MATAHARI Bali yang terik menyengat kulit I Made Suparta, detektif swasta paling tidak terburu-buru di Denpasar. Kantornya, sebuah bilik sempit di atas toko oleh-oleh, selalu berbau dupa dan sesekali aroma durian yang tak bisa dihindari dari pasar sebelah. Made, dengan kemeja batik yang selalu sedikit berantakan dan sandal jepit andalannya, sedang khusyuk menyantap nasi campur saat bel pintu bergemuruh.
Seorang wanita jangkung dengan topi pantai lebar dan kacamata hitam super besar masuk dengan tergesa. Dia adalah Penelope Higgins, seorang vlogger pariwisata terkenal dari Australia yang kontennya selalu tentang “menemukan Bali yang autentik.” Wajahnya yang biasanya ceria kini keruh.
“Made, saya butuh bantuan Anda!” serunya, suaranya sedikit serak karena panik. “Topeng Barong koleksi saya hilang!”
Made menghela napas. “Topeng Barong? Yang mana, Bu Penelope? Yang sering Ibu pakai untuk menari TikTok di pura?”
Penelope memicingkan mata. “Bukan sembarang Topeng Barong! Itu adalah Topeng Barong pusaka, peninggalan leluhur seorang tetua desa yang saya pinjam untuk segmen ‘Warisan Budaya Bali yang Tersembunyi’. Nilainya tak terhingga, Made! Dan besok saya harus mengembalikannya!”
Made menggaruk dagu. “Baiklah, Bu Penelope. Mari kita urutkan. Kapan terakhir Ibu melihat topeng itu?”
“Tadi malam. Setelah syuting di vila mewah itu, The Sunset Serenity. Saya taruh di kamar saya, di atas lemari. Saya sangat yakin!”
“Ada siapa saja di vila itu selain Ibu?” Made bertanya sambil mencatat di buku catatannya yang lusuh.
“Hanya tim saya: Luna, asisten saya yang suka lupa meletakkan barang; dan Budi, kameramen saya yang selalu mengeluh tentang sinyal Wi-Fi. Oh, dan juga Gede, manajer vila yang sangat… smooth.” Penelope mendengus.
Made berdiri, merapikan kemejanya. “Baiklah, Bu Penelope. Kita mulai dari vila itu. Ada kemungkinan, ini bukan pencurian. Mungkin saja… salah taruh.”
Penelope menatapnya tak percaya. “Salah taruh? Topeng Barong seberat itu? Made, ini Bali, bukan kantor pusat Google!”
Setibanya di The Sunset Serenity, vila itu memang memancarkan aura kemewahan yang tenang, kontras dengan kegelisahan Penelope. Made mulai memeriksa kamar Penelope. Luna, asistennya, sedang panik mencari paspornya yang hilang, sementara Budi sibuk mencoba memperbaiki koneksi internetnya yang, seperti biasa, bermasalah.
“Permisi, Nona Luna,” Made memulai dengan ramah. “Apakah Nona ingat melihat Topeng Barong itu tadi malam?”
Luna mengernyitkan dahi. “Topeng? Oh, yang besar dan menakutkan itu? Saya rasa saya melihatnya di dekat… ah, entahlah. Saya sedang sibuk mengedit video ‘Yoga Bersama Monyet’ sampai dini hari.”
Made beralih ke Budi. “Bung Budi, ada hal aneh yang Anda lihat tadi malam?”
Budi mengangkat bahu. “Yang aneh? Cuma sinyal Wi-Fi di sini. Sama, sepertinya Gede terlalu banyak memakai pomade. Rambutnya kinclong sekali.”
Made tersenyum tipis. Petunjuk yang sangat membantu.
Kemudian, Made mendatangi Gede, manajer vila yang memang terlihat sangat rapi dan wangi. Gede sedang sibuk mengarahkan staf untuk menyiapkan sarapan untuk tamu.
“Selamat pagi, Pak Gede,” Made menyapa. “Saya I Made Suparta. Saya sedang menyelidiki hilangnya sebuah Topeng Barong dari kamar Bu Penelope.”
Gede tersenyum menawan. “Oh, benarkah? Topeng yang indah itu? Saya tidak melihatnya. Saya sibuk mengecek reservasi dan memastikan tamu-tamu kami merasa seperti di surga.”
Made mengangguk. “Tentu saja. Omong-omong, Pak Gede, apakah Anda punya… hobi unik?”
Gede terlihat sedikit terkejut. “Hobi? Yah, saya suka menata rambut. Dan kadang-kadang, saya mengagumi kesenian tradisional Bali.”
Made memperhatikan jemari Gede yang bersih dan kuku-kuku yang terawat. “Apakah Anda sering masuk ke kamar tamu?”
