PONSEL tua Inspektur Bayu bergetar, memecah kesunyian malam Tabanan. Sebuah panggilan dari Desa Dua Rimba, tiga jam perjalanan dari kota, bukan hal biasa di jam segini. Suara di ujung sana terdengar panik, menjelaskan tentang keanehan di loket masuk Air Terjun Singsing. Ketua pengelola, Pak Jaya, ditemukan pingsan, dan beberapa laporan keuangan menghilang.
Keesokan paginya, udara pegunungan terasa dingin menyapa Bayu saat ia tiba di Dua Rimba. Air Terjun Singsing menyuguhkan pemandangan memesona, namun Bayu tahu, di balik keindahannya, ada sesuatu yang busuk.
“Jadi, Anda bilang Pak Jaya pingsan setelah meninjau laporan keuangan?” tanya Bayu pada Made, seorang staf loket yang terlihat gelisah.
Made mengangguk kaku. “Betul, Pak. Setelah itu, beberapa buku kas yang penting, yang seharusnya ada di meja beliau, lenyap begitu saja.”
Bayu mengerutkan kening. “Dan Pak Jaya sendiri? Bagaimana kondisinya?”
“Sudah sadar, Pak, tapi masih sedikit linglung,” jawab Made.
Bayu menuju kantor pengelola yang sederhana. Pak Jaya, seorang pria paruh baya dengan rambut memutih, duduk di kursinya, tatapannya kosong.
“Selamat pagi, Pak Jaya,” sapa Bayu ramah. “Saya Inspektur Bayu. Bisakah Anda ceritakan apa yang terjadi?”
Pak Jaya menghela napas berat. “Saya… saya tidak tahu, Inspektur. Saya hanya ingat melihat angka-angka itu. Angka-angka yang tidak masuk akal. Lalu semuanya gelap.”
“Angka yang tidak masuk akal bagaimana, Pak?” desak Bayu.
“Pemasukan dari tiket selalu tinggi, selalu ada pengunjung. Tapi saat saya melihat pembukuan… uang kas yang tercatat sangat sedikit. Jauh di bawah perkiraan saya,” jawab Pak Jaya, suaranya bergetar. “Saya ingin menanyakan pada bendahara, Bu Sari, tapi dia sedang cuti.”
Bayu mencatat nama Bu Sari. “Jadi, Anda tidak pernah secara langsung mengelola pembukuan?”
Pak Jaya menggeleng. “Tidak, Inspektur. Itu tugas Bu Sari dan timnya. Saya hanya menerima laporan bulanan.”
“Tapi bukankah sebagai ketua, Anda seharusnya memegang kendali penuh atas keuangan objek wisata ini?” tanya Bayu, nadanya sedikit menuntut.
Pak Jaya tertunduk. “Itu kesalahan saya, Inspektur. Saya terlalu percaya. Saya pikir semua baik-baik saja.”
Bayu meninggalkan Pak Jaya dan mengamati sekeliling kantor. Sebuah kalender dinding menunjukkan tanggal 15 setiap bulan ditandai dengan lingkaran merah. “Pengiriman uang ke bank,” tulisnya.
Ia memanggil Made kembali. “Made, siapa yang biasanya mengantar uang ke bank?”
“Biasanya Bu Sari, Pak. Tapi kalau dia tidak ada, Pak Wayan yang menggantikan,” jawab Made.
“Bisa Anda panggil Pak Wayan?”
Tidak lama kemudian, Pak Wayan, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal, datang menghadap Bayu.
“Selamat siang, Pak Wayan,” sapa Bayu. “Saya dengar Anda kadang membantu Bu Sari mengantar uang ke bank.”
“Betul, Pak Inspektur,” jawab Wayan, wajahnya tampak tenang.
“Bisakah Anda ceritakan bagaimana prosesnya?”
“Ya, Bu Sari akan menyiapkan uangnya di dalam tas, lalu saya antar ke bank. Kadang dia ikut, kadang tidak,” jelas Wayan.
“Apakah Anda pernah melihat jumlah uang yang ada di dalam tas itu?”
Wayan terdiam sejenak. “Tidak pernah, Pak. Tasnya selalu tertutup rapat. Saya hanya mengantarkan saja.”
Bayu merasa ada kejanggalan. Jika Pak Jaya tidak pernah memeriksa pembukuan, dan Wayan tidak pernah tahu jumlah uang yang diantar, maka ada celah besar.
Setelah beberapa investigasi, Bayu menemukan bahwa Bu Sari memiliki gaya hidup yang jauh di atas gajinya sebagai bendahara. Ia sering terlihat mengenakan perhiasan mahal dan baru saja membeli sepeda motor baru. Bayu juga menemukan beberapa transfer bank mencurigakan dari rekening pengelola ke rekening pribadi yang terhubung dengan Bu Sari.
Bayu akhirnya menemui Bu Sari di rumahnya. Wanita itu terkejut melihat Inspektur Bayu di depan pintu.
“Selamat siang, Bu Sari,” kata Bayu. “Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan terkait Air Terjun Singsing.”
Wajah Bu Sari memucat. “Ada apa, Inspektur? Saya tidak tahu apa-apa.”
“Begitukah?” Bayu mengangkat alisnya. “Bagaimana dengan pembukuan cash flow yang hilang? Dan transfer dana ke rekening Anda?”
Bu Sari mencoba berkelit, namun Bayu menyajikan bukti-bukti yang tak terbantahkan. Akhirnya, dengan putus asa, Bu Sari mengakui perbuatannya.
“Saya… saya hanya mengambil sedikit, Inspektur,” isaknya. “Untuk kebutuhan keluarga. Pak Jaya tidak pernah memeriksa, jadi saya pikir tidak akan ada yang tahu.”
Bayu menghela napas. “Sedikit, Bu Sari? Jumlahnya mencapai ratusan juta. Ini bukan lagi ‘sedikit’.”
Kasus korupsi di Air Terjun Singsing akhirnya terungkap. Pak Jaya, meskipun tidak terlibat langsung dalam penyelewengan dana, harus mempertanggungjawabkan kelalaiannya sebagai ketua. Air terjun yang seharusnya menjadi sumber pendapatan desa, justru dikuras oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Bayu berdiri di tepi air terjun, memandangi gemericik air. Kasus ini bukan hanya tentang uang, tetapi tentang kepercayaan dan tanggung jawab. Ia berharap, setelah ini, Dua Rimba bisa pulih, dan keindahan alamnya tidak lagi dicemari oleh keserakahan. (*)








