LIMA sekawan anak muda memutuskan untuk berkemah di pulau tak berpenghuni. Saat malam tiba, mereka mulai mendengar suara-suara aneh. Esok paginya, terungkap bahwa mereka sebenarnya berkemah di pulau milik seorang nelayan tua yang tak sengaja mereka ganggu, menciptakan momen kocak namun mengharukan.
—
Suasana sore di pelabuhan kecil itu begitu tenang. Angin laut yang berhembus lembut menyapu wajah Bimo dan teman-temannya, membuat mereka semakin tak sabar untuk memulai petualangan. Mereka, yaitu Bimo, Andi, Budi, Sinta, dan Fani, merencanakan untuk berkemah di sebuah pulau terpencil yang mereka dengar tak berpenghuni.
“Pulau ini benar-benar kosong, nggak ada orang sama sekali,” kata Bimo dengan semangat saat memesan perahu dari seorang nelayan yang akan mengantar mereka.
“Kita bisa bebas melakukan apa saja, berkemah, barbeque, main gitar, benar-benar seperti di film-film!”
Nelayan yang akan mengantar mereka, Pak Darno, menatap mereka dengan alis sedikit terangkat, tapi tidak berkata apa-apa selain, “Baiklah, hati-hati saja. Pulau itu memang sepi.”
Setelah setengah jam menyeberangi laut yang tenang, mereka tiba di pulau kecil yang terlihat eksotis dan benar-benar sepi, persis seperti yang mereka bayangkan. Pantainya berpasir putih, dikelilingi pepohonan rindang, dan di kejauhan hanya ada suara debur ombak.
“Ini dia! Surga kita selama dua hari ke depan!” seru Andi penuh semangat. Mereka segera menyiapkan tenda, menyalakan api unggun, dan bersiap menikmati malam di bawah bintang-bintang.
Malam pun tiba dengan tenang. Suasana hening hanya dipecahkan oleh suara binatang-binatang malam dan deru ombak yang menenangkan. Namun, semakin malam, suasana mulai terasa aneh. Sinta, yang sedang duduk di dekat api unggun, tiba-tiba merasa ada yang memperhatikannya dari balik pepohonan.
“Kalian denger nggak?” tanya Sinta tiba-tiba. “Kayak ada yang jalan di hutan?”
Andi tertawa kecil. “Ah, itu pasti angin. Atau hewan-hewan liar. Pulau ini kan kosong, nggak ada siapa-siapa.”
Tapi suara aneh itu terus terdengar—suara langkah kaki yang bergerak cepat di sekitar mereka, disertai dengan suara gemerisik dedaunan. Kali ini, Bimo juga mulai merasa waspada.
“Oke, itu nggak mungkin cuma angin. Mungkin ada binatang besar di sini.”
Mereka memutuskan untuk kembali ke tenda dan mengunci semua peralatan mereka di dalam tas. Namun, malam itu semakin mencekam. Dari kejauhan, terdengar suara ketukan pelan, seperti seseorang sedang mengetuk kayu.
Fani yang sudah ketakutan membisik, “Ini nggak lucu lagi. Kalau ini memang binatang liar, kenapa suaranya kayak… manusia?”
Akhirnya, karena merasa tidak aman, mereka memutuskan untuk tetap berjaga bergantian di sekitar api unggun. Malam terasa sangat panjang dan mencekam.
Saat pagi tiba, mereka semua terbangun dengan perasaan lega. Matahari yang terbit di ufuk timur membuat suasana pulau kembali terasa damai. Namun, ketakutan malam tadi masih menyisakan rasa penasaran.
Tiba-tiba, dari arah hutan, muncul seorang pria tua dengan pakaian nelayan dan wajah penuh kerutan. Dia berjalan mendekat dengan langkah lambat, sambil membawa tongkat kayu.
“Mau cari apa kalian di sini?” tanyanya dengan suara serak tapi tegas.
Bimo dan teman-temannya kaget bukan main. Mereka langsung berdiri, berusaha menjelaskan bahwa mereka pikir pulau ini tak berpenghuni dan datang hanya untuk berkemah.
Nelayan tua itu mengerutkan dahi dan tertawa pelan. “Pulau ini memang sepi, tapi aku sering datang ke sini. Ini pulau milikku. Aku datang untuk memeriksa perangkap ikan yang kutinggalkan di sekitar sini.”
Mereka semua terdiam sejenak, menyadari kesalahpahaman besar yang telah terjadi. Rupanya, suara-suara aneh yang mereka dengar semalam bukanlah hantu atau binatang buas, melainkan nelayan tua itu yang sedang berkeliling memeriksa perangkap ikannya.
Andi, dengan senyum kecut, bertanya, “Jadi, itu Anda yang semalam bikin suara-suara?”
Nelayan tua itu mengangguk sambil tersenyum. “Aku tak ingin mengganggu, tapi kurasa kalian mulai takut, jadi aku biarkan kalian belajar sendiri.”
Bimo dan teman-temannya tertawa lega, meski masih malu dengan ketakutan mereka semalam.
“Maaf, Pak. Kami benar-benar mengira pulau ini tak berpenghuni,” kata Bimo sambil menggaruk kepala.
“Tidak masalah, anak muda,” kata nelayan itu.
“Yang penting, kalian tahu bagaimana menghargai alam dan orang yang tinggal di sini. Jika kalian mau, aku bisa ajak kalian melihat perangkap ikanku. Mungkin kalian akan mendapat pengalaman baru.”
Dengan senyum lebar, mereka menerima tawaran sang nelayan. Hari itu, alih-alih hanya berkemah, mereka menghabiskan pagi dengan belajar cara menangkap ikan tradisional dari Pak Darno. Ternyata, petualangan mereka di pulau ini bukan hanya tentang berkemah, tetapi juga tentang belajar langsung dari orang lokal dan menyelami kehidupan nelayan.
Setelah seharian beraktivitas, mereka kembali ke pantai dengan banyak cerita untuk dibawa pulang. Liburan yang mereka pikir akan penuh ketenangan ternyata berujung pada pengalaman tak terlupakan—sebuah perjalanan yang mengajarkan bahwa pulau tak berpenghuni kadang-kadang bisa lebih “berpenghuni” dari yang mereka duga.
Sebelum pulang, Pak Darno berpesan, “Ingatlah selalu, tempat yang kalian kunjungi mungkin terlihat sepi, tapi selalu ada kehidupan di baliknya. Hargai setiap sudutnya.”
Dengan hati yang ringan dan penuh tawa, mereka meninggalkan pulau itu dengan kenangan unik yang akan selalu mereka ceritakan pada orang-orang.
Pesan Cerita
Terkadang, tempat yang kita anggap sepi dan kosong memiliki cerita dan kehidupan tersendiri. Wisata tidak hanya soal tempat indah, tetapi juga bagaimana kita belajar dari orang-orang lokal yang tak terduga.