“Tentu tidak, Pak Made! Itu melanggar privasi tamu. Saya hanya masuk jika ada permintaan khusus.” Gede terdengar sedikit defensif.
Made kembali ke Penelope, yang kini sedang mondar-mandir seperti harimau lapar.
“Bagaimana, Made? Sudah ada petunjuk? Jangan bilang Anda masih berpikir ini salah taruh!”
“Sabar, Bu Penelope,” Made menenangkan. “Pencuri sering meninggalkan jejak, atau kebiasaan aneh. Saya perhatikan Pak Gede, dia sangat rapi, sangat wangi, dan sangat… smooth, seperti yang Ibu bilang.”
Penelope mengangguk. “Memang! Bau parfumnya seperti toko duty-free berjalan.”
Made mengangguk. “Justru itu yang aneh. Dan kuku-kukunya bersih, padahal dia sibuk dengan segala macam pekerjaan manajerial.”
Tiba-tiba, mata Made tertuju pada sebuah tumpukan majalah pariwisata di meja kopi. Di salah satu majalah, ada artikel tentang kolektor topeng antik. Dan di dalamnya, ada foto sebuah topeng yang sangat mirip dengan yang hilang. Penulis artikelnya? Seorang ‘kolektor anonim’ yang dikenal karena obsesinya terhadap topeng pusaka dan… rambut yang sangat tertata rapi.
Made tersenyum. “Bu Penelope, saya rasa saya tahu di mana Topeng Barong Anda.”
Mereka berdua berjalan menuju kantor Gede yang terletak di belakang dapur. Made mengetuk pintu, dan Gede membukanya dengan senyum seperti biasa.
“Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak Made?”
“Tentu, Pak Gede,” Made memulai dengan santai. “Saya hanya ingin tahu, apakah Anda memiliki koleksi topeng pribadi di sini?”
Senyum Gede sedikit memudar. Ia melirik ke arah sebuah lemari ukiran Bali di sudut ruangan. Made melihat sekilas ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.
“Oh, itu… hanya beberapa suvenir,” Gede berkata, mencoba terdengar santai.
“Pak Gede,” Made berkata, suaranya kini lebih serius. “Saya rasa Anda keliru mengambil Topeng Barong milik Bu Penelope. Mungkin karena terlalu kagum dengan keindahan seninya, ya?”
Wajah Gede memerah. Ia menghela napas, kalah. “Baiklah, baiklah. Saya akui. Saya melihatnya di kamar Bu Penelope dan saya… sangat terpesona. Saya hanya ingin melihatnya lebih dekat, dan entah bagaimana, saya membawanya ke sini. Saya berniat mengembalikannya nanti!”
Gede membuka lemari itu, dan di dalamnya, tergeletaklah Topeng Barong pusaka itu, bersinar dalam cahaya remang-remang.
Penelope terkesiap. “Dasar! Saya kira saya harus menelepon polisi!”
“Tidak perlu, Bu Penelope,” Made menenangkan. “Saya rasa Pak Gede sudah cukup jera. Lagipula, topengnya kembali. Mungkin Pak Gede perlu mencari hobi baru yang tidak melibatkan properti orang lain.”
Gede mengangguk pasrah. “Maafkan saya, Bu Penelope. Saya benar-benar tidak bermaksud mencuri. Hanya… tergoda.”
Saat mereka berjalan keluar dari vila, Penelope memandang Made dengan kagum. “Made, Anda luar biasa! Bagaimana Anda tahu?”
Made tersenyum simpul, merapikan kemeja batiknya. “Begini, Bu Penelope. Di Bali ini, pencuri seringkali bukan penjahat profesional. Mereka cuma kadang terlalu… terpesona dengan keindahan. Dan orang yang terlalu rapi, terlalu wangi, dan terlalu peduli dengan penampilan rambut, kadang punya sesuatu yang disembunyikan. Kebanyakan pencuri di Bali itu cuma pengen punya sesuatu yang indah. Tapi tenang saja, kebanyakan juga akhirnya ketahuan karena terlalu *smooth*.”
Penelope tertawa renyah. “Made, Anda jenius! Konten saya selanjutnya: ‘Detektif Topeng Barong dan Misteri Rambut yang Terlalu Rapi!’”
Made hanya tersenyum dan kembali ke kantornya, siap untuk nasi campur berikutnya dan misteri unik Bali lainnya. Mungkin besok, pencurian sandal jepit di pura, atau hilangnya resep sambal rahasia dari warung favoritnya. Di Bali, selalu ada misteri yang menunggu untuk dipecahkan, dengan sedikit sentuhan humor, tentu saja. (*)







