- VANALOKA yang dikenal aman dan tenteram kini diguncang prahara berupa pembakaran pasar rakyat dekat taman istana yang sangat indah bak surga yang bernama ‘Apurwa Nilaya’ oleh orang tak dikenal
- Diduga musibah itu didalangi orang dalam yang tak suka kepada baginda dan pejabat kerajaan lainnya karena sakit hati setelah kejahatannya terbongkar
Kerajaan Vanaloka di bawah kepemimpinan raja Vira Kunjara sebenarnya hidup rukun, aman dan tenteram. Sekali-sekali memang ada riak-riak kecil, ya biasalah namanya juga hidup berkerajaan, tidak selalu semua warganya patuh dan berpikiran waras dan selaras.
Pada suatu siang yang sejuk dengan hembusan angin semilir dari kawasan hutan di depan beranda istana, Baginda menikmati keindahan pemandangan di tepian sungai dimana air yang mengalir amat jerninhya. Tentu saja suasana seperti itu melambungkan lamunan sang raja, walaupun masih memegang buku sastra, mungkin sudah tak terbaca.
Tiba-tiba paman patih muda Rhabima datang hendak menghadap beliau. Dalam langkah tergopoh-gopoh, ia tak sempat merapikan rambut dan ikat kepalanya.
“Ampun Paduka! Hamba membawa kabar buruk!” lapor patih muda Rhabima.
“Tenang…..tenang paman. Ada apa ini, sepertinya genting sekali?” tanya baginda raja.
“Begini Paduka, hamba barusan mendapat laporan bahwa pasar rakyat kita yang dekat taman Apurva Nilaya di seberang sungai ini terbakar ga…ga…ga…sepertinya dibakar orang tak dikenal.”
“Lalu bagaimana keadaannya sekarang, apakah semuanya ludes atau ada yang tersisa?”
“Sekarang seluruh bangunan ludes Baginda.”
“Cepat kamu kerahkan anak buah menangani kebakaran itu. Kalau memang masih bisa, selamatkan apa saja yang masih tersisia.”
“Baik Baginda.”
******
Patih muda Rabhima mengumpulkan anak buahnya yang bertugas di bagian keamanan kerajaan termasuk para telik sandi untuk menyelidikinya apakah dalam peristiwa itu ada unsur kesengajaan.
“Ingat ya, kalian harus bekerja hati-hati menangangi kasus ini. Semua yang mencurigakan diperiksa ya.”
“Baik Tuan.”
“Nah sekarang, silakan mulai bekerja.”
Setelah berpamitan kepada baginda raja, Rabhima kembali ke rumah untuk berganti pakaian. Sementara beberapa prajurit dan telik sandi disebar untuk menjalankan tugas masing-masing.
Nah, dalam perjalanan pulang ke rumah itu, paman dihadang oleh beberapa orang yang membawa sebuah obor mati namun masih menyisahkan lelehan minyak pada tangkainya.
“Nah…. Ini dia pelakunya. Ternyata paman patih yang membakar pasar rakyat kerajaan…..” kata salah seorang dari rombongan warga itu.
“Ada apa ini? Paman tak mengerti?” tanya Rabhima penuh keheranan.
“Jangan pura-pura Paman. Ini buktinya, kami temukan obor masih basah minyak di depan rumah Paman Rabhima,” tegas warga yang lainnya.
“Ayo… kita menghadap baginda raja, kita laporkan. Paman harus ikut kami!”
“Baiklah kalau begitu.”
Sesampainya di depan istana, sang raja tampak bangkit dan akan ke ruangan utama istana untuk makan siang. Saat membalikkan badan ke arah tangga, beliau melihat serombongan orang datang tergopoh-gopoh bersama paman patih.
“Ada apa Paman, kok cepat balik ke sini. Tadi katanya mau ganti pakaian?” tanya sang prabu kepada Rabhima.
“Ampun Baginda, hamba mengantar kelompok warga ini. Mereka mau menghadap Baginda.”
“Ini masalahnya apa, tolong jelaskan!”
