Rahasia Hutan Tua: Perlindungan Tak Terduga bagi Sang Pertapa

Rusa
Kawanan rusa, sahabat sang pertapa, sedang menyeberangi sungai. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

TEDUH dan damai–Di sebuah lembah terpencil, jauh dari hiruk pikuk duniawi, berdirilah sebuah pertapaan sederhana. Di dalamnya tinggallah seorang pertapa yang dikenal akan kebijaksanaan dan kebaikan hatinya. Usianya tak lagi muda, namun matanya tetap memancarkan keteduhan dan kehangatan. Masyarakat sekitar seringkali datang meminta nasihatnya, dan ia selalu menyambut mereka dengan senyum tulus.

Suatu hari, ketika sang pertapa sedang bermeditasi di tepi sungai, telinganya menangkap suara rintihan lemah. Ia segera membuka mata dan mendapati seekor anak rusa terperosok ke dalam air yang deras. Tanpa ragu, ia mengambil ranting kayu untuk menarik dengan hati-hati dan menggiring anak rusa itu ke tepi. Tubuhnya kecil dan menggigil kedinginan. Sang pertapa segera membawa anak rusa itu ke pertapaannya, mengeringkannya dengan kain kasar, dan memberinya ramuan herbal penghangat tubuh.

Tiga purnama berlalu. Anak rusa itu tumbuh semakin lincah dan sehat. Sang pertapa memberinya nama Binar, sesuai dengan mata bulatnya yang bersinar. Setiap pagi, Binar akan menemaninya bermeditasi, dan setiap sore mereka akan berjalan-jalan di sekitar hutan. Suatu senja, ketika sang pertapa dan Binar sedang menikmati keindahan matahari terbenam, tiba-tiba terdengar suara lengking rusa betina yang cemas.

Tak lama kemudian, seekor rusa betina yang besar berlari menghampiri mereka. Ia mengendus Binar, lalu menatap sang pertapa dengan tatapan penuh syukur.

Sejak hari itu, hubungan antara sang pertapa dan kawanan rusa menjadi semakin erat. Setiap bulan purnama tiba, kawanan rusa akan datang ke pertapaan, membawa berbagai macam sayuran hutan segar yang mereka petik. Mereka meletakkan hasil bumi itu di depan gubuk sang pertapa, seolah sebagai ungkapan terima kasih atas kebaikan hatinya. Sang pertapa selalu menyambut kedatangan mereka dengan sukacita, mengelus lembut kepala rusa-rusa yang mendekat.

Suatu ketika, kedamaian di pertapaan terusik oleh kedatangan seorang patih dari istana, didampingi sepuluh orang prajurit bersenjata lengkap. Wajah patih tampak keras dan tanpa senyum.

“Kami datang untuk menangkap seorang pertapa bernama Resi Wiragia,” kata patih dengan suara lantang. “Ia dituduh melakukan fitnah dan pengkhianatan.”

Sang pertapa, Resi Wiragia, keluar dari gubuknya dengan tenang. “Hamba Resi Wiragia. Tuduhan apa gerangan yang dituduhkan kepada hamba?” tanyanya dengan nada lembut.

“Cukup ikuti kami!” bentak patih, tak menghiraukan pertanyaan Resi Wiragia.

Tiba-tiba, dari dalam hutan muncul puluhan ekor rusa. Mereka berlari dengan kencang, membentuk barisan yang menghalangi jalan menuju pertapaan. Suara kaki mereka menghentak tanah, membuat para prajurit terkejut. Kawanan rusa itu tampak gelisah dan seolah ingin melindungi Resi Wiragia.

“Minggir kalian! Jangan halangi tugas kami!” seru patih marah. Ia memerintahkan pasukannya untuk maju, namun kawanan rusa itu tidak gentar. Mereka justru semakin merapatkan barisan, sesekali menggeram dan menghentakkan kaki ke tanah.

Melihat situasi yang semakin memanas, Resi Wiragia mengangkat tangannya. “Tenanglah, para sahabat,” katanya lembut kepada kawanan rusa. Ajaibnya, suara riuh rendah kawanan rusa perlahan mereda. Mereka tetap berjaga, namun tidak lagi bertindak agresif.

“Patih,” kata Resi Wiragia dengan tenang, “hamba bersedia ikut dengan Anda ke istana untuk mengklarifikasi tuduhan ini. Namun, hamba mohon, biarkan kawanan rusa ini tetap di sini. Mereka adalah sahabat hamba.”

Patih, yang merasa sedikit terintimidasi oleh jumlah rusa yang begitu banyak, akhirnya menyetujui. Ia dan pasukannya berjalan mengikuti jalan setapak yang ditunjukkan Resi Wiragia, sementara kawanan rusa mengawasi mereka dari kejauhan.

Namun, tanpa sepengetahuan patih dan pasukannya, beberapa ekor rusa dengan lincah bergerak mendahului mereka, menyusuri jalur hutan yang lain. Mereka menjatuhkan batang-batang pohon tumbang melintang di jalan setapak, dan menutupi jejak dengan ranting dan dedaunan.

Malam itu, langit menggelap yang disertai angin kencang yang mengguncang pepohonan. Patih dan pasukannya segera mendirikan tenda seadanya di tengah hutan. Mereka merasa kesal karena perjalanan mereka menjadi lambat akibat jalan yang sulit dilalui. Tiba-tiba, terdengar suara berisik dari luar tenda. Beberapa ekor rusa dengan sengaja menubruk dan merobek tali-tali tenda, membuat kain tenda roboh diterpa angin dan hujan.

Para prajurit dan patih panik. Mereka berusaha menyelamatkan diri dari hujan dan angin yang semakin menggila. Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh yang menakutkan. Air sungai yang meluap dengan cepat berubah menjadi banjir bandang, menyapu segala yang dilewatinya. Para prajurit yang berusaha menyelamatkan diri terseret arus deras. Patih pun tak luput dari terjangan banjir. Ia berteriak meminta tolong, namun suaranya tenggelam dalam deru air.

Hanya seorang prajurit yang berpegangan erat pada sebuah batang pohon yang cukup kuat yang selamat dari amukan banjir bandang. Setelah air surut dan hari mulai terang, ia dengan tubuh lemas dan penuh luka berjalan kembali menuju istana. Dengan susah payah, ia menyampaikan berita musibah yang menimpa patih dan kesembilan prajuritnya.

Berita itu menggemparkan istana. Raja menjadi murka dan memerintahkan untuk mencari tahu penyebab kejadian tersebut. Sementara itu, di pertapaan, Resi Wiragia dan kawanan rusa kembali hidup dalam kedamaian. Mereka tahu bahwa kebaikan akan selalu menemukan jalannya, dan persahabatan sejati akan selalu memberikan perlindungan. Fitnah dan dengki pada akhirnya akan musnah oleh kebaikan dan kebenaran. (*)

banner 300x250

Related posts