia, antara dunia nyata dan dunia gaib diabaikan, bisakah kemewahan bertahan?
Bagian 1: Pembangunan yang Bergerak Cepat
Proyek pembangunan sebuah hotel mewah di pinggir muara sungai yang tenang menjadi simbol modernisasi di Desa Kertha Niwasa. Sosialisasi proyek itu sudah dilakukan kepada warga desa, Masyarakat menyambut dengan tangan terbuka karena itu akan bermanfaat bagi desa mereka, terutama memberi kesempatan kerja bagi generasi muda setempat.
Tak ada masalah dengan penduduk desa dan mereka tidak terkejut ketika melihat proyek besar itu memulai pekerjaannya dengan begitu cepat. Para pekerja menebang pohon, merabas perdu di tebing serta alat-alat berat mulai bekerja meratakan tanah di sekitar kawasan itu. Suara bising mesin, debu beterbangan, dan hiruk-pikuk pembangunan menggantikan ketenangan alam yang dulu menyelimuti desa tersebut.
Namun, mereka tidak tahu bahwa kawasan itu bukan hanya dihuni oleh manusia. Wong Samar atau makhluk halus yang hidup di alam gaib di kawasan itu telah lama mendiami tempat tersebu, terutama kawasan pinggir sungai yang ditumbuhi aneka tanaman perdu dan bambu. Pemukiman tersembunyi di pinggir sungai dekat muara itu konon penuh dengan rumah-rumah yang tak kasat mata bagi manusia. Pembangunan hotel tersebut tiba-tiba membuat mereka kocar-kacir, terkejut oleh mesin-mesin raksasa yang datang tanpa peringatan.
Ibu Samar, pemimpin wong samar, dengan cepat memerintahkan anak-anak dan kaum dewasa untuk menyelamatkan barang-barang mereka. Mereka mengumpulkan benda-benda gaib dan mengevakuasi keluarga mereka dengan tergesa-gesa. Pada saat itu, mereka melihat seorang manusia, yaitu seorang pekerja proyek, berjalan melewati pemukiman mereka yang sedang tergusur.
“Pak, tolong bantu kami menaikkan barang-barang ini ke atas kepala kami,” kata seorang wong samar dengan suara yang dalam, tiba-tiba muncul di depan pekerja itu.
Meski wajah wong samar tidak tampak jelas, pekerja itu, yang bernama Made Wira, merasa tubuhnya seolah beku, tidak mampu menolak atau melarikan diri. Tanpa sadar, ia membantu mengangkat barang-barang ke atas kepala wong samar.
Bagian 2: Pertanda Buruk
Sore itu, hujan turun dengan deras, seolah-olah langit menumpahkan seluruh airnya ke bumi. Petir menggelegar, dan angin kencang menghantam kawasan proyek. Para pekerja proyek berlarian untuk berteduh di bedeng dan mulai merasa ada yang aneh. Beberapa di antaranya mengeluh melihat bayangan-bayangan melintas di luar jendela mereka, sementara alat berat yang beroperasi setelah hujan reda mendadak mogok.
Pak Joko, mandor proyek, mengalami mimpi buruk yang sangat aneh malam itu. Ia bermimpi dirinya terikat erat pada akar-akar pohon besar di pinggir sungai, sementara bayangan hitam besar melayang di sekelilingnya, berbisik dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Mimpi itu begitu nyata, hingga ia terbangun dengan keringat dingin dan jantung berdebar. Anehnya lagi, hujan badai itu hanya terjadi di kawasan proyek.
Keesokan harinya, Pak Joko memutuskan untuk bertemu dengan Bapak Ketut, seorang medium yang juga tetua adat desa Kertha Niwasa. Pak Joko merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan proyek ini. Seluruh alat berat mogok, para pekerja mulai mengalami gangguan aneh, dan kini mimpi buruk itu menghantui pikirannya.
“Pak Ketut, saya mengalami mimpi buruk semalam. Sepertinya ini bukan mimpi biasa. Alat-alat berat kami semua berhenti bekerja tanpa alasan yang jelas. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanya Pak Joko dengan wajah pucat.
Bapak Ketut menatapnya dalam-dalam, seolah tahu lebih dari yang dikatakan. “Bapak tidak hanya membangun di atas tanah biasa, Pak Joko. Tempat itu adalah hunian wong samar, makhluk halus yang telah lama menetap di sana. Mereka merasa terusir oleh pembangunan yang kalian lakukan. Ini bukan sekadar alat yang rusak atau mimpi buruk biasa. Kalian telah mengusik keseimbangan alam di sini. Selain kepada warga kami, rencana proyek ini harus juga disampaikan kepada mereka, Pak!”