“Mohon izin Baginda. Kami melaporkan temuan kami. Tadi ketika kami berbelanja ke pasar, kami menyaksikan musibah kebakaran itu. Awalnya api berasal dari gudang penyimpanan bahan-bahan upacara.”
“Lalu?”
“Kami memeriksa ke arah gudang. Dari samping gudang kami melihat sosok mencurigakan berjalan tergoboh-gopoh lalu berlari menuju semak-semak. Kami bertiga mengejarnya. Ternyata sosok itu menuju ke arah rumah paman patih muda ini. Ciri-cirinya mirip seperti paman, rambutnya gondrong dan memakai ikat kepala hitam.”
“Kemana perginya sosok mencurigakan itu?”
“Kami tidak tahu persis Baginda. Tapi kami menemukan obor ini di depan pintu rumah paman patih.”
“Kami yakin Baginda, mohon maaf…. paman patih ini ada kaitannya dengan peristiwa kebakaran ini.”
“Paman Rabhima, tenang dulu! Silakan duduk. Pengawal, tolong catat identitas semua warga pelapor ini, siapa nama mereka dan dari mana mereka berasal,” perintah baginda.
Pengawal sang raja sibuk mencatat identitas kelompok warga yang melaporkan peristiwa kebakaran di pasar rakyat itu. Sementara, paman Rabhima dibiarkan tenang dan duduk di sebelah sang raja.
“Maaf baginda raja, menurut kami, Paman Rabhima harus segera ditahan karena sudah didukung barang bukti berupa obor ini yang ditemukan di depan pintu rumahnya,” kata selah seorang warga itu.
“Paman Rabhima harus segera diadili dan dihukum seberat-beratnya karena sudah membakar prasarana umum,” tambah warga lainnya.
“Tenang…. Tenang. Kasus ini akan segera kami selidiki untuk mencaritahu siapa pelakunya. Untuk sementara, Paman Rabhima akan menjadi tahanan kerajaan.”
“Nah, itu baru adil yang Mulia.”
Setelah memberikan pernyataan tersebut, kelompok warga itu merasa tenang dan lega serta diperbolehkan kembali ke rumah masing-masing. Sementara itu, baginda raja Vira Kunjara bangkit dan berdiri dekat pilar.
“Paman, bagaimana perasaan paman?” tanya baginda.
“Ampun baginda, hampa tidak menyangka hal seperti ini terjadi pada hamba. Tadi hamba yang melaporkan musibah ini, kok kemudian hamba yang dituduh sebagai pelakunya. Hamba tak mengerti ini!”
“Tenang paman. Aku harap paman baik-baik saja. Apakah paman mempunyai musuh selama ini?”
“Hamba rasa tidak ada Baginda.”
“Nah, kalau begitu aku dapat merasa lega. Paman harus mengikuti perintahku. Kalau ini ulah musuh-musuh paman atau musuhku, kita ikuti saja permainannya. Dengan demikian kita akan lebih leluasa bergerak menyelidikinya.”
“Baik baginda.”
*****
Atas perintah baginda raja, Rabhima menjalani penahanan agar meredam gejolak masyarakat yang menuduh dirinya sudah melakukan pembakaran pasar rakyat. Ada barang bukti berupa obor ditemukan di depan pintu rumahnya.
Namun demikian, ia tetap ditugaskan baginda secara diam-diam untuk mengatur koordinasi penyelidikan kasus itu. Baginda pun menjenguk Rabhima ke sel tahanan.
“Paman, santai saja, tapi tetaplah berada di dalam tahanan selama masa penyelidikan musibah ini berlangsung.”
“Tentu Yang Mulia. Silakan diatur, jangan sampai ketahuan oleh musuh-musuh kita.”
Penyelidikan terus diintensifkan agar segera dapat menyingkap misteri ‘kebakaran pasar rakyat’ tersebut. Peristiwa itu terjadi menjelang tengah hari. Sementara suasana pasar sudah mulai sepi karena pedagang dan pembeli sudah banyak yang pulang.
