CUACA di Pulau Dewata berlangsung cerah dan mentari bersinar terik yang memantulkan cahayanya pada berbagai macam kerajinan perak yang berkilauan di Pasar Seni Mahalika. Aroma dupa bercampur dengan bau ukiran kayu yang khas, menciptakan suasana ramai dan penuh warna.
Di tengah hiruk pikuk itu, seorang pria berkumis tipis dengan baju kaos berlengan panjang yang sedikit lusuh, sebut saja namanya Kumar, sedang menjalankan aksinya.
Kumar sudah mengamati toko perhiasan “Dewi Sri Silver” sejak setengah jam yang lalu. Penjaganya, seorang ibu paruh baya bernama Ni Luh, tampak sibuk melayani beberapa turis yang tertarik dengan cincin dan gelang perak. “Ini dia kesempatan emas,” gumam Kumar sambil menyeka keringat di dahinya.
Dengan langkah santai namun penuh perhitungan, Komar mendekati etalase yang memajang berbagai macam kalung perak. Matanya bergerak cepat, memilih beberapa liontin dan gelang yang tampak mahal namun mudah disembunyikan.
Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya, bukan karena takut, tapi lebih karena merasa senang saat membayangkan uang hasil penjualan perhiasan ini.
Ni Luh sedang asyik menjelaskan detail ukiran pada sebuah anting-anting kepada seorang turis Eropa yang mengangguk-angguk kagum. Kumar bergerak cepat.
Tangannya yang lincah menyelinap ke dalam etalase yang pintunya sedikit terbuka. Dalam hitungan detik, tiga buah liontin berbentuk bunga dan dua gelang berukir naga sudah berpindah tangan dan tersimpan aman di balik kemeja batiknya yang longgar.
“Ada yang bisa saya bantu, Bapak?” Suara Ni Luh yang tiba-tiba menyapa membuatnya sedikit terlonjak.
“Eh, anu, cuma lihat-lihat saja, Bu,” jawab Kumar dengan senyum setenang mungkin, meskipun keringat dingin mulai membasahi punggungnya.
“Oh, silakan. Jangan sungkan kalau ada yang disukai,” balas Ni Luh ramah, lalu kembali fokus pada turisnya.
Kumar menghela napas lega. “Hampir saja,” pikirnya. Sekarang saatnya untuk kabur dari keramaian ini sebelum ada yang menyadari kehilangan. Dengan langkah perlahan tapi pasti, ia mulai menjauhi toko “Dewi Sri Silver”.
Namun, nasib baik rupanya sedang tidak berpihak padanya. Saat Kumar berbelok di sebuah lorong di antara deretan kios kain, tiba-tiba muncul dua orang pria berbadan tegap dengan seragam bertuliskan “Satpam Pasar Seni”. Mereka menghadangnya dengan tatapan curiga.
“Maaf, Bapak. Bisa kami periksa barang bawaan Anda?” tanya salah satu satpam dengan nada sopan namun tegas.
Kumar mencoba memasang wajah bingung. “Periksa apa, Pak? Saya cuma jalan-jalan saja.”
“Kami mendapat laporan dari toko perhiasan di sana,” satpam itu menunjuk ke arah toko “Dewi Sri Silver” dengan dagunya. “Ada kehilangan beberapa perhiasan perak. Bapak terlihat terburu-buru keluar dari area sana.”
“Oh, itu… saya memang tadi lihat-lihat di sana, tapi tidak mengambil apa-apa, Pak. Sumpah!” Kumar mencoba meyakinkan, sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Satpam yang satunya mendekat. “Kalau begitu, tidak keberatan kan kalau kami periksa?”
Kumar mulai panik. Ia tahu tidak ada jalan keluar. Dengan pasrah, ia mengangguk lemah. “Baiklah, Pak.”
Saat satpam menggeledah badannya, mereka langsung menemukan benjolan mencurigakan di balik baju kaos berlengan panjang. Satu per satu, liontin bunga dan gelang naga dikeluarkan.
“Ini apa, Bapak?” tanya satpam sambil menunjukkan barang bukti.
Kumar hanya bisa menunduk malu. “Itu… bukan punya saya, Pak. Saya nemu di jalan.”
Sontak, kedua satpam itu tertawa terbahak-bahak. “Nemu di jalan kok bisa pas ukurannya dengan laporan kehilangan dari toko, Bapak?” ujar salah satu satpam sambil geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba, Ni Luh muncul di ujung lorong, wajahnya tampak lega melihat Kumar sudah tertangkap. “Terima kasih banyak, Bapak-bapak satpam. Benar, itu perhiasan dari toko saya.”
Kumar hanya bisa merutuki nasibnya. Rencana pencurian yang sudah ia susun rapi berakhir dengan tawa mengejek dari para satpam dan tatapan kecewa dari Ni Luh.
“Mari ikut kami ke pos keamanan, Bapak,” kata salah satu satpam sambil menepuk pundak Komar.
Dalam perjalanan menuju pos keamanan, Kumar mencoba mencairkan suasana. “Begini, Pak… sebenarnya saya ini seniman instalasi. Perhiasan-perhiasan ini mau saya jadikan bagian dari karya seni saya yang berjudul ‘Kekecewaan di Pasar Seni’.”
Kedua satpam itu saling pandang, lalu tertawa lagi. “Wah, kreatif sekali alasan Bapak ini,” ujar salah satu satpam. “Tapi sayangnya, karya seni Bapak ini harus dipamerkan di kantor polisi.”
Ni Luh yang ikut berjalan di belakang mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum tipis. “Lain kali kalau mau bikin karya seni, jangan pakai barang curian ya, Pak Kumar,” nasihatnya.
Kumar hanya bisa pasrah. Di dalam hatinya, ia berjanji tidak akan lagi mencoba peruntungan di Pasar Seni Mahalika. Ternyata, rezeki yang halal jauh lebih menenangkan daripada uang hasil “karya seni” yang gagal ini. Sementara itu, di belakangnya, suara tawa kedua satpam masih terus terdengar, mengiringi langkahnya menuju pos keamanan. Hari itu, Komar bukan hanya kehilangan kebebasannya, tapi juga harga dirinya sebagai “seniman instalasi dadakan”. (*)







