SEBUAH perusahaan bioteknologi di Denpasar menciptakan alat revolusioner bernama DNA Reincoder untuk melacak jejak reinkarnasi lewat kode genetik. Seorang anak dari Desa Kencana menunjukkan ingatan aneh tentang masa lalu sebagai dalang legendaris abad ke-14. Saat ia membuat wayang futuristik berdasarkan penglihatannya, rahasia kelam kerajaan Bali kuno mulai terungkap—dan mengguncang tatanan sejarah yang selama ini dianggap suci.
—-
Bab I: Pemeriksaan DNA Sang Bocah
“Nama lengkap?” tanya petugas laboratorium itu sambil menatap monitor holografis di depannya.
“I Gede Arianta Pramana,” jawab lelaki paruh baya itu sambil menepuk bahu anak laki-lakinya yang tampak gelisah.
Anak itu mengenakan udeng putih dan kemeja tradisional, tapi tangannya memegang drone mini yang terus berputar-putar seperti mainan.
“Usia anak?” lanjut petugas.
“Delapan tahun.”
Petugas mengangguk. “Baik. Silakan ke ruang pemindaian. DNA Reincoder akan membaca pola epigenetik dan kemungkinan memori seluler lintas generasi.”
Gede hanya mengangguk pelan. Ia tak sepenuhnya mengerti bagaimana alat itu bekerja. Tapi setelah mendengar anaknya, Wira, bicara tentang detail-detail wayang dan upacara kuno yang tak mungkin diajarkan di sekolah, bahkan menyebut nama-nama tokoh kerajaan Majapahit dengan logat kuno yang tepat, ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam.
Di ruang putih steril, Wira berbaring di atas tempat tidur berbentuk kapsul. Di atasnya, lengan mekanik memindai tubuhnya dari kepala hingga kaki.
“Tenang saja, Dek,” ujar teknisi perempuan di balik dinding kaca. “Alat ini hanya membaca jejak memori dalam DNA kamu. Tidak sakit.”
Wira menatap langit-langit. Dalam pikirannya, bayangan sebuah panggung wayang dari kayu jati tergambar jelas. Tangan-tangan tuanya yang lain—dalam tubuh yang berbeda—menggerakkan wayang Arjuna dan Rahwana dalam perang tak berujung. Ia bisa mendengar gamelan, bau dupa, dan suara ratusan rakyat yang memadati halaman pura.
Dan yang paling aneh, ia tahu nama orang-orang yang sudah ratusan tahun mati.
Tiga hari kemudian, Gede menerima panggilan dari kantor pusat Sundara Biogenetics di Denpasar.
“Pak Gede, kami menemukan anomali,” ujar seorang ilmuwan bernama Dr. Mahita. Di belakangnya tampak tampilan DNA Wira yang bercahaya dalam pola geometris di layar tiga dimensi.
“Anak Bapak memiliki fragmen memori genetik dari seseorang yang hidup sekitar tahun 1350—seorang dalang kerajaan bernama Jro Dalang Made Mertamahen. Ia tercatat dalam lontar-lontar kuno yang sebagian besar hilang dalam peristiwa ‘pembersihan sejarah’ era kerajaan kuno.”
Gede terdiam. “Apa maksudnya ‘pembersihan sejarah’?”
“Periode itu dikenal dengan penghapusan para seniman dan spiritualis yang dianggap menyimpan rahasia kerajaan. Salah satunya dalang ini.”
Dr. Mahita menunjuk hasil rekaman otak Wira saat ia bermeditasi. Di situ tergambar sketsa wayang berbentuk aneh—dengan sayap mekanik, tubuh transparan, dan simbol-simbol astronomi yang belum pernah terlihat dalam seni Bali.
“Ini bukan sekadar kenangan. Anak Anda menciptakan kembali warisan yang telah coba dilenyapkan. Tapi dengan bentuk baru… futuristik.”
Sejak saat itu, Wira menjadi pusat perhatian.
Media menyebutnya “Dalang Reinkarnasi”. Para peneliti mencoba membongkar ingatannya, sementara para seniman Bali mulai tertarik pada karya-karya wayang yang ia buat dengan printer 4D dan sinar holografik. Wayang-wayangnya bukan dari kulit kerbau, tapi dari bio-polymer hidup yang bisa bergerak sendiri saat ditarikan.