*****
Pada kesempatan lain, sekitar dua hari berikutnya, beberapa orang anak buah Rabhima sedang patroli dengan menyamar sebagai pemancing di kali. Mereka mengumpulkan informasi dan pendapat masyarakat mengenai apa saja terkait dengan kebakaran itu.
Pada malam itu, tidak jauh dari kali tempat memancing mereka terdengar ada keributan di sebuah kedai minum. Dua dari pemancing itu pun ditugaskan untuk masuk ke dalam kedai itu guna mencari informasi.
“Yeah, pekerjaanku kini bereslah sudah. Patih itupun akan dihukum padahal aku yang melakukannya …ha..ha.,” kata orang itu meracau.
“Kawan, tambah lagi minumnya. Ini!” kata salah seorang pemancing itu kepada pengunjung yang sedang mabuk itu.
“Kau baikkk….. sekali kawan.”
“Ya, namanya kita berkawan. Kalau kita minum, ya minum sama-sama.”
“Betul sekali. Itu namanya setia kawan!”
“O ya, kenapa kau tidak mengajakku waktu itu?”
“Aku tidak mengajak siapa-siapa. Aku sendirian.”
“Ngomong-ngomong, berapa ongkosnya untuk pekerjaan itu? Ini minum lagi,” tambah si pemancing itu.
“Tidak banyak, cuma 30 keping emas.”
“Wow… banyak sekali. Nanti kalau kau ada lagi pekerjaan serupa, tolong ajak saja aku!”
“Gampang itu. Kau pasti kuajak.”
“Ssst…perintah dari siapa untuk membakar pasar itu?
“Pokokna dari orang dalam kerajaan. Ia ingin membalas dendam terhadap apa yang sudah dialaminya.”
“Ini…habiskan sisa tuaknya, hanya masih segelas.”
“Baiklah. Bawa sini,” kata si pemabuk tadi.
Si pemancing itu merasa senang karena mendapat informasi yang dia cari. Sementara teman si pemancing ini berjaga-jaga dan terus mengawasi temannya yang mengajak pengunjung yang mabuk tadi.
“Tuan, sepertinya aku tidak bisa pulang sendirian. Tolong antarkan aku!” pinta si pemabuk kepada pemancing yang menemaninya sedari tadi.
“Baiklan. Kami pasti antar ki sanak bersama seorang temanku. Di mana rumah Tuan?”
“Terima kasih, tuan baik sekali. Rumahku di desa seberang sana.”
Dengan mengantarkan pemabuk itu, si pemancing akan mendapatkan alamat ‘si calon tersangka.’ Mudah-mudah informasinya tadi benar sehingga akan memudahkan penyelidikannya. Temuan ini akan ia sampaikan kepada paman patih mudah.
*****
Hingga hari ketiga, penyelidikan kasus ini masih berjalan untuk mengumpulkan bukti sebanyak mungkin. Di istana, beberapa pengawal menggeledah rumah paman patih muda Rabhima. Tiga orang bertugas pada hari itu menemukan ikat kepala hitam, mirip ikat kepala milik Patih Rabhima.
“Lihatlah ini kawan….. ikat kepala ini mirip punya Paman Rabhima. Tapi sebentar, ada yang beda kayaknya ini. Wah ini ada gambar kala makara kecil pada bagian depan,” kata salah seorang pengawal itu.
“Sebentar… sebentar. Tempo hari ketika mencatat identitas kelompok warga yang mengantar dan menuduh paman patih ke istana memiliki tanda serupa pada ikat kepala mereka. Itu artinya…..”
“Ya…itu warga dari kampung seberang. Sama dengan warga-warga itu. Dan si terduga pelaku bisa jadi berasal dari desa yang sama.”
“Lalu dimana kau dapatkan ikat kepala itu tadi?”
“Di belakang rumah paman patih, tersangkut di ranting pohon bekul, itu lho…pohon perdu yang berduri, daunnya bulat kecil dan buahnya seperti apel kecil itu.”
“Kalau begitu, kemungkinan si terduga pelaku setelah menaruh obor itu ia menyelinap ke belakang rumah agar tidak ketahuan warga yang lewat di depan rumah. Di belakang kan ada dua anjing besar dan berbulu hitam, mungkin ia dikejar anjing-anjing itu sehingga larinya tak terkontrol dan ikat kepalanya nyangkut,”
“Masuk akal itu.”
