Tur Backpacker Budget Pas-Pasan di Eropa

Makan mie instan
Ilustrasi tiga pemuda sedang makan mie instan. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

TIGA sahabat karib, Ucup, Dodi, dan Amin, memutuskan untuk melakukan tur backpacker ke Eropa dengan budget yang sangat terbatas. Mereka harus tidur di taman, makan mie instan di depan Menara Eiffel, numpang mandi di toilet umum, dan mencoba segala cara kocak untuk menghemat uang, mulai dari berpura-pura menjadi patung jalanan hingga mencoba mendapatkan makanan gratis dengan alasan “sedang melakukan penelitian budaya kuliner“.

Perjalanan impian mereka berubah menjadi serangkaian kejadian lucu dan memalukan, namun juga penuh dengan persahabatan dan kenangan tak terlupakan.

Read More

“Oke, guys, sesuai rencana, malam ini kita check-in di Hotel Superstar,” ujar Ucup dengan nada optimis sambil menunjuk bangku taman di bawah pohon rindang dekat Menara Eiffel.

Dodi menguap lebar. “Superstar nyamuk maksud lo, Cup?”

Amin yang sedang asyik membentangkan sleeping bag bututnya hanya mengangguk setuju. “Yang penting gratis dan pemandangannya ikonik. Lumayan buat update status.”

Perjalanan backpacker impian mereka ke Eropa baru berjalan tiga hari, dan kenyataan pahit budget pas-pasan sudah mulai terasa. Setelah menghabiskan sebagian besar uang untuk tiket pesawat promo (yang ternyata transitnya lebih lama dari terbangnya), akomodasi mewah ala hotel berbintang hanyalah mimpi di siang bolong.

“Ingat slogan kita?” kata Ucup, mencoba membangkitkan semangat. “‘Liburan hemat, kenangan hebat!’”

“Lebih tepatnya ‘Dompet sekarat, perut melarat’,” timpal Dodi sambil mengelus perutnya yang keroncongan. “Ini sudah jam makan malam, dan persediaan mie instan rasa kari ayam kita tinggal sebungkus lagi.”

“Tenang, bro,” sahut Amin sambil mengeluarkan kompor portable mini dan panci penyok dari dalam ranselnya. “Malam ini kita akan mengadakan ‘Fine Dining Ala Backpacker’ di bawah Menara Eiffel. Romantis kan?”

Proses memasak mie instan di tengah keramaian turis yang lalu lalang tentu saja menarik perhatian. Beberapa turis asing terlihat bingung, sementara yang lain diam-diam merekam aksi mereka.

“Permisi, are you guys filming for a reality show?” tanya seorang wanita berambut pirang dengan aksen Amerika yang kental.

Ucup dengan cepat memasang wajah serius. “Ah, no, madam. We are… conducting a cultural culinary research. Observing the local… uh… street food ambience while enjoying our… authentic Asian noodles.”

Dodi dan Amin berusaha menahan tawa mendengar penjelasan Ucup yang ngawur. Wanita itu terlihat semakin bingung, tapi kemudian hanya mengangguk sopan dan berlalu.

Keesokan harinya, misi penghematan mereka semakin ekstrem. Setelah berhasil “menumpang” mandi di toilet umum sebuah stasiun kereta (dengan Ucup bertugas mengawasi pintu), mereka menuju sebuah museum terkenal.

“Tiket masuknya mahal banget,” keluh Dodi melihat daftar harga. “Bisa buat beli tiga bungkus roti isi.”

“Kita punya rencana B,” bisik Ucup dengan mata berbinar licik. “Ingat latihan kita jadi patung di Malioboro dulu?”

Maka, dengan modal cat wajah seadanya dan kemampuan menahan napas yang lumayan, Ucup dan Amin mencoba peruntungan menjadi “patung hidup” di depan pintu masuk museum. Dodi bertugas sebagai pengumpul koin dengan topi lusuhnya.

Awalnya berjalan lancar. Beberapa turis terlihat tertarik dan melemparkan koin ke dalam topi Dodi. Namun, masalah muncul ketika seorang anak kecil iseng menusuk hidung Amin dengan stik es krim. Amin reflek bersin keras, membuat cat wajahnya luntur dan penyamarannya terbongkar. Mereka diusir oleh petugas keamanan dengan tatapan kesal.

“Lumayanlah, dapat beberapa Euro buat beli roti,” kata Dodi mencoba menghibur diri sambil menghitung koin.

Petualangan mereka di kota lain pun tak kalah seru. Di Roma, mereka mencoba mendapatkan makanan gratis dengan berpura-pura menjadi rombongan paduan suara dari Indonesia yang sedang melakukan tur budaya (meskipun hanya bisa menyanyikan lagu “Potong Bebek Angsa” dengan lirik bahasa Italia yang mereka karang sendiri). Di Barcelona, mereka tidur di taman kota dan terbangun dengan seekor merpati yang sedang bertengger di kepala Dodi.

“Ini bukan liburan, ini survival,” gerutu Dodi suatu malam sambil memandangi bintang-bintang di langit Paris.

“Justru itu serunya, Dod!” seru Amin bersemangat. “Sepuluh tahun lagi, kita akan menertawakan semua kegilaan ini.”

Ucup menimpali, “Benar. Coba bayangkan, kita pernah makan mie instan di depan Menara Eiffel, jadi patung gagal di museum Louvre, dan dikejar-kejar petugas keamanan di stasiun kereta Roma. Ini lebih berkesan daripada cuma foto-foto di tempat wisata mewah.”

Meskipun perut sering keroncongan, badan pegal-pegal, dan bau matahari sudah menjadi parfum alami mereka, ketiga sahabat itu tetap tertawa dan menikmati setiap momen “liburan hemat” mereka. Mereka belajar banyak hal, bukan hanya tentang budaya Eropa, tapi juga tentang arti persahabatan, kreativitas dalam keterbatasan, dan kemampuan untuk menertawakan diri sendiri.

Hingga akhirnya, tiba saatnya mereka kembali ke tanah air dengan dompet yang benar-benar kosong, tapi hati penuh dengan cerita lucu dan kenangan tak ternilai harganya. Di bandara, sambil menunggu boarding, Dodi tiba-tiba nyeletuk, “Eh, guys, liburan selanjutnya kita ke Antartika yuk? Pasti lebih hemat, nggak perlu beli es krim.”

Ucup dan Amin saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak. Petualangan backpacker budget pas-pasan mereka di Eropa mungkin sudah berakhir, tapi semangat mereka untuk mencari pengalaman unik dan menggelikan bersama sahabat sejati akan terus berlanjut. (*)

banner 300x250

Related posts