BANGLI tidak saja menawarkan obyek wisata Kintamani dengan Danau dan Gunung Batur-nya yang indah. Daerah ini juga memiliki desa wisata yang bernama Penglipuran. Berlokasi di sebelah utara kota Bangli, desa ini sangat menarik untuk dikunjungi.
Setelah membeli karcis masuk, Anda bisa mulai menelusuri keunikan desa tradisional ini. Titik masuk ke area pemukiman sepertinya tepat berada di tengah-tengah. Di sebelah kiri ada balai desa tempat mengadakan kegiatan adat, baik kegiatan sosial maupun keagamaan. Balai ini dilengkapi menara kulkul sebagai alat komunikasi tradisional.
Memanjang dari utara ke selatan (tinggi ke rendah) terhampar kawasan hunian di mana rumahnya masih mempertahankan bangunan tradisional. Di kiri dan kanan tampak deretan rumah seragam yang beratapkan bambu. Dalam satu rumah ada bale, meten, dapur. Selain itu, bisa juga ada bangunan tambahan. Sebelum masuk, ada kori yang seragam berbahan tanah halus. Inilah ciri unik yang menyolok di sini. Di telajakan atau ruang hijau atau taman minimalis antara tembok penyengker dan jalan ditanami aneka bunga.
Desa ini memiliki beberapa keunikan yang menambah wawasan dan memperkaya khasanah memori mengenai desa wisata Anda.
Tataletak: Desa ini menganut tata ruang dengan konsep Tri Mandala dimana wilayah desa dibagi menjadi tiga zona berbeda berdasarkan fungsi, yaitu utama, madya dan nista mandala. Letak ketiga ruang ini membujur dari utara (gunung) ke selatan (laut) atau dari tempat tinggi ke lebih rendah, dengan jalan desa lurus berundak sebagai poros tengah yang memisahkan zona madya menjadi dua bagian.
Paling utara adalah zona utama atau “ruang para dewa,” tempat bangunan suci bernama Pura Penataran sebagai tempat ibadah penduduk desa. Adapun madya mandala atau “ruang manusia” terdapat 76 petak pekarangan dan rumah tempat bermukim warga terbagi ke dalam dua jajaran, yaitu di sebelah barat 38 dan timur 38. Bagian paling selatan adalah nista mandala atau “ruang bagi manusia yang sudah meninggal” berupa kuburan.
Arsitektur tradisional: Semua bangunan rumah di desa ini tampak saling mirip satu sama lain dimana setiap rumah selalu memiliki sebuah pintu gerbang (angkul-angkul) dan uniknya lagi ukuran rumah para warga di desa ini juga sama persis. Material tiangnya dari kayu dan atapnya yang khas dari bambu, namun beberapa bangunan lainnya ada yang memakai genteng.
Masing-masing pekarangan mempunyai beberapa bangunan berupa ruangan tidur, ruangan tamu, dapur, balai-balai, lumbung dan tempat suci. Antara satu pekarangan dengan pekarangan lainnya terdapat jalan sempit yang menghubungkan keduanya.
Hutan bambu: Di sebelah selatan desa terdapat hutan bambu. Hal ini mengingat penggunaan bambu yang cukup banyak sebagai salah satu bentuk kearifan lokal dalam memanfaatkan bahan alami di sekitarnya dan tujuang konservasi lahan. Di Penglipuran, 40 persen (37 hektar) wilayahnya merupakan hutan bambu. Material bangunan bisa diambil dari hutan ini. Di samping itu, bambu juga digunakan untuk bahan produk kerajinan dan keperluan ritual.
Tidak ada warung yang berhadapan langsung ke jalan utama desa, melainkan dibuat di dalam pekarangan rumah sendiri. Produk khasnya adalah anyaman bambu, kerajinan dan loloh cemcem atau minuman herbal.
Jalan Tanpa Kendaraan: Jalan desa sebagai pemisah tetap dipertahankan bebas dari kendaraan roda dua dan roda empat dan tidak menggunakan aspal tetapi paving block dan batu sikat. Kendaraan yang dimiliki warga desa akan ditaruh di garasi belakang rumah yang memiliki jalur berbeda.
Karang Memadu: Masyarakat Desa Penglipuran melarang mempunyai lebih dari satu istri. Jika hal itu terjadi, ia dan istri-istrinya harus pindah dari area utama desa ke karang memadu (masih di dalam area desa tetapi bukan bagian utama). Hak dan kewajibannya sebagai warga desa adat Penglipuran akan dicabut. Setelah pindah, mereka akan dibuatkan rumah oleh warga desa tetapi mereka tidak boleh melewati jalanan umum ataupun memasuki pura dan mengikuti kegiatan adat.
Prestasi: Desa Panglipuran dikelola dengan baik oleh masyarakatnya dan sudah menerima banyak penghargaan karena kondisinya yang otentik serta kebersihan desa yang terjaga dengan baik. Pengolahan lahannya masih mengikuti konsep Tri Hita Karana, filosofi masyarakat Bali terkait keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia dan lingkungannya. Mereka membangun pariwisata demi kesejahteraan seluruh masyarakat tanpa meninggalkan budaya dan tradisi mereka.
Mereka juga secara konsisten melakukan konservasi budaya yang adiluhung demi kepentingan anak cucu di masa depan serta memadukan tatanan tradisional dengan banyak ruang terbuka dan pertamanan yang asri sehingga membuat para wisatawan merasakan nuansa Bali pada zaman dahulu. Pada tahun 1995 desa ini meraih penghargaan Kalpataru dari pemerintah pusat serta pernah meraih predikat desa terbersih di dunia.