Namun, di balik ketenarannya, Wira terus dihantui mimpi yang sama—sebuah wayang berwajah raja dengan mata hitam kosong, berdiri di atas tumpukan tubuh dalang-dalang tua. Di belakangnya, api menyala membakar panggung.
Suatu malam, saat Wira sedang menyusun pertunjukan wayang digital perdananya, ia berkata kepada ayahnya,
“Bapak tahu kenapa aku dibunuh dulu?”
Gede menoleh kaget. “Kamu… dibunuh?”
“Pada kehidupanku yang terdahulu, aku adalah seorang dalang kerajaan, dan aku tahu sesuatu tentang raja. Tentang perjanjian dengan ‘makhluk cahaya’ dari langit yang katanya memberi kekuasaan tak terbatas.”
Gede menelan ludah. “Makhluk cahaya?”
Wira mengangguk. “Mereka bukan dewa. Tapi pengembara antarbintang. Dulu mereka datang ke Bali. Memberi teknologi pada raja. Tapi butuh tumbal.”
Pertunjukan besar Wira diadakan di sebuah wantilan pura di atas bukit, tempat yang dipercaya sebagai gerbang antara dunia nyata dan spiritual. Ia mementaskan “Wayang Bintang”, kisah tentang manusia yang tergoda kuasa dari langit dan membayar mahal dengan jiwanya.
Wayang-wayangnya melayang di udara, menari-nari dalam hologram tiga dimensi yang mengikuti suara gamelan dari alat musik AI. Penonton semuanya terpaku.
Namun di tengah pertunjukan, layar berkedip. Salah satu wayang, sang raja, keluar dari skrip. Ia berbicara dengan suara berbeda, berat dan bergema.
“Kami kembali. Darahmu masih membawa perjanjian itu. Reinkarnasi tidak bisa melarikan diri.”
Wayang itu menatap langsung ke arah Wira.
Tiba-tiba, semua alat padam. Layar mati. Penonton panik.
Wira pingsan.
Beberapa jam kemudian, di ruang pemulihan, Dr. Mahita duduk di samping ranjang Wira.
“Kamu tahu apa yang kamu bangkitkan?” tanyanya.
Wira membuka matanya perlahan. “Aku cuma mengingat.”
“Bukan hanya ingatan. Kamu membuka koneksi ke masa lalu yang ingin terkubur. Jika itu benar, makhluk yang datang dulu bukan legenda. Mereka menanam jejaknya… dalam darah kita.”
Wira menatap langit-langit putih itu lagi. “Mungkin wayang bukan cuma seni. Mungkin dulu itu menjadi cara mereka—para dalang—menyimpan kebenaran yang tak bisa diucapkan.”
Mahita menunduk, bergumam, “Kita harus berhati-hati. Apa yang kamu tahu… bisa mengguncang banyak hal.”
Dua minggu kemudian, pemerintah mengeluarkan larangan resmi terhadap semua pertunjukan “wayang digital bercorak reinkarnasi.”
Wayang-wayang ciptaan Wira disita. Tapi beberapa berhasil diselundupkan ke luar Bali.
Dan di tempat-tempat gelap di internet, mulai muncul komunitas baru: “Dalang Genetik”, yang percaya bahwa darah manusia Bali menyimpan rahasia kuno bukan hanya tentang bumi… tapi juga tentang langit.
Bab 2: Panggung Kedua Sang Dalang
Malam itu, di bawah cahaya purnama yang redup tertutup kabut di Desa Kencana, Gede duduk sendirian di bale bambu. Ia memandangi langit, seolah mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Wira duduk di sampingnya, masih lemah, namun pikirannya jauh lebih terang dari sebelumnya.
“Ayah…” gumam Wira lirih. “Aku ingat semuanya. Bahkan kematianku dulu.”
Gede menoleh, matanya basah. “Kamu nggak harus ingat semua, Nak. Kadang… masa lalu seharusnya tetap di belakang.”
“Tapi masa lalu itu belum selesai.”
Wira mengeluarkan potongan kecil seperti sirkuit, terbuat dari bahan organik yang bersinar samar.
“Apa itu?” tanya Gede.
“Wayang terakhir. Yang belum aku pentaskan. Di dalamnya, tersimpan pesan dari masa lalu… dari aku yang dulu. Tapi juga peringatan.”
