MENTARI pagi di Pulau Dewata atau Bali selalu punya caranya sendiri untuk menyapa, lembut namun tegas. Di tahun 2077, ketika kemajuan teknologi seperti pusat data atau data center telah menyatu harmonis dengan kearifan lokal, cahaya keemasan itu menyinari puncak-puncak bangunan ber-arsitektur tradisional Bali yang kini menjadi rumah bagi sesuatu yang luar biasa: Pusat Data Emaswana.
Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang diikat rapi, mengenakan seragam tunik putih yang elegan, melangkah keluar dari salah satu paviliun. Ia adalah Ayu, Kepala Operasional Emaswana. Senyum tipis terukir di wajahnya saat ia menghirup udara bersih, semilir angin laut membawa aroma bunga kamboja yang semerbak. Di kejauhan, terlihat jelas panel surya yang berkilauan di atas atap jerami alang-alang, menara-menara turbin angin yang ramping berputar perlahan, dan jaring-jaring energi bawah laut yang tak terlihat, semua bekerja dalam harmoni untuk menggerakkan denyut jantung digital Bali.
“Pagi, Bu Ayu!” suara renyah menyapanya. Seorang pemuda berparas ramah dengan ID card “Teknisi Utama” tergantung di lehernya, Rian, mendekat. Ia membawa tablet transparan yang memancarkan grafik energi.
“Pagi, Rian. Bagaimana kinerja semalam?” tanya Ayu, matanya tertuju pada grafik.
“Stabil, Bu. Tenaga surya mencapai puncaknya siang hari kemarin, angin membantu saat senja, dan arus laut menopang sepanjang malam. Efisiensi energi kita berada di 98%.” Rian menjelaskan dengan bangga. “Semua sistem pendingin berbasis air laut juga bekerja optimal. Tidak ada satu pun server yang ‘berkeringat’ di dalam sana.”
Ayu mengangguk puas. “Bagus. Kita tidak hanya menyimpan data, Rian, kita membuktikan bahwa teknologi tinggi bisa seiring dengan alam.”
Mereka berjalan menuju area lobi utama yang terbuka, di mana turis-turis dari berbagai belahan dunia sudah berkumpul. Emaswana bukan sekadar pusat data; ia adalah destinasi wisata. Dengan desain yang memadukan arsitektur istana air Tirta Gangga dan pura-pura kuno, setiap sudutnya dihiasi ukiran kayu rumit dan taman-taman tropis yang rimbun. Kolam-kolam teratai yang jernih memantulkan cahaya matahari, dan di bawah permukaan air, terlihat samar-samar pipa-pipa transparan yang mengalirkan air pendingin.
Seorang pemandu wisata, Laras, yang juga mengenakan seragam Emaswana, menyambut rombongan dengan senyum manis. “Selamat datang di Emaswana, para tamu terhormat! Di sini, Anda akan menyaksikan bagaimana data dunia tersimpan dengan kekuatan alam Bali.”
Salah seorang turis, seorang wanita tua dengan kamera di leher, bertanya, “Jadi, di mana server-server itu? Saya tidak melihat tumpukan mesin berisik.”
Laras tertawa kecil. “Tentu saja tidak, Nyonya. Di Emaswana, kami percaya bahwa tanah, di bunker-bunker yang dirancang khusus, dengan pendinginan alami yang efisien. Mari ikuti saya, kita akan masuk ke dalam area pengamatan.”
Rombongan dipandu masuk ke sebuah lorong yang temaram, dihiasi lampu-lampu LED yang meniru kunang-kunang. Dindingnya terbuat dari kaca tebal, menampakkan pemandangan di balik tirai. Di sana, di dalam ruangan yang steril dan hening, berjajar ribuan unit server yang berkedip-kedip, beroperasi tanpa suara. Yang menarik perhatian adalah sistem pendinginannya: bukan kipas besar yang bising, melainkan aliran air laut yang dimurnikan, mengalir melalui pipa-pipa yang membentuk pola indah, menyerap panas dari setiap unit.
