LEMBAH Ketapang yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon ketapang yang menjulang menyimpan sebuah ambisi besar. Pak Gede, seorang pengusaha yang visioner, melihat lebih dari sekadar keindahan alam di lembah ini. Ia bermimpi membangun sebuah oase kemewahan—hotel eksklusif yang akan menggabungkan keindahan alam Bali dengan fasilitas moderen dan pusat yoga, menjadikan tempat ini magnet bagi wisatawan kelas atas. Namun, di balik setiap langkah pembangunan, muncul bisikan-bisikan yang membawa misteri.
Lembah ini bukan sekadar lahan kosong, tetapi rumah bagi tradisi, cerita rakyat, dan mungkin juga rahasia yang enggan terungkap. Apa yang akan terjadi ketika ambisi moderen bertemu dengan tradisi yang sakral?
Bagian 1: Ambisi Hotel di Lembah Ketapang
Di lembah terpencil di Bali ini yang dikelilingi oleh pohon-pohon ketapang besar, ada sebuah proyek ambisius untuk membangun hotel mewah dan sedang dimulai. Pemilik proyek, Pak Gede, seorang pengusaha sukses, bermimpi menjadikan lembah ini destinasi wisata premium. Lembah Ketapang memiliki pemandangan spektakuler yang belum tersentuh, serta aura mistis yang kuat akan dibangun pusat yoga. Karena itu sangat ideal untuk menarik wisatawan kelas atas yang ingin menikmati alam Bali dengan kemewahan modern seperti wellness.
Teknologi terbaru digunakan dalam pembangunan ini, termasuk alat berat otomatis yang dikendalikan dari jarak jauh, drone untuk pemetaan lahan, dan perangkat konstruksi berteknologi tinggi yang memungkinkan proses bangunan berjalan lebih cepat dan efisien.
Namun, di balik kemegahan teknologi tersebut, ada sesuatu yang lebih tua, lebih kuat, dan misterius yang bersembunyi di lembah itu.
Bagian 2: Gangguan yang Tak Terduga
Pada minggu pertama proyek, segalanya berjalan lancar. Namun, tiba-tiba, para pekerja proyek mulai melaporkan gangguan aneh. Beberapa pekerja mengalami kerauhan (kesurupan) tanpa alasan jelas. Mereka berteriak-teriak dalam bahasa kuno yang tidak mereka mengerti. Ada yang menangis tanpa henti, sementara yang lain hanya berdiri diam, tubuh mereka gemetar.
Lebih buruk lagi, alat-alat berat yang digunakan tiba-tiba tergelincir dan tersangkut di jurang. Sebuah buldoser yang berfungsi untuk meratakan tanah mendadak kehilangan kendali, meluncur ke arah jurang, dan berhenti dengan posisi menggantung di tebing. Para operator dan teknisi bingung karena tidak menemukan masalah teknis pada alat tersebut.
Pak Gede dan tim manajemen proyek panik. Semua teknologi canggih yang seharusnya membuat proyek ini berjalan mulus justru mengalami gangguan yang tidak dapat dijelaskan. Proyek terpaksa dihentikan sementara waktu, dan kerugian mulai membengkak.
Bagian 3: Nelayan Tua yang Misterius
Suatu sore, ketika para pekerja sedang duduk di barak proyek dengan wajah muram, seorang nelayan tua tiba-tiba muncul. Dengan pakaian sederhana dan wajah penuh keriput, ia berjalan perlahan mendekati lokasi proyek. Orang-orang di sekitar lembah jarang melihat nelayan di sini, karena lembah ini jauh dari laut.
Nelayan itu menyapa para pekerja dan bertanya dengan suara lembut, “Ada apa di sini, kenapa pekerjaan terhenti?”
Seorang mandor proyek, Wayan, menjelaskan situasinya—tentang pekerja yang kerauhan, alat berat yang tersangkut di jurang, dan berbagai gangguan aneh lainnya. Si nelayan mendengarkan dengan seksama, mengangguk-anggukkan kepala.
“Ah,” gumamnya. “Mungkin kalian tidak sengaja mengusik sesuatu yang kuno. Lembah Ketapang ini adalah tempat yang suci. Di sini ada pura kecil yang dihormati sejak zaman leluhur. Sepertinya pura itu terkena imbas dari pembangunan kalian.”
Wayan, yang kebingungan, bertanya, “Lalu apa yang harus kami lakukan?”
Nelayan itu tersenyum tipis. “Cobalah menghaturkan sesaji dan memperbaiki tembok pura yang kalian serempet dengan alat berat kemarin. Lakukan dengan niat yang tulus, dan siapa tahu, keadaan akan membaik.”