Di seberang desa, terdengar gemuruh aneh seperti dengungan. Suara itu bukan suara angin, atau binatang malam. Lebih seperti… getaran mesin dari kedalaman tanah.
Sementara itu, di markas rahasia komunitas Dalang Genetik yang tersembunyi di bawah pura tua yang sudah lama ditinggalkan di Tabanan, beberapa pemuda dan pemudi menonton rekaman pertunjukan Wira yang disensor pemerintah.
“Ini bukan sekadar wayang,” ujar Komang Rathi, seorang mantan peneliti bio-memory. “Ini kode. Pola gerakan dan suara gamelan membentuk sinyal sonik yang hanya bisa dipahami oleh frekuensi tertentu…”
“…oleh mereka yang pernah datang dari langit,” potong seorang lelaki tua yang disebut sebagai Kakek Tunjung, tokoh misterius yang mengaku sebagai keturunan dalang pengasingan.
Ia menunjuk sketsa kuno yang tergambar di dinding gua.
“Dulu, para dalang bukan hanya seniman. Mereka adalah pengingat. Penjaga batas antara manusia dan sesuatu yang lebih tua dari sejarah. Dan sekarang, anak itu… telah membuka gerbang yang hampir kami tutup selama ratusan tahun.”
Pemerintah diam-diam menghubungi Sundara Biogenetics. Dr. Mahita diminta untuk menyerahkan semua data DNA Wira.
“Kami khawatir ia adalah vektor informasi tak terkontrol. Bahkan mungkin… penyambung antara manusia dan entitas non-manusia,” kata seorang pejabat tinggi dari Badan Intelijen Budaya.
Mahita menolak.
“Dia bukan senjata. Dia anak-anak. Dan kalau benar dia dalang dari masa lalu… maka kita seharusnya mendengar apa yang dia tahu. Bukan membungkamnya.”
“Ilmu pengetahuan bukan tempat untuk roh dan reinkarnasi,” desis sang pejabat.
“Ilmu pengetahuan,” jawab Mahita tajam, “seharusnya tidak takut pada kebenaran, bahkan jika datang dari masa lalu.”
Di Desa Kencana, Wira menancapkan wayang terakhirnya di tanah. Ia memutar pola musik digital kuno yang digabungkan dengan gamelan AI. Suaranya menggetarkan udara, dan dari danau di dekatnya, lalu muncul cahaya aneh—seperti cermin cair berwarna perak yang melayang.
Dari dalamnya, muncul sosok berjubah, tinggi dan tak sepenuhnya padat. Matanya seperti pusaran bintang.
“Kami datang… untuk mengingat.”
Wira berdiri, tidak gentar.
“Dan aku di sini… untuk menanyakan mengapa kalian memaksa manusia menukar jiwa demi kekuasaan.”
Makhluk itu diam. Dan dalam jeda sunyi itu, angin berhenti berembus. Alam pun menahan napas.
Di hari berikutnya, seluruh dunia menyaksikan siaran yang bocor: rekaman interaksi Wira dan entitas dari dimensi lain. Pemerintah tak bisa membungkamnya lagi.
Dan dari situlah peradaban baru dimulai.
Di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan… bertemu dalam wayang.
Bab 3: Wayang Penutup Sang Wira
Desa Kencana kini tak lagi sunyi. Setelah kejadian malam itu—penampakan entitas bercahaya dari danau dan pertunjukan gamelan sonik Wira yang disiarkan secara global—perhatian dunia mengarah ke Bali. Para peneliti, jurnalis, hingga pemburu artefak datang silih berganti. Tapi Gede, Mahita, dan Wira tahu: semua ini bukan soal teknologi atau sensasi. Ini soal kebenaran lama yang bangkit kembali.
Mahita memandangi Wira yang duduk termenung di bale banjar. Di pangkuannya, sebuah wayang berteknologi tinggi terbuat dari serat karbon bercampur batang bambu tua yang diambil dari pohon yang konon hanya tumbuh di kuburan Desa Kencana. Wayang itu bukan sekadar alat pertunjukan. Ia adalah kunci.
“Kenapa mereka menyembunyikan semua ini?” tanya Wira lirih.
“Karena kebenaran kadang lebih menakutkan dari kebohongan,” jawab Mahita.
