- PAK Doe belum paham betul tentang isi klausul perjanjian sewa lahan sudah ditandatangani
- Akibatnya, ia merasa dirugikan karena tidak mendapatkan bangunan di atas lahan miliknya pada akhir masa kontrak
Sebut saja namanya Pak Doe. Ia mengontrakkan sebidang tanah sawah dekat pinggir sungai di kampung halamannya kepada seorang tamu asing. Menurut perjanjian, kontrak itu berlangsung selama 30 tahun. Sang tamu membangun tiga unit vila beserta fasilitas pendukungnya untuk disewakan. Nah, tahun kemarin perjanjian kontrak berakhir.
Bagi Pak Doe, ada yang aneh dan baru sadar ketika masa kontrak itu berakhir. Menurut bayangannya, ia mestinya memiliki tiga unit vila. Karena itulah, ia kemudian menemui sahabatnya Pak Made.
“Pak Made, saya benar-benar kecewa dan baru sadar ya. Mengapa saya tidak mendapatkan bangunan vila itu saat kontrak berakhir?”
“Memangnya ada disebutkan gak di dalam kontrak tanah itu, bahwa Bapak akan mendapatkannya?”
“Ada Pak. Begini bunyinya: Pada akhir kontrak, bangunan akan menjadi hak milik si pemilik tanah.”
“Terus, apakah ada bangunan ketika kontrak itu berakhir?”
“Tidak ada Pak.”
“Nah, sudah jelas kan. Dari mana Bapak dapat bangunan kalau faktanya tidak ada?”
“Sebelumnya ada tiga unit Pak. Kan itu mestinya jatuh ke tangan saya?”
“Mungkin tidak seperti itu. Apakah sudah ada pemahaman yang sama di antara kedua belah pihak sebelum teken kontrak itu?”
“Maksud Bapak?”
“Si pengontrak memiliki pemahaman yang sama dengan Bapak, bahwa bangunan yang dia bangun itu akan jatuh ke tangan Bapak ketika masa kontrak berakhir?”
“Belum Pak. Tapi pemahaman saya begitu!”
“Nah, di sinilah perlunya duduk bersama. Diskusikan klausul yang belum jelas.”
“Mungkin di sinilah kelemahan saya Pak.”
“Menurut pandangan saya, si pengontrak ini pintar. Jadi bangunannya dibongkar sebelum masa kontrak berakhir. Jadi jelas setelah kontrak berakhir tidak ada yang jatuh ke Bapak.”
“Waduuh, saya tidak kepikiran gitu lho Pak!!!” (*)