MENTARI sore di Seminyak memancarkan keemasan di atas warung makan, “Warung Bahagia,” sebuah tempat yang terkenal dengan hidangan otentik Bali dan pelayan yang selalu tersenyum. Di salah satu meja, duduklah Pak Budi, seorang detektif swasta spesialis kasus-kasus ‘aneh tapi nyata’ seperti kasus hilangnya sambal matah. Rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur, dan ia sedang serius mengamati piring nasi campurnya yang tersaji indah.
“Pak Budi, Anda yakin ini bukan hanya saya yang terlalu lapar?” Suara Bu Erna memecah keheningan. Bu Erna, seorang turis dari Jakarta dengan kacamata berlian dan tas Hermes yang mencolok, adalah klien Pak Budi kali ini. Wajahnya keruh, mirip awan mendung di musim hujan.
“Nona Erna, setiap kasus adalah serius, bahkan kasus sambal matah,” jawab Pak Budi, sambil mengendus-endus piringnya sendiri. “Jadi, mari kita ulangi. Apa yang Anda lihat?”
“Saya memesan Nasi Campur Spesial Warung Bahagia,” Bu Erna memulai, tangannya gemetar. “Ketika dihidangkan, semua sempurna: ada sate lilit yang wangi, ayam betutu yang empuk, lawar yang segar, dan… oh, sambal matah yang warnanya oranye segar. Tapi begitu saya menoleh sebentar untuk mengambil foto Instagram…”
“Ya?” Pak Budi mencondongkan tubuh.
“…Sambal matahnya lenyap! Hilang tak bersisa! Tinggal jejak minyaknya saja!” Bu Erna hampir menangis.
Pak Budi mencatat di buku catatannya yang, entah kenapa, bergambar kartun Doraemon. “Jadi, bukan dimakan? Atau jatuh?”
“Bukan! Saya bersumpah! Itu seperti sihir! Dan saya yakin, ini ada hubungannya dengan si Geng Pecel Lele itu!” Bu Erna menunjuk ke meja sudut, di mana tiga pria berotot dengan kaus singlet sedang tertawa terbahak-bahak.
Pak Budi menghela napas. “Nona Erna, Geng Pecel Lele itu sepertinya hanya menikmati makan siang mereka. Lagipula, apa untungnya mereka mencuri sambal matah?”
“Anda tidak tahu betapa berharganya sambal matah di Bali, Pak Budi! Ini lebih dari sekadar pelengkap! Ini jiwa dari setiap hidangan!” Bu Erna berseru dramatis.
Pak Budi setuju dalam hati. Ia sendiri adalah penggemar berat sambal matah. “Baiklah, Nona Erna. Kita akan mulai penyelidikan. Kita akan menanyai para saksi kunci.”
Saksi pertama adalah Wayan, pelayan Warung Bahagia yang ramah dengan senyum khas Bali.
“Wayan, apakah Anda melihat sesuatu yang aneh saat menghidangkan Nasi Campur untuk Nona Erna?” tanya Pak Budi, memasang wajah serius.
Wayan menggaruk kepalanya. “Aneh? Sepertinya tidak, Pak. Semua berjalan seperti biasa. Hanya saja, tadi ada Pak Wayan yang satunya, koki kami, dia sempat lewat sambil membawa baskom besar.”
“Baskom besar?” Pak Budi mencatat. “Isinya apa?”
“Hmm, saya tidak tahu persis. Baunya seperti… bawang merah dan serai?” Wayan mencoba mengingat.
Petunjuk yang menarik. Pak Budi kemudian mendatangi meja Geng Pecel Lele.
“Selamat siang, Bapak-bapak,” sapa Pak Budi, senyumnya paling ramah. “Saya detektif Budi. Apakah Anda melihat sesuatu yang tidak biasa di meja Nona Erna barusan?”
Salah satu pria berotot, yang dipanggil Jro, dengan tato naga di lengannya, menyeringai. “Tidak ada, Pak Detektif. Kecuali mungkin… porsi nasinya kurang banyak. Hehehe.”
Pria di sebelahnya, Koming, menambahkan, “Lagipula, mana ada orang yang nyolong sambal matah? Itu kan cuma buat nambah rasa. Kalau mau, ya minta lagi saja sama pelayan.”
