SENJA di Desa Batusikat melukis langit ungu jingga, namun keindahan itu terasa hambar di mata Danu. Penulis novel itu sudah seminggu menginap di Homestay milik Bu Wirda. Ia datang mencari kesunyian sebuah desa wisata untuk menyelesaikan babak terakhir bukunya. Namun, privasi adalah barang mewah di sini.
Pintu kamar Danu memang memiliki kunci, tapi bagi Bu Wirda, kunci itu hanyalah hiasan.
Sore itu, Danu sedang flow—jemarinya menari di atas laptop, karakter utamanya sedang menghadapi klimaks—ketika pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.
“Nak Danu, ini lilitannya masih hangat. Ibu bikinkan kopi Bali juga, biar mata melek,” sapa Bu Wirda riang, menaruh nampan di meja kecil dekat kasur tanpa jeda.
Danu menarik napas panjang, merusak konsentrasinya. “Terima kasih, Bu. Tapi saya sedang… bekerja.”
“Oh, iya, bekerja. Ya sudah. Ini Ibu ambil baju yang semalam dijemur di kamar mandi, ya? Sudah kering sekali itu.” Bu Wirda mengambil beberapa pakaian yang tergantung, sama sekali tidak menyadari ketegangan di udara.
Setelah Bu Wirda keluar, Danu mengunci pintu lagi, lalu menghela napas berat. Ini bukan yang pertama kali. Pagi hari Bu Wirda masuk untuk menyapu, siang hari untuk bertanya apakah perlu diantarkan makan, dan malam hari untuk menawarkan pijatan.
Malam harinya, setelah Bu Wirda dan suaminya tertidur, Danu memutuskan untuk membuat kopi di dapur komunal. Ia berjalan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Namun, saat kembali, tepat di depan pintu kamarnya, ia melihat Bu Wirda sedang berdiri tegak.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanyta Danu dingin.
Bu Wirda terkejut, memegang dadanya.
“Astaga, Nak! Ibu kira siapa. Ibu hanya… melihat sebentar,” sahut Bu Wirda dalam suara parau.
“Melihat apa, Bu?” tanya Danu, nada suaranya mulai tajam. “Saya sudah membayar untuk tempat ini, Bu. Kamar ini adalah batas. Saya butuh privasi. Saya di sini bukan untuk diawasi.”
“Bukan begitu, Nak Danu. Kami di sini… kalau ada tamu, ya dianggap anak sendiri. Kami hanya ingin memastikan Nak Danu nyaman. Tidak ada maksud mengawasi,” Bu Wirda merasa sedikit terluka mendengar ucapan itu.
“Saya tahu niat baik Ibu,” potong Danu, tidak ingin bertele-tele. “Tapi cara Ibu membuat saya tidak nyaman. Saya bekerja di balik pintu terkunci, tapi Ibu selalu punya alasan untuk masuk. Mohon, anggap kamar ini hotel, bukan rumah anak sendiri.”
Mendengar perbandingan itu, wajah Bu Wirda langsung memucat. Ia menunduk.
“Maafkan saya, Nak. Saya tidak tahu kalau itu mengganggu,” jawab Bu Wirda lirih dan berbalik lalu pergi, tanpa menunggu jawaban Danu.
*****
Keesokan paginya, Danu merasa bersalah. Ia keluar mencari Bu Wirda dan menemukannya sedang menyiram tanaman dengan tatapan kosong.
“Bu Wirda, saya minta maaf atas ucapan saya semalam. Saya terlalu lelah. Tapi saya serius soal batasan,” Danu memohon dengan tenang.
“Ibu mengerti, Nak. Ibu cuma… di desa ini, kalau tamu itu nginep, itu artinya mereka percaya sama kita. Kita harus pastikan mereka aman sampai ke hal-hal kecil,” jelas Bu Wirda sembari tersenyum pahit.
Danu terdiam. Ia tidak menyadari ada beban kepercayaan di balik kebiasaan Bu Wirda.
“Bagaimana kalau kita buat sistem baru, Bu? Sebuah ‘Kode Etik Rumah’,” usul Danu yang penuh ide.
Danu mengambil selembar kain kecil dari saku celananya dan Bu Wirda mencari lonceng perunggu tua milik mendiang kakeknya. Mereka berdua duduk di teras.
“Kain ini berarti privasi maksimal. Selama kain ini tergantung di kenop, tidak ada yang boleh masuk atau mengetuk. Bahkan untuk menyajikan teh,” Danu memberi pendapat.
“Setuju. Dan lonceng kakek ini… akan jadi Kode Peringatan. Kalau lonceng ini Ibu gantung di pintu gerbang luar, artinya ada hal penting yang harus kita bicarakan di teras, bukan di kamar. Bagaimana?” kata Bu Wirda.
Danu tersenyum lebar. “Sempurna, Bu. Itu namanya kesepakatan yang saling menghargai.”
Bu Wirda tertawa, tawa yang tulus setelah sehari sembunyi.
“Sebenarnya, Nak, semalam Ibu berdiri di depan pintu kamarmu bukan mau mengintai. Tadi sore, waktu Ibu kasih lilitan, Ibu lihat ada kabel cas laptopmu yang terkelupas dan dekat bantal. Ibu mau ingatkan, takut konslet,” sambung Bu Wirda (setengah berbisik).
Danu menatap Bu Wirda, rasa bersalahnya langsung memuncak. “Oh Tuhan, Bu. Saya minta maaf. Benar-benar minta maaf.”
Bu Wirda mengangguk, meletakkan lonceng di tangan Danu. “Tidak apa, Nak. Yang penting, sekarang kita tahu cara saling menjaga.”
Mereka berdua lalu memasang lonceng kecil di tiang teras, tanda bahwa batasan baru telah tercipta, membawa ketenangan bagi tamu dan rasa aman bagi tuan rumah. Danu kembali ke kamarnya, mengaitkan kain privasi, dan melanjutkan babak klimaksnya. Kali ini, tanpa gangguan. (*)







