KETIKA pagi nan indah di Pulau Dewata dan udara cerah di Bali, Dave, seorang turis asal Amerika, mulai menikmati liburannya di salah satu resort mewah di pinggir pantai. Setelah seharian penuh berjemur, berenang, dan berselancar, perutnya mulai berontak minta diisi.
Nah, saat sedang bersantai di lobi hotel, pandangannya tertuju pada papan besar di restoran hotel yang berbunyi: All You Can Eat – Buffet Dinner. Mata Dave langsung berbinar-binar. Di kepalanya, itu adalah kesempatan emas untuk makan sepuas-puasnya dengan harga yang sangat terjangkau.
“Ini pasti kesempatan buat makan sebanyak-banyaknya biar nggak rugi,” gumam Dave sambil tersenyum licik.
Tepat jam 7 malam, Dave bergegas ke restoran tersebut. Dari pintu masuk, dia sudah disambut dengan aroma lezat dari berbagai masakan. Ada hidangan khas Indonesia, makanan laut, sampai aneka dessert yang menggiurkan. Dave langsung mengambil piring, dan mulailah “misi besarnya.”
Setiap sudut buffet dia jelajahi. Tanpa berpikir panjang, dia memadati piringnya dengan segala macam makanan: sate ayam, nasi goreng, rendang, udang bakar, pasta, dan salad. Begitu piring pertamanya penuh, dia kembali ke meja dan mulai melahap dengan antusias.
Namun, baru separuh jalan menyantap piring pertama, perutnya sudah mulai terasa penuh. Tapi Dave tidak menyerah. “Kalau gue berhenti sekarang, bisa rugi. Ini ‘All You Can Eat’, artinya harus dimakan semua!” batinnya. Dia kembali berdiri dan mengambil piring kedua. Kali ini isinya lebih berat: iga bakar, ayam panggang, dan sepiring besar mie goreng.
Setelah berjuang menyelesaikan piring kedua, Dave mulai kelelahan. Keringat sudah bercucuran, namun meja masih penuh dengan sisa makanan. Pelayan restoran yang melihat Dave mulai gelisah. “Apakah makanannya kurang cocok, Pak?” tanya salah seorang pelayan dengan ramah.
“Tidak, tidak. Semuanya enak sekali! Saya hanya butuh sedikit waktu,” jawab Dave sambil tertawa canggung.
Tidak ingin tampak gagal, Dave memutuskan untuk mengambil langkah radikal. Dia dengan tenang mengeluarkan kantong plastik dari tasnya. Diam-diam, Dave mulai memasukkan sisa-sisa makanannya ke dalam plastik tersebut.
Saat Dave tengah asyik “beres-beres”, pelayan lain melihat aksinya dan segera melaporkannya ke supervisor restoran. Beberapa menit kemudian, seorang supervisor datang menghampiri meja Dave.
“Permisi, Pak. Apakah ada yang bisa kami bantu?” tanya supervisor tersebut dengan senyum yang sedikit menahan tawa.
“Oh, tidak. Saya cuma berusaha memastikan tidak ada yang terbuang. Kan sayang kalau makanan sebanyak ini terbuang,” jawab Dave polos, masih sibuk mengemas sisa makanannya.
Supervisor menatap Dave dengan sedikit bingung, namun mencoba tetap profesional. “Pak, sebenarnya konsep ‘All You Can Eat’ itu artinya Anda bisa makan sepuasnya di sini, tapi tidak harus dihabiskan semua atau dibawa pulang. Anda tidak perlu memaksa diri untuk makan lebih dari yang bisa Anda nikmati.”
Mendengar penjelasan itu, Dave tertegun. Wajahnya memerah malu. “Oh, jadi maksudnya bukan ‘makan semua biar nggak rugi’ ya? Saya pikir saya harus menghabiskan semuanya atau bawa pulang…”
Supervisor mencoba menahan tawa. “Tidak perlu, Pak. Anda bisa makan secukupnya sesuai keinginan tanpa merasa rugi. Tidak perlu juga membawa pulang.”
Namun, supervisor tidak bisa menahan rasa penasaran. “Tapi, jujur saja, Pak, saat tadi kami lihat Anda sibuk mengemas makanan, kami sempat berpikir Anda mau membuka warung makanan atau semacamnya.”
Dave tertawa lepas, meskipun rasa malunya tak bisa ia sembunyikan. “Warung makanan? Oh tidak, saya cuma turis yang salah paham!”
Dengan penuh humor, Dave akhirnya menyimpan kantong plastiknya dan memutuskan untuk menikmati malam dengan secangkir kopi, tanpa beban untuk menghabiskan seluruh hidangan buffet.
Dari kejadian itu, Dave belajar satu hal penting: di restoran “All You Can Eat”, yang penting adalah menikmati pengalaman, bukan memenangkan ‘pertarungan’ melawan makanan!