Gede menambahkan, “Dalam sejarah Bali, pernah ada masa kerajaan melakukan kontak dengan makhluk asing yang bukan dari dunia ini. Para dalang zaman itu merekam semuanya—bukan dalam tulisan, tapi dalam pertunjukan. Wayang mereka menyimpan pola suara, gerak, simbol… semacam enkripsi budaya.”
Wira perlahan berdiri. “Kalau begitu, sudah saatnya aku pentaskan kisah terakhir. Yang dulu belum sempat kulakukan.”
Malam itu, di puncak Bukit Shantiloka—tempat paling sakral dan tua di Bali—sebuah pertunjukan disiapkan. Bukan untuk manusia, tapi untuk mereka yang bersemayam di antara bintang dan ingatan.
Wira memakai pakaian seperti dalang kuno, dilengkapi headset neural dan gelang pemicu resonansi. Di hadapannya terbentang layar hologram yang menampilkan siluet gunungan raksasa.
“Pertunjukan ini bukan sekadar cerita,” gumamnya dalam hati. “Ini ritual penyambung antar-zaman.”
Gamelan digital mulai berbunyi. Ritmenya tak manusiawi. Ketika Wira mulai menggerakkan wayangnya, langit di atas berubah. Bintang-bintang seakan bergeser membentuk pola spiral. Layar holografik menampilkan wajah-wajah dari masa lalu: semua raja masa lalu bahkan tokoh yang tidak tercatat dalam sejarah resmi.
Lalu muncul kilasan wajah dirinya sendiri, sebagai dalang tua di abad ke-14. Dan kemudian… suara.
“Anak muda… aku adalah kamu. Dan kamu adalah aku. Kita gagal menjaga gerbang dahulu. Kini, kau diberi satu kesempatan terakhir.”
“Apa yang harus kulakukan?” bisik Wira lirih.
“Lepaskan. Biarkan mereka pulang. Jangan jadikan ingatan sebagai penjara.”
Dalam klimaks pertunjukan, wayang terakhir—bernama Batara Candra Wisesa—melayang dari tangannya, pecah menjadi ribuan partikel cahaya dan menyebar ke langit. Gelombang sonik merambat ke seluruh penjuru Bali, mengaktifkan patung, lukisan, ukiran kuno yang tersebar di pura-pura. Semuanya menyatu dalam satu resonansi.
Dari langit, muncul portal energi berkilau perak. Entitas bercahaya yang dahulu datang dari danau kini tampak lebih utuh. Namun berbeda: mereka tak lagi menakutkan. Mereka tampak… damai dan bersahabat.
“Kami tidak datang untuk menguasai, hanya mengingat. Manusia telah cukup lama memikul warisan kami. Kini, saatnya kalian berjalan sendiri.”
Dan mereka pun lenyap, perlahan, tanpa jejak. Portal menutup dengan tenang. Udara kembali normal.
Beberapa hari kemudian, semua kembali seperti semula. Desa Kencana tenang kembali. Wira menjadi simbol generasi baru: bukan sekadar dalang, tapi penjaga ingatan umat manusia. Pertunjukannya dipelajari, bukan sebagai seni, tapi sebagai bahasa baru: antara genetik, budaya, dan kosmik.
Gede kembali bertani. Mahita memutuskan keluar dari perusahaan dan mendirikan yayasan “Yayasan Wayang Genetik Nusantara”, pusat riset dan pelestarian budaya berbasis DNA dan ingatan.
Dan Wira?
Ia kembali ke bale bambu, duduk tenang dengan tangan menggenggam wayang kayu sederhana.
“Kadang,” ujarnya kepada anak-anak yang belajar padanya, “masa depan bukan sesuatu yang kita ciptakan. Tapi sesuatu yang kita ingat.”
EPILOG:
Beberapa tahun setelah peristiwa itu, ilmuwan dari berbagai negara mulai menemukan gen-gen misterius yang menyimpan pola suara dan visual tertentu—seperti memori terkompresi. Mereka menamakannya: Gen Wayang.
Dan di tempat paling sunyi di dunia, di jantung Bali, seorang anak kecil lahir. Di tangannya—sejak bayi—ia menggenggam potongan kayu berbentuk gunungan.
Dan dunia pun tahu, kisah belum benar-benar selesai. (*)