“Terus pada waktu itu rumah paman kan kosong. Paman patih sedang memeriksa senjata di gudang bersama pengawal beliau sedangkan isterinya berada di istana. Kedua anak beliau sedang menuntut ilmu di ashram.”
“Mari kita laporkan kepada baginda hasil temuan kita ini.”
Mereka pun menghadap baginda raja untuk melaporkan temuan berupa ikat kepala itu. Ini bisa digunakan sebagai bukti petunjuk.
Pada siang itu baginda mengumpulkan petugas keamanan termasuk telik sandi untuk melaporkan hasil temuan dari penyelidikan mereka dalam sebuah pertemuan tertutup.
“Paman-paman pengawalku, silakan laporkan hasil temuan kalian.”
“Ampun baginda, regu kami menyamar sebagai pemancing menemukan fakta unik semalam.”
“Apa itu paman?”
“Begini Baginda, tidak jauh dari tempat kami memancing ada kedai minum. Kami mendengar ada keributan karena seorang peminum mabuk. Ia meracau bahwa ia sudah membakar pasar rakyat kita atas suruhan seseorang yang pernah menjadi punggawa kerajaan.”
“Terus dia bilang apa lagi dan untuk apa melakukannya?” desak baginda.
“Katanya ia merasa tak terima dijebloskan ke penjara dan ingin balas dendam kepada Paman Rabhima.”
“Apakah paman tahun dimana rumahnya orang itu?”
“Tahu Baginda, bahkan kami bertiga mengantarkannya pulang semalam karena ia sempoyongan karena masih dalam pengaruh tuak.”
“Bagus kalau begitu. Habis pertemuan ini jemput dia dan bawa ke istana.”
“Siap Baginda!”
“Lalu regu berikutnya, apa yang bisa dilaporkan?” kata baginda kepada regu lainnya.
“Ampun baginda, kami menemukan selembar ikat kepala hitam bergambar kala makara di belakang rumah paman Rabhima yang tersangkut di sebuah ranting pohon bekul. Ini mirip sekali dengan ikat kepala yang dikenakan oleh mereka yang mengantarkan paman Rabhima ke istana tempo hari.”
“Wah.. paman semua ini bukan orang desa biasa. Mereka adalah murid perguruan bela diri di lembah bukit itu. Ternyata, perguruan ini menerima pesanan untuk melakukan kejahatan yang tersusun rapi seperti ini. Aku baru tahu.”
“Baginda, bisa jadi orang yang mengantar paman Rabhima dan orang yang mabuk di kedai minum adalah satu perguruan,” kata salah seorang pengawal.
“Aku juga menyimpulkan demikian, Paman. Nah, sekarang kasusnya semakin jelas ini. Tolong tangkap orang yang mabuk semalam dan bawa dia ke istana dan amankan semua bukti petunjuknya.”
“Siap, Baginda.”
Penangkapan terhadap terduga pelaku pembakaran pasar rakyat di dekat Taman Apurva Nilaya dilakukan oleh sejumlah prajurit istana. Selain itu, anggota telik sandi pun disebar untuk mengamankan area TKP dan rumah terduga pelaku.
******
Penangkapan terduga pelaku berjalan lancar dan aman sesuai rencana. Termasuk rencana penangkapan tersebut sudah diberitahukan kepada pimpinan perguruan bela diri. Tidak ada maksud memojokan perguruan dan kasus tersebut murni masalah pribadi pelaku.
Pemeriksaan dilakukan di ruangan tertutup, di sebuah ruangan sidang yang menghadap ke tebing dan hutan lebat.
“Siapa namamu dan dari mana asalmu?” tanya petugas keamanan, seorang bawahan patih Rabhima.
“Saya Adi Wiweka dari Lembah Paratrika, Tuan.”
“Masih ingatkah, dimana saudara berada pada hari Kamis, empat hari yang lalu?”