“Ini luar biasa,” bisik seorang pria muda. “Aku pikir pusat data itu selalu gelap, panas, dan bau ozon.”
“Di sini, kami mematahkan stereotip itu,” kata Laras bangga. “Seluruh sistem pendinginan kami menggunakan air laut yang telah disaring dan disterilkan, kemudian dialirkan kembali ke laut setelah dilepaskan panasnya, tanpa mencemari. Kami juga menggunakan teknologi AI untuk memprediksi kebutuhan energi dan mengoptimalkan penggunaan listrik dari tiga sumber utama kita.”
Rian, yang kini mendampingi rombongan, menambahkan, “Kami bahkan punya sistem ‘penyimpanan energi cerdas’ yang mengalirkan kelebihan listrik kembali ke jaringan listrik Bali saat permintaan puncak, membantu menstabilkan pasokan energi di seluruh pulau.”
Setelah tur pengamatan di area server, rombongan dibawa ke sebuah museum interaktif yang menjelaskan sejarah teknologi data dan evolusi Emaswana. Ada pula sebuah teater mini yang menayangkan film dokumenter tentang budaya Bali dan bagaimana nilai-nilai filosofis Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan: hubungan harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam) menjadi inti dari konsep Emaswana.
Seorang anak kecil berlari-lari di antara diorama, menunjuk ke sebuah replika turbin angin. “Ayah, ini seperti mainan yang kubuat di sekolah!”
Ayahnya tersenyum. “Iya, Nak. Tapi ini sungguhan, dan dia membantu kita menonton video-video di internet.”
Di sebuah kafe berkonsep open-air dengan pemandangan sawah terasering, Ayu dan Rian duduk sejenak, menyeruput kopi luwak.
“Tadi ada investor dari Singapura yang tertarik dengan model kita, Bu,” kata Rian. “Mereka bilang ingin mereplikasi Emaswana di negara mereka, tapi dengan sentuhan arsitektur lokal.”
Ayu tersenyum lebar. “Itulah yang kita harapkan, Rian. Emaswana bukan hanya tentang data, tapi tentang inspirasi. Kita menunjukkan kepada dunia bahwa teknologi bisa berintegrasi dengan budaya dan lingkungan. Bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan keindahan.”
“Tapi, Bu,” Rian tiba-tiba teringat sesuatu. “Bagaimana dengan proyek ekstensi di sisi barat? Beberapa insinyur khawatir tentang dampak terhadap habitat burung Jalak Bali.”
Ayu meletakkan cangkirnya. “Sudah saya bicara dengan tim lingkungan. Kita akan menyesuaikan desain, Rian. Mungkin kita akan membangun menara observasi burung di sana, mengubahnya menjadi area konservasi kecil yang terintegrasi dengan pusat data. Kita akan membuktikan bahwa kita bisa memperluas kapasitas tanpa mengorbankan satwa endemik kita.”
Rian mengangguk. “Itu ide yang bagus, Bu Ayu. Jadi, turis bisa melihat server dan juga burung langka?”
Ayu terkekeh. “Tepat sekali. Itu adalah esensi dari Emaswana: Harmoni. Di Bali, data hidup berdampingan dengan burung, angin, dan ombak. Dan itulah masa depan.”
Sore itu, ketika mentari mulai bergeser ke barat, memancarkan rona jingga di langit Bali, Emaswana tetap berdenyut. Bukan hanya sebagai pusat data, melainkan sebagai monumen hidup dari sebuah visi: bahwa teknologi, ketika dirangkul dengan kebijaksanaan, dapat menciptakan keajaiban yang tidak hanya efisien, tetapi juga indah, ramah lingkungan, dan membanggakan. Pulau Dewata kini memiliki permata baru, bersinar tidak hanya dari keindahan alamnya, tetapi juga dari kecerdasan inovasi yang menghormati warisan dan budayanya. (*)







