PAGI itu, di lobi Hotel Otan River, Pak Gede (55), seorang koordinator tur dengan perut buncit dan kumis lebat, sedang beradu argumen dengan sepasang koper di lobi hotel. Koper itu, yang entah kenapa diberi nama Agung dan Batur oleh pemiliknya, Tante Rosida, menolak masuk ke dalam bagasi angkutan pariwisata “Pelangi Travel”.
“Aduh, Agung, Batur! Kalian ini koper apa artis figuran sih? Buruan masuk!” desis Pak Tejo, mengelap keringat di dahinya.
Tante Rosida (60), wanita kaya raya yang selalu memakai topi pantai di dalam ruangan, mendekat dengan wajah cemas. “Pelan-pelan, Pak Tejo! Mereka sensitif. Batur benci tempat gelap, dan Agung alergi debu bus!”
Di sebelahnya, Mas Broto (30), sang sopir bus yang tampak seperti baru bangun dari tidur 30 jam, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ampun, Bu. Bus ini sudah diservis, bahkan saya kasih pengharum ruangan aroma lavender yang katanya anti-alergi debu,” kata Mas Broto, menunjuk bus dengan bangga. “Tapi kalau kopernya minta kursi first class, itu bukan urusan saya, Bu.”
Akhirnya, Tante Rosida menghela napas dramatis. “Baiklah. Agung dan Batur, kalian duduk di kursi belakang bersama Pak Tejo. Tapi janji ya, jangan sampai kena rem mendadak!”
Perjalanan menuju tujuan wisata kuliner legendaris, “Warung Nasi Kuning Betutu”, dimulai. Warung ini terkenal karena kecepatan penyajiannya yang luar biasa, saking cepatnya, banyak yang menduga nasi kuningnya itu dimasak menggunakan turbin pesawat.
Di tengah perjalanan, terjadilah dialog di bus.
Pak Tejo (kepada Tante Rosida): “Bu, kalau boleh tahu, kenapa Ibu kasih nama gunung ke koper Ibu?”
Tante Rosida: “Oh, itu ada filosofinya, Pak Tejo. Agung itu melambangkan tantangan yang harus dilewati. Batur melambangkan puncak pencapaian. Mereka pengingat bahwa jalan-jalan ini penuh perjuangan. Dan di dalamnya ada… snack mahal!”
Mas Broto (dari depan): “Wah, kalau gitu motor saya mau saya kasih nama Tol Cipali, Bu. Melambangkan kecepatan dan bayar mahal!”
Tiba-tiba, Agung dan Batur, yang duduk manis di kursi belakang, oleng karena Mas Broto mengerem mendadak.
Pak Tejo: “Astaga, Mas Broto! Kenapa ngerem?!”
Mas Broto: “Maaf, Pak! Ada rambu aneh! Tulisannya ‘Belok Kanan, Hati-hati, Banyak Tukang Ngutang’!”
Tante Rosida: “Itu spanduk, Mas Broto! Bukan rambu lalu lintas! Agung muntah snack!”
Setelah insiden koper yang sakit, mereka akhirnya tiba di Warung Nasi Kuning Betutu Tempatnya ramai, tapi sesuai namanya, pelayanannya secepat kilat.
Pelayan (datang dan pergi dalam 3 detik): “Pesanan? Nasi Kuning Betutu Ayam, Nasi Goreng Udang, Nasi Uduk Jengkol 1, Es Teh 4. Lunas!”
Tante Rosida (tercengang): “Tunggu! Saya baru mau bilang ‘Nasi Kuning Betutu Ayam…’, kok sudah lunas?”
Pelayan (sudah kembali membawa piring): “Di sini, berpikir adalah memesan, Bu. Makanannya sudah datang. Silakan!”
Di meja makan, Pak Tejo tampak memegang perutnya.
Pak Tejo: “Warung ini memang revolusioner. Saya baru selesai mengambil napas, makanannya sudah selesai disiapkan.”
Tante Rosida: “Saya rasa cara makannya juga harus cepat. Kalau tidak, nanti piringnya ditarik duluan. Cepetan, Mas Broto!”
Mas Broto: “Siap, Bu! Ini makan atau balapan sih? Eh, enak juga nih rendangnya! Padahal saya baru sampai suapan pertama…”
Pelayan (tiba-tiba muncul di samping Mas Broto, membawa kalkulator): “Total 4 porsi, Mas. Sudah mau tutup. Terima kasih!”
Mas Broto (dengan wajah panik): “Tutup? Tapi kan baru jam 11 siang?!”
Pelayan: “Ya. Kami buka jam 10.30. Lima porsi per hari, dan sudah terpenuhi. Sampai jumpa besok!”
Mereka bertiga pun dikeluarkan dari warung dengan perut yang baru terisi setengah. Di luar, Mas Broto tertawa terbahak-bahak.
Mas Broto: “Pendidikan moralnya jelas, Pak Tejo, Bu Rosida. Dalam hidup, seperti di Warung Nasi Kuning Betutu, jangan menunda-nunda! Pelajaran yang didapat dari transportasi ke restoran, lucu, dan hemat waktu!”
Pak Tejo: “Tentu, Mas Broto. Tapi besok kita cari restoran yang masakannya secepat koper Agung dan Batur beradaptasi. Lambat!”
Tante Rosida hanya bisa menggeleng sambil memeluk Agung dan Batur. Perjalanan pulang dipastikan akan diisi dengan snack mahal di dalam koper, karena nasi uduknya kurang.
——-
Pesan Moral (Edukasi): Dalam layanan pariwisata dan restoran, kecepatan dan efisiensi itu penting, tapi jangan sampai mengorbankan pengalaman dan kenyamanan pelanggan!