Pak Gede, yang mendengar saran itu, merasa skeptis. Menghaturkan sesaji? Memperbaiki pura? Bagaimana mungkin itu bisa menyelesaikan masalah teknologi modern mereka?
Namun, ketika nelayan itu melangkah pergi, ia menghilang begitu saja di tikungan jalan. Para pekerja yang melihat hal ini mulai berbisik-bisik. Wayan mengingatkan Pak Gede bahwa nelayan tua tersebut mungkin bukan orang biasa. Mitos lokal mengatakan bahwa di lembah itu tinggal wong samar, makhluk halus yang kadang-kadang menampakkan diri sebagai manusia.
Bagian 4: Ritual dan Pemulihan
Dengan rasa penasaran dan sedikit panik, Pak Gede akhirnya setuju untuk mencoba saran dari nelayan misterius tersebut. Para pekerja setempat mengatur upacara sederhana di pura yang temboknya telah diserempet alat berat. Mereka menghubungi pemangku pura yang juga bekas pemilik tanah itu untuk menghaturkan sesaji, berupa bunga, buah-buahan, dupa, dan air suci, sambil memohon maaf kepada para mahluk halus yang diyakini menghuni tempat itu.
Selain itu, tembok pura yang rusak diperbaiki dengan hati-hati. Para pekerja yang sebelumnya mengalami kerauhan juga dibersihkan dengan upacara melukat, membersihkan diri secara spiritual dari pengaruh buruk.
Setelah ritual selesai, suasana di lokasi proyek mulai berubah. Alat-alat berat yang sebelumnya bermasalah kini kembali berfungsi normal. Buldoser yang tersangkut di jurang berhasil ditarik tanpa kesulitan berarti. Pekerja yang sebelumnya ketakutan mulai bekerja dengan tenang, dan gangguan-gangguan mistis yang menghantui proyek itu perlahan menghilang.
Bagian 5: Hilangnya Nelayan dan Penemuan Ajaib
Beberapa hari setelah keadaan kembali normal, Pak Gede mencoba mencari tahu lebih banyak tentang nelayan tua tersebut. Ia bertanya kepada penduduk setempat, tetapi tidak ada yang mengenal nelayan yang ia ceritakan.
Seorang sesepuh desa akhirnya memberi tahu Pak Gede bahwa nelayan itu mungkin adalah manifestasi dari wong samar, makhluk gaib penjaga alam yang sering membantu manusia ketika mereka menghormati tradisi dan alam. Lembah Ketapang, katanya, adalah tempat yang penuh dengan kekuatan gaib sejak zaman dahulu, dan para leluhur menjaga keseimbangan di tempat itu.
Pak Gede merenung. Di satu sisi, ia adalah seorang pengusaha yang percaya pada teknologi dan kemajuan modern. Namun, pengalaman di lembah ini mengajarkannya bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari sekadar teknologi. Kekuatan yang tak bisa diukur oleh sensor atau dipahami oleh perangkat digital.
Dengan proyek yang kembali berjalan, Pak Gede memutuskan untuk memasukkan unsur tradisional dan spiritual Bali ke dalam desain hotelnya. Ia membangun Monumen Ketapang, sebuah taman spiritual di sekitar pura, untuk menghormati alam dan penghuni alam lain. Wisatawan yang datang nantinya tidak hanya akan menikmati kemewahan hotel, tetapi juga mengalami kedamaian dan keseimbangan yang berasal dari alam dan sejarah tempat itu.
Epilog: Warisan Lembah Ketapang
Hotel di Lembah Ketapang akhirnya selesai dibangun dan menjadi salah satu destinasi paling populer di Bali. Wisatawan dari seluruh dunia datang, tidak hanya untuk menikmati pemandangan alam yang indah, tetapi juga untuk merasakan pengalaman spiritual yang mendalam dan berlatih yoga.
Pak Gede, yang dulu meragukan kekuatan tradisi, kini menjadi pendukung kuat integrasi antara teknologi modern dan penghormatan terhadap alam serta sejarah. Lembah Ketapang telah menjadi simbol harmoni antara kemajuan dan warisan kuno, di mana teknologi dan mistisisme saling melengkapi, bukan bertentangan.
Dan tentang nelayan tua itu? Ia tidak pernah muncul lagi. Namun, kisah tentang wong samar di Lembah Ketapang terus diceritakan dari mulut ke mulut, menjadi bagian dari legenda lokal yang menghiasi hotel dan lembah yang kini tenang, damai, dan penuh pesona mistis. ***TAMAT***