Pohon Beringin dan Pena Ajaib Risa

Anak kecil
Ilustrasi anak kecil yang meminfa maaf kepada kedua orang tuanya. (Image: Dibuat dengan AI/Nusaweek)
banner 468x60

RISA adalah anak perempuan cerdas yang selalu tenggelam membaca buku. Masalahnya, ia juga sedikit galak, terutama saat ada yang mengganggu waktu membacanya.

“Risa, tolong bantu Ayah cuci piring sebentar, Nak!” panggil Ayah dari dapur.

Risa menghela napas panjang sambil membalik halaman. “Ya ampun, kenapa harus sekarang, Yah? Lima menit lagi, ya? Aku lagi seru!” jawabnya ketus, tanpa menoleh.

“Bukan lima menit, Nak. Sekarang. Tadi sudah janji,” kata Ayah dengan sabar.

“Ish! Selalu begini!” Risa membanting buku novelnya, lalu berjalan ke dapur dengan langkah berat. Setelah mencuci piring seadanya, ia lari keluar, menuju tempat favoritnya: bawah Pohon Beringin tua di belakang rumah.

Di sanalah, tersembunyi di antara akar-akar besar, mata Risa menangkap kilauan yang aneh. Itu adalah sebatang pena, terbuat dari kayu, dengan ujung perak yang berkilau seolah ditaburi debu bintang.

“Pena apa ini?” Risa mengambilnya. Ia iseng menulis di atas daun kering, “Aku ingin satu kotak penuh cokelat stroberi.”

Sret, sret, sret. Tiba-tiba, di samping kakinya, muncul kotak kardus berisi cokelat stroberi kesukaannya.

Mata Risa terbelalak. Ia menulis lagi, “Aku ingin istana kecil untuk boneka-bonekaku!”

Sret, sret, sret. Sejurus kemudian, sebuah rumah boneka kayu setinggi lutut, lengkap dengan menara dan halaman rumput tiruan, berdiri di hadapannya.

“Ini Pena Ajaib!” seru Risa gembira. Ia menghabiskan sisa sore itu dengan menulis banyak hal: sepeda baru, es krim yang tidak pernah meleleh, dan boneka anjing lucu yang bisa bicara.

Keesokan harinya, hujan turun deras. Ibu Risa terbatuk-batuk di kamar.

“Risa, Sayang…” panggil Ibu lemah.

Risa sedang sibuk menyusun istana bonekanya. “Apa, Bu? Jangan ganggu dulu, ini lagi penting!”

“Tolong, ambilkan air hangat dan obat demam di lemari. Ibu tidak kuat bangun,” pinta Ibu dengan suara serak.

Risa berdecak kesal. “Air hangat lagi? Kan tadi sudah. Sebentar dong, Bu! Selalu saja ada yang minta tolong saat aku sedang asyik!” Risa tetap membantunya, tetapi dengan wajah cemberut dan ucapan yang sungguh tidak enak didengar.

Malam harinya, batuk Ibu semakin parah. Risa mulai khawatir. Ia teringat Pena Ajaib. Ini kesempatan yang sempurna!

Ia meraih pena itu dan menulis dengan tekad di buku tulisnya: “Ibu harus sembuh sekarang juga, tanpa batuk, dan kembali sehat!”

Namun, anehnya, Pena Ajaib itu tidak mau bergerak. Ujung peraknya terasa berat dan dingin. Risa mencoba memaksanya, tetapi Pena itu tiba-tiba bergerak sendiri dan menulis satu baris rapi:

“Aku tidak menulis kebaikan dari hati yang marah.”

“Apa maksudmu?” tanya Risa terkejut.

Pena itu menulis lagi, kali ini lebih cepat, menampilkan tiga syarat yang berkilauan:

“Syarat 1: Bantu orang tuamu dengan senyum dan hati ikhlas.

Syarat 2: Berbicaralah halus dan hormat selama tiga hari penuh.

Syarat 3: Minta maaf dengan tulus atas kata-kata ketusmu.

Setelah itu, aku akan menulis keajaiban.”

Risa menelan ludah. Tiga hari tanpa bicara ketus? Itu adalah tantangan terbesar dalam hidupnya.

Pagi hari, Risa bangun dan mencoba menjalankan tantangannya. Ayah memanggil dari dapur.

“Risa, tolong bantu Ayah lap meja makan, ya?”

Risa menarik napas, mengingat syarat Pena Ajaib. Ia berjalan ke dapur. “Baik, Ayah. Dengan senang hati aku bantu.” Ia bahkan tersenyum saat mengambil lap.

Ayah sempat terdiam, lalu tersenyum hangat. “Terima kasih, Nak. Lapnya bersih sekali.”

Saat siang, Ibu memintanya membuatkan teh hangat. Kali ini Risa menjawab, “Tentu, Ibu. Aku buatkan teh terbaik untuk Ibu, ya. Semoga Ibu cepat pulih.”

Saat Risa membawakan teh, Ibu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih banyak, Nak. Kamu anak yang manis sekali.”

Setelah dua hari penuh kebaikan dan perkataan lembut, hati Risa terasa ringan. Ia menyadari, menggunakan kata-kata yang baik ternyata jauh lebih menyenangkan daripada bersikap ketus.

Pada malam ketiga, Risa mendekati Ayah dan Ibu di kamar. “Ayah, Ibu…” Suaranya bergetar. “Risa minta maaf. Maaf karena sering bicara ketus, karena tidak sabar, dan karena selalu menunda membantu. Risa janji akan lebih menghormati kalian dan membantu dengan tulus.”

Ayah dan Ibu memeluknya erat. “Kami maafkan, Nak. Kami bangga padamu,” kata Ibu.

Saat Risa kembali ke kamarnya, Pena Ajaib itu bersinar sangat terang. Risa mengambilnya dan menulis, “Ibu sembuh.”

Sret, sret, sret. Cahaya Pena Ajaib menyebar. Keesokan harinya, Ibu Risa bangun tanpa batuk sama sekali.

Risa kini tahu. Pena Ajaib itu memang hebat, tapi kekuatan yang sebenarnya bukanlah pada tinta atau kayunya, melainkan pada hati yang tulus dan kata-kata yang penuh hormat. Ia memutuskan untuk menyimpan Pena itu dan hanya menggunakannya untuk hal-hal yang benar-benar baik, sambil memastikan bahwa ucapan dan perbuatannya sehari-hari selalu menjadi keajaiban bagi orang tuanya. (*)

banner 300x250

Related posts