Senandung Terakhir di Bale Dangin

Bale Dangin
Ilustrasi Bale Dangin yang memajang koleksi artifak bersejarah. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

MENTARI pagi menyentuh lembut ukiran batu bata merah Bale Dangin, salah satu paviliun kuno di kompleks Villa Mahalika yang menyimpan berbagai benda peninggalan sejarah koleksi pribadi, yang menjadi salah satu daya tarik villa ini. Rivana, seorang arkeolog muda yang terobsesi dengan sejarah Bali, mengusap debu dari sebuah prasasti yang terukir di dinding. Di dalam bale itu, tersimpan sebuah koleksi keris luk tujuh yang diyakini telah berumur sekitar empat abad, yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur pemilik villa.

“Indah sekali ukirannya,” gumam Rivana, mengagumi detail halus pada gagang keris yang terbuat dari kayu kemuning. “Pantas saja legenda tentang kekuatan keris ini begitu kuat.”

Profesor Arya, mentor Rivana yang juga seorang ahli sejarah Bali terkemuka, menghampirinya sambil menyesap kopi dari cangkir tanah liat. “Legenda memang bumbu sejarah yang menarik, Rivana. Tapi kita di sini untuk mencari fakta, bukan sekadar cerita.”

“Tentu, Profesor,” jawab Rivana, tersenyum. “Tapi terkadang, legenda menyimpan jejak kebenaran yang terlupakan.”

Beberapa hari terakhir, ketenangan Villa Mahalika sedikit terusik dengan kedatangan seorang kolektor barang antik bernama Raden Surya. Pria paruh baya dengan tatapan mata tajam itu sangat tertarik dengan keris di Bale Dangin itu. Ia bahkan menawarkan harga yang fantastis kepada pemilik villa itu untuk memilikinya.

“Saya tidak habis pikir, mengapa mereka mempertimbangkan tawaran itu,” keluh Jero Mangku Ketut, pemilik villa sekaligus kolektor benda antik, saat mereka bertiga duduk di bale wantilan setelah upacara pagi. “Keris itu bukan sekadar benda pusaka, Rivana. Ada jiwa leluhur di dalamnya.”

“Saya mengerti, Jero Mangku,” sahut Rivana, merasakan aura mistis yang memang melekat pada keris tersebut. “Nilai sejarah dan budayanya jauh lebih tinggi dari sekadar materi.”

Profesor Arya mengangguk setuju. “Raden Surya itu licin. Dia tahu betul nilai historis keris ini, bukan hanya nilai antiknya.”

Keesokan paginya, suasana villa berubah menjadi tegang. Raden Surya ditemukan tergeletak di bawah tebing setinggi lima belas meter, tak jauh dari area tempat ia menginap. Kabar itu menyebar dengan cepat, menimbulkan kebingungan dan kecurigaan.

“Bagaimana mungkin?” bisik Rivana, menatap garis polisi yang melintang di sekitar lokasi kejadian. “Semalam dia masih berbicara dengan pemilik villa dan tokoh masyarakat lokal.”

“Menurut laporan awal, dia sedang memasak kopi di dekat tepi tebing,” jelas seorang petugas kepolisian kepada Profesor Arya. “Mungkin terpeleset.”

“Terpeleset dari ketinggian lima belas meter saat membuat kopi?” tanya Rivana, nada suaranya penuh keraguan. “Itu terlalu janggal.”

Profesor Arya mengamati sekeliling dengan seksama. “Raden Surya bukan orang yang ceroboh. Dia seorang kolektor berpengalaman, pasti sangat berhati-hati dengan keselamatannya, apalagi di tempat yang asing.”

Rivana teringat percakapannya dengan Jero Mangku Ketut semalam. “Jero Mangku sempat bercerita tentang mimpi buruk yang dialaminya. Tentang keris yang bergetar dan suara angin yang aneh.”

“Mimpi bisa jadi refleksi dari kecemasan,” timpal Profesor Arya, meskipun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia juga merasakan keanehan dalam kejadian ini.

Namun, Rivana tidak bisa mengabaikan firasatnya. Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Bersama Profesor Arya, ia kembali ke area tempat Raden Surya ditemukan. Tidak ada jejak kaki mencurigakan selain milik korban. Namun, Rivana menemukan sesuatu yang menarik di antara bebatuan: serpihan keramik berwarna gelap yang tidak dikenalnya.

“Ini bukan bagian dari cangkir kopi Raden Surya,” kata Rivana, menunjukkan serpihan itu kepada Profesor Arya. “Warnanya berbeda, dan teksturnya lebih kasar.”

