DETEKTIF Arya Wijaya menyesap kopi hitamnya, mata tajamnya menatap layar komputer. Bukan, bukan rekaman CCTV yang ia amati, melainkan deretan karakter teks yang membingungkan. Kasus pencurian terbaru di “Pizza Dualimo,” sebuah restoran Italia yang baru dibuka, terbilang aneh. Bukan uang tunai, melainkan resep rahasia saus marinara dan adonan pizza berusia 100 tahun yang hilang dari brankas kecil di kantor pemilik.
“Jadi, tidak ada jejak fisik sama sekali, Detektif?” tanya Inspektur Bayu, suara beratnya mengisi ruangan kecil itu.
Arya mengangguk. “Sidik jari nihil, CCTV mati sejak seminggu lalu, dan alarm entah mengapa tidak berfungsi saat kejadian. Satu-satunya petunjuk adalah pesan ini.” Arya menunjuk ke layar.
Pesan itu, diketik di selembar kertas dan ditinggalkan di meja kasir, berbunyi:
“Kepada Tuan Marco,
Resep ini seharusnya menjadi milik saya. Anda tahu mengapa. Sekarang, biarkan masa lalu terkubur. Lupakan saja. Saya akan kembali.”
“Aneh, ya? Terlalu dramatis untuk pencuri biasa,” komentar Bayu. “’Masa lalu terkubur’? Apa maksudnya?”
Arya tersenyum tipis. “Itulah yang menarik. Di sinilah forensik linguistik bermain.”
Bayu mengernyit. “Forensik… bahasa? Kedengarannya seperti pekerjaan profesor sastra, bukan detektif.”
“Justru itu kekuatannya. Setiap orang punya ‘sidik jari’ linguistik unik, Bayu. Cara kita memilih kata, struktur kalimat, bahkan tanda baca. Pesan ini punya beberapa keanehan yang menarik.” Arya memperbesar teks. “Lihat penggunaan ‘Tuan Marco’.
Agak formal, bukan? Lalu, frasa ‘Anda tahu mengapa’. Ini menunjukkan kedekatan, atau setidaknya asumsi bahwa Marco mengenali pengirimnya.”
“Jadi, pencurinya kenal Marco?” Bayu mulai tertarik.
“Sangat mungkin. Tapi ada lagi. Perhatikan frasa ‘biarkan masa lalu terkubur’. Ini idiom. Cukup umum, tapi mari kita lihat bagaimana kalimat itu berdiri sendiri. Dan yang paling penting: ‘Saya akan kembali’. Ini bukan ancaman standar. Ada nuansa kepastian, bahkan mungkin arogansi.”
Beberapa hari berikutnya, Arya menyelami profil Marco Rossi, pemilik Pizza Dualimo. Marco adalah imigran Italia generasi kedua yang membangun restorannya dari nol, dengan resep keluarga sebagai daya tarik utama. Ia dikenal ramah, tapi juga punya sejarah persaingan bisnis di masa lalu.
Arya menemukan dua nama yang menonjol: Antonello, mantan partner bisnis Marco yang hubungannya retak karena sengketa kepemilikan resep puluhan tahun lalu; dan Sofia, mantan koki kepala Marco yang dipecat karena sering terlambat dan dianggap kurang loyal.
“Kita punya Antonello yang merasa resep itu miliknya, dan Sofia yang mungkin punya dendam,” kata Bayu. “Bagaimana forensik linguistik membantu kita menyaring mereka?”
Arya mengangguk. “Saya meminta sampel tulisan dari keduanya. Antonello mengirim email panjang berisi keluh kesah lama, sementara Sofia menulis surat lamaran kerja ke restoran lain.”
Arya membandingkan sampel tersebut dengan pesan pencuri.
“Antonello,” Arya memulai, “cenderung menggunakan kalimat yang lebih panjang, dengan banyak klausa subordinat. Dia juga sering menggunakan tanda baca koma berlebihan. Dan yang paling menarik, ia sering menggunakan frasa ‘saya rasa’ atau ‘menurut saya’ yang menunjukkan keragu-raguan, padahal ia ingin terdengar tegas. Dalam pesannya kepada Marco, tidak ada keraguan sama sekali.”
“Bagaimana dengan Sofia?” tanya Bayu penasaran.
“Nah, ini dia. Sofia dalam surat lamarannya menggunakan bahasa yang lebih lugas, kalimat pendek dan langsung. Dia juga punya kecenderungan aneh dalam penulisan.
Dia sering memulai kalimat dengan frasa yang sedikit klise, seperti ‘Dengan hormat saya sampaikan…’ atau ‘Sebagai informasi…’. Dalam pesan pencuri, kita punya ‘Kepada Tuan Marco’. Ini cocok dengan gaya formalitas di awal yang sering digunakan Sofia, bahkan dalam situasi informal sekalipun.”
Bayu menyipitkan mata. “Jadi, formalitas di awal, tapi isi pesannya penuh dendam. Itu kontras.”
“Betul. Dan ada satu hal lagi. Perhatikan penulisan kata ‘seharusnya’. Dalam pesan pencuri, ‘seharusnya’ ditulis tanpa spasi antara ‘se’ dan ‘harusnya’. Sofia punya kebiasaan serupa di beberapa email lamanya, sering menggabungkan kata depan atau imbuhan yang seharusnya terpisah. Ini detail kecil yang sering luput.”
Bayu menunjuk ke frasa “Anda tahu mengapa.” “Bagaimana dengan ini? Sofia dipecat. Itu alasan yang cukup kuat baginya untuk menyimpan dendam, merasa resep itu tak pantas di tangan Marco.”
“Tepat sekali. Frasa ‘Anda tahu mengapa’ sangat personal dan penuh nuansa sindiran, seolah mengacu pada sesuatu yang hanya diketahui oleh Marco dan pengirimnya – pemecatan Sofia mungkin?” Arya menyimpulkan. “Dan frasa ‘Saya akan kembali’ terdengar seperti ancaman yang dikemas dengan janji akan kehadiran kembali, bukan sekadar ancaman kosong.”
Malam itu, dengan surat perintah, Arya dan timnya mendatangi apartemen Sofia. Ketika ditanya tentang keberadaannya malam pencurian, Sofia tergagap. Ia mencoba membantah, namun Arya langsung mengeluarkan fotokopi pesan pencuri dan membandingkannya dengan surat lamaran lama Sofia.
“Coba lihat, Sofia,” Arya menunjuk ke pesan itu. “Gaya penulisan, pilihan kata, bahkan kebiasaan kecil seperti penulisan ‘seharusnya’ tanpa spasi. Ini semua menunjuk padamu.”
Wajah Sofia memucat. Ia mencoba berdalih, tetapi bukti linguistik itu, yang begitu personal dan unik seperti sidik jari, tak bisa dibantah. Akhirnya, ia pun mengaku. Ia merasa dipecat secara tidak adil dan yakin resep itu adalah “miliknya” karena ia telah menghabiskan bertahun-tahun menyempurnakannya di dapur Marco. Pencurian itu adalah bentuk balas dendam dan upaya untuk merebut apa yang ia yakini haknya.
Resep rahasia Pizza Dualimo berhasil ditemukan di apartemen Sofia. Kasus itu ditutup, bukan dengan sidik jari atau rekaman CCTV, melainkan dengan kekuatan kata-kata dan ketajaman seorang detektif yang memahami bahwa setiap tulisan menyimpan jejak jiwa pelakunya. Arya Wijaya kembali ke mejanya, siap menganalisis “sidik jari” linguistik berikutnya. (*)