“Saya pergi ke pasar Tuan bersam teman-teman hamba untuk membeli kebutuhan pokok atas perintah guru kami.”
“Setelah itu, saudara pergi ke mana lagi?”
“Saya pulang ke Lembah Paratrika Tuan.”
“Apakah saudara biasa mengenakan ikat kepala hitam kemana pun pergi, seperti halnya teman-teman saudara?”
“Ya… Tuan. Itu bagian dari pakaian adat kami.”
“Apakah perguruan saudara memiliki ikat kepala yang sama dengan perguruan saudara?”
“Tentu saja Tuan. Untuk perguruan ada bedanya, ada logo kala makara.”
“Lalu ikat kepala punya saudara dimana sekarang?”
“Tidak tahu Tuan.”
“Apakah ini milik saudara?” sambili meperlihatkan lebaran secara detail bolak-balik dimana simpul atau ikatannya dilepaskan agar mudah mengenali.
“Iiiiyaa….betul itu punya saya, Tuan.”
“Kalau iya, apa tujuan saudara datang ke rumah paman Pathi Rabhima pada hari musibah kebakaran di pasar rakyat.”
“Saya tidak ada ke sana, Tuan saya di pasar saja bersama teman-teman saya/”
“Baiklah kalau begitu. Lalu ada apa di balik perban pada kakimu itu?”
“Ini luka Tuan.”
“Kenapa luka?”
“Maaf, boleh kami periksa luka saudara?”
“Boleh, silakan!”
Dua orang tabib diperintahkan memeriksa luka Adi Wiweka. Satu orang membuka perbannya perlahan-lahan. Mungkin masih terasa sakit, ketika dibuka Adi kelihatan meringis.
“Bagaimana paman tabib?” tanya ajudan patih.
“Begini tuan, lukanya tak sebidang seperti akibat jatuh, tapi ada dua baris dan agak dalam seperti akibat goresan digigit binatang.”
“Nah, dilihat dari bentuk luka itu, apakah saudara digigit harimau, ular atau anjing?”
“Anjing, Tuan,” jawabnya cepat seperti keceplosan.
“Baik apakah itu artinya, kamu ada pergi ke rumah paman Rabhima membawa obor dan menaruhnya di depan pintu lalu kamu menuju belakang rumah dan dikejar dua anjing hitam?”
Mendengar pertanyaan itu, Adi Wiweka seperti ketakutan karena masih terbayang dengan kejaran dua anjing hitam besar itu.
“Betul…. Betul Tuan. Saya dikejar anjing sampai-sampai ikat kepala saya nyangkut di sebuah pohon berduri. Naasnya, kaki saya digigit oleh salah satu anjing itu. Setelah itu baru kaki saya dilepaskan.”
“Saudara Adi, katakan yang jujur ya. Dengan demikian akan bisa meringankan hukumanmu. Nah, untuk apa saudara membawa obor ke rumah paman patih saat itu?”
“Baik…baik Tuan. Aku dari pasar setelah disuruh membakar pasar itu oleh salah seorang pelatih di perguruan Lembah Paratrika.”
“Apakah saudara tahu dari siapa permintaan untuk membakar itu berasal?”
“Tidak, Tuan. Yang saya dengar sih, sang pelatih berteman baik dengan orang itu sewaktu menjadi punggawa di istana, dan dulu seperguruan di Lembah Paratrika. Saat ini orang itu mendekam di penjara istana karena terbukti terlibat penggelapan upeti. Katanya dia ingin membalas dendam. Itu saja, Tuan.”
“Baik, terima kasih saudara Adi Wiweka atas kerjasama dan kejujurannya.”
Beberapa waktu kemudian Adi Wiweka disidang dan terbukti bersalah merusak dengan sengaja prasarana umum. Namun ia mendapat keringanan hukuman karena jujur dan koopeatif. Sementara Patih Senior juga terbukti menyuruh orang melakukan tindak pidana tersebut dan mendapat bonus berupa tambahan hukuman 10 tahun menjadi 50 tahun. Sedangkan Patih Rabhima dibebaskan dari segala tuntutan. (*)