DAHULU kala, di sebuah desa kecil yang asri, hiduplah seorang gadis kecil bernama Chikie bersama ibunya. Hidup mereka serba kekurangan. Setiap hari, setelah membantu ibunya mencari dan mengumpulkan kayu bakar, Chikie pergi ke sekolah. Namun, di sekolah, Chikie sering menjadi bahan ejekan teman-temannya. Pakaiannya yang lusuh, sepatunya yang robek, dan rambutnya yang sering berantakan, menjadi sasaran ledekan.
“Lihat! Chikie si miskin datang!” teriak seorang anak laki-laki sambil tertawa.
“Baunya seperti asap kayu!” timpal anak perempuan lainnya.
Chikie hanya bisa menunduk, menahan air mata yang mendesak keluar. Penghinaan itu tak hanya datang dari teman-temannya di sekolah, bahkan beberapa tetangga di desanya pun sering memandang rendah dirinya dan ibunya.
Suatu sore, setelah membantu ibunya, Chikie berjalan menyusuri pinggir sungai menuju ladang. Pikirannya melayang, merenungi nasibnya yang seolah tak berujung. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu. Seekor ular besar terimpit batang pohon yang hanyut di sungai, tampak kesulitan. Perlahan, dan dengan keberanian yang muncul entah dari mana, Chikie mendekat.
“Kasihan sekali ular ini,” gumamnya. Dengan hati-hati, ia berusaha mengangkat batang pohon itu. Otot-otot kecilnya menegang, namun ia tak menyerah. Sedikit demi sedikit, batang pohon itu bergeser, dan ular itu pun terbebas. Ular itu meliuk-liuk sebentar, seolah memberi hormat, sebelum akhirnya menghilang ke dalam semak-semak.
Chikie melanjutkan perjalanannya ke ladang dengan perasaan lega. Saat sore hari, ketika ia melintas di bawah pohon besar dalam perjalanan pulang, ia mendengar sebuah suara.
“Nak, terima kasih atas pertolonganmu siang tadi,” suara itu berbisik, lembut dan penuh wibawa. “Kelak aku akan membantumu. Teruslah dan tekunlah belajar.”
Chikie berhenti, pandangannya menyapu sekeliling, mencari sumber suara. Namun, ia tak menemukan siapapun. Bulu kuduknya sedikit meremang, namun ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Setibanya di rumah, ia menceritakan pengalamannya kepada ibunya.
“Bu, tadi aku mendengar suara aneh,” kata Chikie. “Ada yang mengucapkan terima kasih dan bilang akan membantuku.”
Ibunya tersenyum tipis. “Mungkin itu malaikat penolongmu, Nak. Tuhan tahu kamu anak yang baik.”
Tahun-tahun berlalu. Chikie belajar dengan sangat giat. Ia selalu menjadi yang terbaik di kelasnya. Setelah lulus SD, keajaiban pun datang. Seorang dermawan kaya raya yang kebetulan sedang berkunjung ke desa itu, terkesan dengan kepintaran dan kegigihan Chikie. Ia pun menawarkan diri untuk mengangkat Chikie sebagai anak asuhnya, membiayai pendidikannya hingga SMP dan SMA. Chikie dan ibunya sangat bersyukur.
Meskipun sudah hidup berkecukupan dan mendapat pendidikan yang layak, hati Chikie tak pernah jauh dari ibunya di kampung. Setelah lulus SMA, ia tak ingin melanjutkan kuliah, namun juga tak ingin berpisah jauh dari ibunya. Sang dermawan, yang kini sudah seperti ayahnya sendiri, memahami keinginan Chikie. Ia kemudian menawari Chikie untuk mengikuti kursus memasak.
Chikie belajar dengan tekun. Bakatnya dalam meracik bumbu dan menciptakan masakan lezat segera terlihat. Setelah lulus kursus, ia magang di sebuah warung makan di kawasan wisata. Enam bulan kemudian, dengan kemampuan dan pengalamannya, ia ditawari untuk membuka warung makan kecil di kampungnya sendiri. Kebetulan, ia memiliki sebidang tanah kecil di pinggir sungai dekat pantai, warisan dari kakeknya.
Dengan bantuan sang dermawan, impian Chikie untuk memiliki warung makan sambil tetap merawat ibunya pun terwujud. Malam pembukaan tiba, warung makan kecil Chikie dipenuhi sanak saudara, tetangga, dan beberapa penduduk desa yang penasaran. Tiba-tiba, kehebohan terjadi. Dari langit, melayang turun seekor *naga biru yang besar, sisiknya berkilauan di bawah cahaya bulan. Chikie terkejut, jantungnya berdebar kencang, ia merasa takut.
Namun, naga itu segera menenangkannya dengan suara berat namun lembut. “Chikie, jangan takut. Aku datang membantu dirimu, seperti yang kujanjikan. Aku akan membantu usahamu ini.”
Chikie tercengang. Ia teringat suara yang didengarnya bertahun-tahun lalu. Naga itu adalah ular yang pernah ditolongnya!
“Jika kau mau,” lanjut naga biru itu, “kau boleh membuka usaha taman reptil di samping warungmu. Biar aku menjinakkan semua anak buahku. Kau tak usah khawatir, biarkan aku menolongmu.”
Dengan bantuan naga biru, usaha warung makan pinggir sungai Chikie menjadi sangat ramai pengunjung. Makanan lezatnya menjadi buah bibir, dan warungnya tak pernah sepi. Demikian pula dengan taman reptilnya. Setiap Sabtu dan Minggu, taman itu dipenuhi anak-anak dan keluarga yang ingin melihat berbagai jenis reptil yang dijinakkan oleh sang naga biru.
Teman-teman dan warga kampung yang dulu sering menghina Chikie kini merasa malu melihat keberhasilan gadis itu. Mereka datang ke warung Chikie, meminta maaf, dan turut bangga. Kendati sudah sukses besar, Chikie tetap berbagi. Ia tidak pernah menyimpan dendam, justru berusaha membantu siapa saja yang membutuhkan, terutama anak-anak yang bernasib sepertinya dulu. Ia tahu, kebaikan akan selalu kembali, seperti janji seekor naga biru di suatu senja. (*)