Profesor Arya memeriksa serpihan itu dengan kaca pembesar. “Ini… sepertinya pecahan dari artefak yang lebih tua. Mungkin dari zaman kerajaan dulu.”

“Apakah ada artefak lain di sekitar sini?” tanya Rivana.

Mereka berdua menyusuri area sekitar tebing dengan lebih teliti. Di balik semak-semak, mereka menemukan sebuah tas kulit kecil yang tersembunyi. Di dalamnya terdapat beberapa perkakas kecil, catatan-catatan yang berisi sketsa keris Bale Dangin, dan yang paling mengejutkan, sebuah jimat kecil yang terbuat dari anyaman bambu dengan simbol-simbol aneh.

“Jimat seperti ini… ini bukan berasal dari tradisi Bali,” gumam Profesor Arya, mengerutkan kening. “Ini lebih mirip praktik magis kuno dari luar pulau.”

“Apakah mungkin Raden Surya terlibat dalam sesuatu yang lebih dari sekadar koleksi barang antik?” tanya Rivana, otaknya mulai merangkai kemungkinan-kemungkinan yang gelap.

Mereka kembali ke Bale Dangin dan menceritakan temuan mereka kepada Jero Mangku Ketut. Ekspresi wajah pemilik villa yang juga pemangku adat itu berubah menjadi pucat pasi saat melihat jimat yang mereka temukan.

“Ini… ini adalah jimat pengikat sukma,” bisik Jero Mangku Ketut dengan suara bergetar. “Dulu, jimat seperti ini digunakan dalam ritual kuno untuk mengendalikan kekuatan spiritual suatu benda.”

“Apakah mungkin Raden Surya mencoba mengambil keris itu dengan cara yang tidak biasa?” tanya Rivana, merasa bulu kuduknya meremang.

“Kekuatan keris ini sangat besar,” jawab Jero Mangku Ketut. “Jika seseorang dengan niat buruk mencoba mengambilnya dengan cara paksa atau melalui ilmu hitam, keris itu bisa memberikan perlawanan.”

Tiba-tiba, Rivana teringat sesuatu. Beberapa hari sebelum kejadian, ia melihat Raden Surya mengamati Bale Dangin dari kejauhan dengan tatapan yang aneh, seolah sedang melakukan ritual tertentu. Apakah mungkin Raden Surya tidak hanya ingin membeli keris itu, tetapi juga mencoba mengambilnya dengan cara yang mistis?

“Profesor,” kata Rivana, matanya berbinar. “Kita perlu memeriksa area sekitar Bale Dangin lagi. Mungkin ada jejak ritual atau benda lain yang tertinggal.”

Mereka kembali ke Bale Dangin dan melakukan pencarian yang lebih seksama. Di sudut bale yang agak tersembunyi, Rivana menemukan bekas lingkaran kecil yang dibuat dari abu, dan beberapa helai rambut yang bukan milik penjaga villa.

“Ini dia,” bisik Rivana. “Raden Surya pasti melakukan semacam ritual di sini.”

Profesor Arya mengamati bekas abu itu dengan seksama. “Dan serpihan keramik itu… mungkin bagian dari wadah ritualnya yang pecah saat ia terjatuh.”

Semuanya mulai terhubung. Raden Surya, dengan obsesinya yang kuat terhadap keris pusaka, mungkin mencoba mengambilnya dengan cara yang melampaui transaksi jual beli biasa. Ritual mistis yang ia lakukan di dekat tebing, kemungkinan besar untuk melemahkan kekuatan spiritual keris, bisa jadi berbalik menyerangnya. Energi kuno yang melindungi keris itu mungkin telah memberikan perlawanan yang tak terduga, menyebabkan ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

Meskipun tidak ada bukti fisik yang kuat untuk membuktikan teori mereka kepada polisi, Rivana dan Profesor Arya merasa yakin bahwa kematian Raden Surya bukanlah kecelakaan biasa. Senandung terakhir di Bale Dangin bukan hanya tentang hilangnya seorang kolektor, tetapi juga tentang kekuatan misterius sebuah pusaka yang dijaga selama beberapa generasi, sebuah pengingat bahwa tidak semua artefak sejarah bisa diperlakukan hanya sebagai komoditas.

Kisah keris di Bale Dangin menjadi babak baru dalam legenda pariwisata sejarah Pulau Bali, sebuah misteri yang tersembunyi di balik keindahan alam dan kekayaan budayanya. (*)

banner 300x250

Related posts