DESA pesisir Kampung Nelayan adalah rumah bagi keluarga-keluarga yang telah hidup dari laut selama beberapa generasi. Satu-satunya akses ke dermaga tempat perahu mereka ditambatkan adalah Jalan Pantai Urip, sebuah jalan setapak berbatu yang sekarang berada tepat di sebelah gerbang belakang Hotel Bintang Laut, sebuah resor mewah yang baru dibuka enam bulan lalu.
Sengketa nelayan dengan hotel bermula ketika Hotel Bintang Laut mulai menggunakan Jalan Pantai Urip sebagai rute bongkar muat utama mereka. Setiap pagi, truk-truk pengiriman besar dan van linen hotel memenuhi jalan sempit itu, membuat nelayan kesulitan membawa hasil tangkapan mereka dan anak-anak desa tidak bisa bermain dengan aman.
Pagi yang Bising
Pagi itu, Pak Rasyid, Ketua Komunitas Nelayan, berdiri di tepi Jalan Pantai Urip, wajahnya menahan amarah. Sebuah truk besar berlogo hotel menghalangi seluruh jalan, sopirnya sibuk menurunkan kotak-kotak.
Pak Rasyid mendekati Pak Hendra, Manajer Operasional hotel, yang sedang mengawasi dari kejauhan.
(Dengan nada tegas namun terkontrol, Pak Rasyid bertanay: “Pak Hendra, kita sudah bicara soal ini. Jalan Pantai Urip adalah nadi desa kami. Kalian menggunakan jalan ini seperti jalan tol pribadi. Pagi ini, perahu Pak Maman terlambat berlayar karena dia harus menunggu truk ini pindah.”
“Pak Rasyid, saya mengerti. Tapi jalan ini adalah rute terdekat dan paling efisien untuk pasokan kami. Gerbang depan kami sempit dan jauh dari dapur. Jika kami memutar, biaya operasional kami membengkak, dan itu akan berdampak pada harga kamar kami. Kita semua butuh pariwisata, bukan?” jawab Pak Hendra sambil menghela napas, mencoba bersabar.
“Kami juga butuh jalan yang aman dan berfungsi. Anak-anak hampir tertabrak minggu lalu. Kami tidak menolak pariwisata, Pak. Kami hanya minta hormati cara kami hidup,” sambung Pak Rasyid.
Mencari Jalan Tengah
Situasi menemui jalan buntu. Komunitas mulai memblokir jalan secara sporadis dengan keranjang ikan kosong, dan hotel mengancam akan melibatkan polisi. Melihat masalah ini akan merusak reputasi hotel, Bu Karina, General Manager Bintang Laut, meminta pertemuan formal.
Pertemuan diadakan di balai desa yang sederhana.
Bu Karina membuka pembicaraan dengan ramah dan serius. “Pak Rasyid, Bapak-bapak, Ibu-ibu, saya datang ke sini bukan untuk berdebat, tapi untuk mencari solusi yang membuat kedua pihak bisa tidur nyenyak. Kami menyadari kami telah mengganggu kehidupan Anda. Itu tidak dapat diterima.”
“Kami menghargai pengakuan Ibu. Tuntutan kami sederhana: stop truk-truk besar itu menggunakan Jalan Pantai Urip di jam sibuk kami. Jam 5 pagi sampai 9 pagi,” pinta Pak Rasyid.
“Itu akan sangat sulit, Pak Rasyid. Jam 9 pagi adalah saat tamu-tamu kami mulai sarapan,” jawab Pak Hendra.
Bu Karina memotong dengan bijak. “Tunggu, Hendra. Bagaimana jika kita tidak bicara tentang apa yang tidak bisa kita lakukan, tapi apa yang bisa kita tawarkan?”
Solusi Win-Win
Bu Karina mengeluarkan selembar sketsa.
Bu Karina melanjutkan bicaranya. “Hotel Bintang Laut akan mendanai dan membangun Jalur Pejalan Kaki dan Sepeda yang terpisah, berdampingan dengan Jalan Pasir Urip, dibatasi pagar hidup agar anak-anak desa aman. Lalu, mengenai truk, kami akan memberlakukan Jadwal Bongkar Muat Terjadwal (JBT).”
“Jadwal bagaimana, Bu Karina?” tanya Pak Rasyid.
“Truk kami hanya akan melintas pada jam 10 pagi hingga 4 sore, di luar jam nelayan sibuk, dan kami hanya akan menggunakan truk ukuran sedang. Sebagai gantinya, komunitas memberikan hotel hak prioritas untuk bongkar muat di jam yang telah disepakati,” usul Bu Karina.
Seorang ibu di barisan depan mengangkat tangan.
“Lalu, bagaimana dengan Jalan Kamboja itu sendiri? Sudah banyak lubang,” sela Bu Sitira.
Bu Karina tersenyum. “Hotel Bintang Laut akan merenovasi Jalan Pasir Urip dengan lapisan beton yang lebih kuat dan menambahkan penerangan tenaga surya. Selain itu, kami ingin bekerja sama: kami bersedia membeli hasil tangkapan segar langsung dari nelayan Kampung Nelayan untuk restoran kami, setiap hari.”
Pak Rasyid terdiam sejenak. Mata nelayan lainnya berbinar. Jalur aman untuk anak-anak, jalan yang lebih baik, dan pasar permanen untuk ikan mereka.
Pak Rasyid mengulurkan tangan. “Bu Karina, ini… ini lebih dari yang kami harapkan. Kami menyambut baik tawaran ini. Kami akan mengawasi JBT, dan kami akan menjaga jalan itu bersama-sama. Harmoni tercapai, Bu.”
Bu Karina menjabat tangan Pak Rasyid dengan erat. Jalan Pantai Urip akhirnya menjadi simbol kerja sama alih-alih konflik. Hotel mendapatkan efisiensi yang terjamin, dan komunitas lokal mendapatkan keselamatan, infrastruktur yang lebih baik, dan mata pencaharian yang lebih stabil. Mereka menjadi tetangga yang baik, saling mendukung satu sama lain. (*)








