Si Kancil yang Narsis dan Pohon Rambutan

Kancil
Ilustrasi Si Kancil bertemu Kura-kura di pinggir sungai. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

DAMAI dan rindang—Di sebuah hutan yang rimbun, hiduplah seekor Kancil yang terkenal hewan cerdik. Namun, ada satu sifat Kancil yang tak banyak orang tahu: ia sangat narsis. Ia suka memamerkan kecerdikan-nya kepada semua hewan lain.

Suatu pagi, Kancil berjalan dengan langkah tegap, kepalanya mendongak. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Kura-kura yang sedang merangkak pelan.

Read More

“Hai, Kura-kura,” sapa Kancil dengan nada merendahkan. “Lama sekali kau berjalan. Pasti punggungmu keberatan, ya?”

Kura-kura hanya tersenyum. “Tidak, Kancil. Aku menikmati setiap langkahku.”

Kancil tertawa. “Kalau aku, sudah sampai di ujung hutan sekarang. Cepat itu lebih baik!” Setelah itu, Kancil segera melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Kura-kura yang keheranan.

Tidak jauh dari tempat itu, Kancil melihat seekor Monyet yang sedang memanjat pohon rambutan. Pohon itu amat tinggi, dan Monyet tampak kesulitan mengambil buah-buah rambutan yang sudah matang.

“Monyet, Monyet! Kenapa kau susah sekali, sih?” teriak Kancil. “Sini, biar aku bantu!”

Monyet melongok ke bawah. “Bagaimana caramu membantu, Kancil? Kamu tidak bisa memanjat.”

“Ah, jangan remehkan aku!” kata Kancil sambil memasang senyum sombong. “Aku punya cara cerdik.”

Kancil melompat ke belakang Monyet dan memungut beberapa buah rambutan yang jatuh ke tanah. “Lihat, aku bisa mendapatkan rambutan tanpa harus memanjat. Lebih mudah, kan?”

Monyet menggelengkan kepala. “Tapi itu kan rambutan sisa, Kancil. Buah yang paling manis ada di puncak pohon.”

Kancil tidak mau kalah. “Ah, yang penting aku tidak perlu bersusah payah!” Ia lalu memakan rambutan itu dengan cepat, tak menyadari Monyet menertawakannya.

Beberapa hari kemudian, musim kemarau tiba. Hutan menjadi kering, dan buah-buahan langka. Kancil yang sombong mulai kelaparan. Ia mencari makan ke sana kemari, tapi tidak menemukan apa pun. Ia lalu teringat pada pohon rambutan. Dengan langkah gontai, ia menuju pohon itu.

Di sana, ia melihat Monyet sedang duduk santai di dahan, menikmati rambutan yang manis dan segar.

“Monyet! Boleh aku minta sedikit?” tanya Kancil dengan suara lemah.

Monyet melemparkan satu buah rambutan ke bawah. “Ini, Kancil. Tapi, ini buah terakhir yang tersisa.”

Kancil segera memakan rambutan itu dengan lahap. Setelah selesai, ia menatap Monyet dengan mata berkaca-kaca.

“Monyet, aku minta maaf,” ucap Kancil. “Aku sudah sombong dan meremehkanmu. Seharusnya aku menghargai usahamu memanjat pohon, bukan malah mengejek.”

Monyet tersenyum ramah. “Tidak apa-apa, Kancil. Aku tahu kamu sebenarnya cerdik, tapi kadang kamu lupa bahwa kecerdasan sejati itu bukan untuk pamer, tapi untuk saling membantu.”

Sejak saat itu, Kancil berubah. Ia tidak lagi sombong dan meremehkan hewan lain. Ia menggunakan kecerdikannya untuk membantu teman-temannya. Ia bekerja sama dengan Kura-kura untuk menemukan sumber air yang tersembunyi, dan ia membantu Monyet menemukan sarang lebah madu.

Kancil akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah saat ia dipuji, melainkan saat ia bisa berbagi dan melihat teman-temannya bahagia. Ia belajar bahwa kerendahan hati jauh lebih berharga daripada keangkuhan. (*)

banner 300x250

Related posts