KETIKA pertama kali menginjakkan kaki di Desa Tirta Langit, Bayu merasakan hawa sejuk yang menyelimuti tubuhnya. Desa itu terkenal dengan keindahan sungainya yang jernih, air terjun-nya yang megah, serta kafe tepi sungai yang menyajikan kuliner khas Bali. Namun, ada satu hal yang jarang dibicarakan oleh penduduk setempat—sebuah misteri yang bersembunyi di balik keindahan alamnya.
Bayu, seorang wisatawan dari Jakarta, datang ke Tirta Langit karena hobi memancing. Sungai Tirta Langit terkenal dengan ikan-ikannya yang besar dan sulit didapat. Saat ia duduk di tepi sungai, seorang pria tua bernama Pak Ketut menghampirinya.
“Kamu ingin memancing di sini?” tanya Pak Ketut dengan nada waspada.
Bayu mengangguk. “Katanya, ikan di sungai ini sangat besar dan sulit ditangkap. Saya ingin mencoba keberuntungan.”
Pak Ketut tersenyum tipis. “Memang benar, tapi jangan pernah memancing setelah matahari terbenam. Ada sesuatu di sungai ini yang lebih dari sekadar ikan.”
Bayu mengabaikan peringatan itu. Sore itu, ia duduk di tepi sungai dan menunggu umpannya disambar. Namun, yang terjadi justru aneh. Air sungai yang tenang tiba-tiba beriak, seolah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Seutas benang pancingnya menegang, terasa sangat berat seperti menarik sesuatu yang besar. Dengan susah payah, Bayu menarik kailnya. Namun, yang muncul dari air bukan ikan, melainkan sesosok tangan pucat yang mencengkeram tali pancingnya.
Dengan panik, Bayu melepaskan pancingnya dan berlari ke arah kafe tepi sungai. Di sana, ia bertemu dengan pemilik kafe, seorang wanita bernama Ayudina. Wajahnya berubah pucat ketika mendengar cerita Bayu.
“Kamu beruntung bisa selamat. Beberapa tahun lalu, ada seorang pemancing yang hilang di sungai ini setelah menangkap sesuatu yang bukan ikan,” kata Ayudina sambil menyajikan secangkir kopi khas Bali. “Sejak itu, banyak yang percaya bahwa sungai ini dihuni oleh roh penasaran.”
Rasa penasaran Bayu semakin besar. Malamnya, ia berjalan menuju air terjun yang berlokasi tidak jauh dari kafe. Cahaya bulan memantul di permukaan air yang mengalir deras. Namun, ketika ia mendekat, terdengar suara berbisik di antara gemuruh air. Suara itu seperti memanggil namanya.
Bayu mundur dengan jantung berdebar. Saat ia berbalik, ia melihat bayangan seorang wanita berambut panjang berdiri di tepi air terjun. Wajahnya pucat dengan mata kosong yang menatap lurus ke arahnya. Seketika Bayu merasakan hawa dingin yang menusuk. Ia berlari secepat mungkin kembali ke desa.
Keesokan paginya, Bayu memutuskan untuk mengunjungi toko suvenir milik Pak Wayan, seorang warga yang sudah lama tinggal di desa itu. Di sana, ia melihat berbagai barang antik, termasuk sebuah patung kecil berbentuk wanita yang mirip dengan sosok yang ia lihat di air terjun.
“Pak Wayan, siapa wanita ini?” tanyanya dengan suara gemetar.
Pak Wayan menatapnya tajam. “Itu adalah Dewi Ayu, seorang gadis desa yang tenggelam di sungai bertahun-tahun lalu. Konon, rohnya masih gentayangan, mencari orang yang berani menantang batas antara dunia nyata dan dunia gaib.”
Bayu merinding. Ia sadar, peringatannya malam itu bukan sekadar mitos. Dengan hati-hati, ia meninggalkan toko suvenir, berjanji tidak akan pernah lagi meremehkan kisah-kisah mistis yang menjadi bagian dari keindahan tersembunyi Bali. (*)