MAKANAN tak ubahnya seperti memiliki sensor–Di tahun 2147, makanan bukan lagi sekadar kebutuhan, tetapi seni yang bisa membaca hati. Restoran “Rasa Galaksi” adalah tempat paling eksklusif di kota Neo-Terra, menawarkan pengalaman kuliner yang bisa disesuaikan dengan emosi pelanggan. Dengan bantuan teknologi neurogastronomi dan koki alien berbakat, restoran ini bisa menciptakan hidangan yang bukan hanya lezat, tetapi juga mampu mengungkapkan perasaan terdalam seseorang.
Di sudut restoran, seorang pria berkeringat gugup. Namanya Rio, seorang insinyur muda yang lebih nyaman berbicara dengan robot ketimbang manusia—apalagi perempuan. Malam itu, ia memberanikan diri mengajak sahabat lamanya, Livia, ke restoran ini dengan satu tujuan: menyatakan cinta.
“Bagaimana sistemnya bekerja?” tanya Rio pada seorang pelayan berkepala tiga yang datang menghampirinya.
“Mudah! Anda hanya perlu memasukkan tangan ke dalam pemindai emosi, lalu Chef Xylo akan meracik hidangan berdasarkan perasaan Anda saat ini,” jawab pelayan dengan senyum ramah dari tiga mulutnya.
Rio menelan ludah. Ia melirik Livia yang sedang sibuk melihat hologram menu. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan telapak tangannya ke pemindai.
[Menganalisis emosi… Detak jantung meningkat… Ada ketegangan, harapan, dan… ketakutan?]
Di dapur, Chef Xylo, seorang koki alien dari Nebulon-5, mengerutkan alisnya. Bahasa tubuh manusia memang rumit. Ia mengira Rio sedang mengalami stres akibat perubahan suhu planet dan memutuskan menyajikan hidangan penenang. Namun, karena gangguan sinyal galaksi, sistemnya mengalami kesalahan. Alih-alih menyeimbangkan emosi Rio, makanan yang ia buat malah memicu reaksi biologis yang tidak terduga.
Tak lama, hidangan itu tiba di meja Rio. Sepiring pasta berwarna biru berpendar dengan saus bercahaya. Aromanya harum, bercampur antara vanila dan sesuatu yang tidak bisa dideskripsikan.
“Wow, kelihatannya menarik,” kata Livia, tersenyum. “Coba duluan, Rio.”
Rio mengangguk ragu dan mengambil suapan pertama. Begitu pasta menyentuh lidahnya, terjadi sesuatu yang aneh. Tenggorokannya terasa geli, kepalanya berputar, dan tiba-tiba ia membuka mulut untuk berbicara—
“Zorg blorg flibbernaut?”
Livia menatapnya bingung. “Kamu barusan ngomong apa?”
Rio panik. Ia mencoba bicara lagi, tapi yang keluar justru bahasa asing yang bahkan translator universalnya tidak bisa mengartikan.
“Brzzz…! Fluuk nar gibblynack!”
Sadar ada yang tidak beres, Chef Xylo datang terburu-buru dengan wajah bersalah. “Astaga, sepertinya sistem salah menerjemahkan emosimu! Aku tak sengaja memberimu saus Nebulonian yang memicu efek linguistik acak.”
Rio melongo. “Blorg?!”
Chef Xylo menggaruk kepalanya. “Ehm… bahasa planet Zorgon. Oh, sebentar, masih ada satu efek samping lagi.”
Tiba-tiba, tubuh Rio berpendar merah muda terang seperti lampu neon.
Livia tertawa terbahak-bahak. “Rio, kamu seperti lampu di festival intergalaksi!”
Rio yang masih merah jambu berusaha menutupi wajahnya. “Blorg! Nack-nack bluuup!!” (Terjemahan: Ini memalukan sekali!!)
Chef Xylo buru-buru menyodorkan antidot berbentuk es krim hijau. “Makan ini, dan efeknya akan hilang dalam satu menit.”
Rio cepat-cepat menyendok es krim itu. Seketika, warna kulitnya kembali normal dan ia bisa berbicara lagi.
“Uh, aku tadi ngomong apa?”
Livia menahan tawa. “Entahlah, tapi aku rasa aku menangkap maksudnya.”
Rio menghela napas. “Livia, aku sebenarnya ingin bilang… aku suka kamu. Aku cuma terlalu gugup untuk mengatakannya dengan benar.”
Livia tersenyum lembut. “Kalau aku bilang aku juga suka kamu, apakah kita akan merayakan setiap Valentine di sini?”
Rio tersenyum lega. “Selama makanannya nggak bikin aku berubah warna lagi, aku setuju.”
Chef Xylo bertepuk tangan. “Ah, akhirnya aku berhasil! Makanan tetap menjadi bahasa cinta yang universal!” (*)