“Betul!” timpal pria ketiga, Putu. “Kalau nyuri, mending nyuri ayam betutunya sekalian!”
Pak Budi mengangguk-angguk. Sepertinya Geng Pecel Lele tidak bersalah. Mereka terlalu jujur dalam kecurigaan mereka.
Kemudian, Pak Budi menuju dapur, tempat hiruk-pikuk aroma rempah-rempah Bali bertebaran. Ia menemukan Pak Wayan si koki, yang sedang sibuk mengulek bumbu.
“Selamat siang, Pak Wayan,” sapa Pak Budi. “Saya Budi, detektif. Saya ingin bertanya tentang sambal matah Nona Erna yang hilang.”
Pak Wayan mengerutkan kening. “Sambal matah hilang? Mana mungkin? Kami selalu menyiapkan dalam jumlah besar.”
“Tadi pelayan Wayan bilang Anda sempat lewat meja Nona Erna sambil membawa baskom besar. Isinya apa?” Pak Budi bertanya langsung.
Pak Wayan tersenyum malu. “Oh, itu… Itu adalah sisa sambal matah yang baru saya buat, Pak. Tadi pagi, kami mengadakan kelas memasak untuk tamu vila sebelah. Setelah selesai, ada beberapa sisa bahan sambal matah yang belum diolah.”
“Sisa bahan?” Pak Budi mengulang.
“Betul. Bawang merah, serai, cabai, dan daun jeruk yang sudah diiris tipis-tipis. Saya membawa baskom itu untuk menambah persediaan bahan di meja utama kami.
Mungkin saat saya lewat meja Nona Erna, dia sedang menoleh, dan saya tanpa sengaja… menyerok sedikit sambal matahnya ke dalam baskom saya.” Pak Wayan menunduk, wajahnya memerah. “Saya benar-benar tidak melihatnya, Pak! Saya hanya fokus pada baskom dan menghindari pengunjung lain!”
Pak Budi menepuk dahinya. Kasus terselesaikan.
Ia kembali ke meja Nona Erna yang masih merajuk.
“Nona Erna, saya sudah menemukan pelakunya,” kata Pak Budi dengan nada penuh kemenangan.
Mata Bu Erna membulat. “Siapa? Geng Pecel Lele? Wayan si pelayan? Atau jangan-jangan, koki misterius itu?”
“Bukan salah satu dari mereka, Nona Erna. Pelakunya adalah… ‘ketidaksengajaan yang sangat akurat’ dari Pak Wayan si koki.”
Pak Budi menjelaskan kronologinya: Pak Wayan yang membawa baskom sisa bahan, tanpa sengaja menyerok sambal matah dari piring Bu Erna yang sedang lengah.
Bu Erna terdiam sejenak, lalu meledak dalam tawa. “Anda serius, Pak Budi? Jadi, bukan pencurian? Hanya… kesalahan teknis di dapur?”
“Tepat sekali, Nona Erna,” kata Pak Budi, sambil mengambil sepotong sate lilit dari piringnya. “Kadang, kebenaran itu lebih lucu dari fiksi. Dan ini mengajarkan kita pentingnya selalu menjaga pandangan pada sambal matah kita, terutama di Bali.”
Bu Erna tersenyum lebar. “Saya rasa Anda benar, Pak Budi. Dan juga mengajarkan saya untuk tidak terlalu cepat menuduh Geng Pecel Lele. Sekarang, karena sambal matah saya hilang, bisakah saya meminta lagi?”
“Tentu saja,” kata Pak Budi. “Dan kali ini, pastikan Anda melihatnya sampai ke dalam mulut Anda.”
Pak Budi kemudian memesan piring nasi campur lagi untuk Bu Siti, lengkap dengan semangkuk besar sambal matah. Ia juga memesan porsi ekstra untuk dirinya sendiri, hanya untuk memastikan tidak ada lagi ‘ketidaksengajaan yang akurat’ yang terjadi.
Ia tahu, di Bali, setiap hidangan adalah sebuah petualangan, dan setiap bumbu adalah sebuah harta karun yang patut dijaga. Dan tugasnya, sebagai detektif, adalah memastikan harta karun itu sampai ke tempat yang seharusnya: perut yang lapar. (*)