Bagian 3: Negosiasi dengan Wong Samar
Pak Joko, meski merasa skeptis, menyadari bahwa hal-hal gaib ini tidak bisa diabaikan. Bersama Bapak Ketut, mereka mengadakan upacara kecil di pinggir sungai, memohon izin dan pengertian dari komunitas wong samar yang tinggal di sana. Dalam ritual itu, Bapak Ketut menjelaskan bahwa pembangunan tak bisa dihentikan begitu saja karena juga akan bermanfaat bagi warga desanya, namun mereka ingin mencari solusi damai agar wong samar tidak merasa tergusur sepenuhnya.
Sementara upacara berlangsung, angin bertiup kencang di sekitar mereka. Seakan merespons permohonan manusia, bayangan-bayangan samar mulai muncul di antara pepohonan di pinggir sungai. Wong samar, dipimpin oleh Ibu Samar, muncul di hadapan mereka, meski tidak semua orang bisa melihat wujud mereka dengan jelas.
“Kami tidak ingin perang dengan manusia,” suara Ibu Samar terdengar seperti angin berbisik. “Namun, kalian telah mengambil tempat tinggal kami tanpa memperhitungkan keberadaan kami,” tambahnya.
Bapak Ketut menunduk hormat. “Kami mohon maaf atas ketidaksengajaan ini. Kami ingin membuat pura (tempat suci) sebagai simbol bahwa proyek ini mengakomodir keberadaan kalian di sini. Kami akan menyediakan tempat khusus bagi kalian untuk tinggal di alam gaib, agar tidak merasa terusir.”
Wong samar sejenak terdiam, lalu Ibu Samar menyetujui. “”Jika kalian membangun pelinggih atau pura itu, kami akan menerima pengungsian ini. Namun, jangan sekali-kali kalian mengganggu tempat kami lagi.”
Bagian 4: Pelinggih untuk Wong Samar
Setelah perjanjian dengan wong samar disepakati, pembangunan hotel dilanjutkan dengan hati-hati. Namun, kali ini, di dekat kawasan itu, tepatnya di pinggir sungai di bawah pohon besar, dibangun sebuah pelinggih atau pura kecil, tempat bagi wong samar untuk tinggal dan tetap dihormati dan tempat suci bagi manusia untuk memohon keselamatan. Pelinggih itu menjadi bagian dari lanskap hotel yang akhirnya dianggap sebagai daya tarik spiritual oleh para wisatawan. Tempat suci itu menjadi medium perdamaian dan hidup berdampingan untuk kedua alam, alam manusia dan alam gaib untuk mahluk yang tak kasat mata.
Cerita tentang wong samar yang menghuni muara sungai di Desa Kertha Niwasa tersebar luas di kalangan wisatawan yang penasaran dengan hal-hal mistis dan spiritual. Mereka datang bukan hanya untuk menikmati keindahan alam dan fasilitas hotel mewah, tetapi juga untuk merasakan energi gaib yang masih terasa di sekitar pelinggih.
Namun, ada satu pesan yang selalu disampaikan kepada para tamu: “Jangan pernah mengganggu pelinggih atau kawasan sekitar muara, karena di sana ada tempat suci dan juga tempat tinggal bagi komunitas mahluk yang tak terlihat.”
Epilog: Keseimbangan Kembali
Sejak dibangunnya pelinggih, semua gangguan berhenti. Alat berat kembali berfungsi, mimpi buruk tidak lagi menghantui para pekerja, dan kawasan proyek berjalan lancar. Desa Kertha Niwasa kini menjadi destinasi wisata spiritual dan mistis yang populer, memadukan kemajuan teknologi dan kehormatan pada tradisi kuno.
Pak Joko, yang dulunya skeptis terhadap hal-hal gaib, kini menjadi salah satu orang yang paling menghormati keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib. Ia tahu bahwa di dunia ini, ada lebih banyak hal yang tidak terlihat daripada yang tampak di permukaan dan mereka juga sama-sama ciptaan Tuhan dan memiliki hak untuuk hidup yang sama.
Dan pelinggih atau pura kecil di pinggir muara itu? Ia tetap berdiri kokoh, sebagai pengingat bahwa tempat itu bukan hanya milik manusia, tapi juga para penghuni samar yang tak terlihat, menjaga keseimbangan antara dua dunia yang berbeda. (*)