DIANA berdiri di balkon villa kecil di tepi Danau Batur, Kintamani, memandang kabut yang perlahan menutupi pemandangan di depannya. Gunung Batur yang megah hanya samar terlihat di balik kabut tebal, seperti sosok misterius yang menyembunyikan cerita di balik keheningannya. Udara pagi yang sejuk menusuk kulit, namun Diana justru merasa hangat. Ada sesuatu tentang pegunungan ini yang membuat hatinya tenang, meskipun ia datang ke sini dengan pikiran yang gelisah.
Sebagai penulis novel romantis, Diana selalu mencari inspirasi dari tempat-tempat yang menyimpan kisah cinta tersembunyi. Kali ini, Kintamani menjadi pilihannya. Ia berharap menemukan cerita baru yang segar, mungkin sesuatu yang berbeda dari semua novel yang pernah ia tulis.
Saat sedang asyik menikmati keheningan pagi, terdengar suara langkah kaki mendekat. Seorang pria bertubuh tegap, dengan kamera tergantung di lehernya, muncul dari arah jalan setapak. Wajahnya dipenuhi senyum ramah meski tampak sedikit lelah.
“Selamat pagi,” sapanya hangat. “Pemandangannya indah, ya?”
Diana tersenyum kecil. “Iya, meski kabutnya cukup tebal, masih bisa terasa keindahannya.”
Pria itu melangkah mendekat, memperkenalkan dirinya. “Nama saya Gede. Saya fotografer alam. Saya sedang mendokumentasikan kabut di Kintamani ini untuk proyek foto saya.”
“Diana,” jawabnya sambil mengulurkan tangan. “Saya penulis. Sedang cari inspirasi di sini juga.”
Keduanya bertukar cerita ringan. Diana berbicara tentang betapa sulitnya menemukan inspirasi akhir-akhir ini, sementara Gede bercerita tentang keindahan alam Bali yang tak pernah berhenti memukau lensa kameranya. Percakapan mereka mengalir begitu saja, seperti kabut yang perlahan menyelimuti mereka, membawa kehangatan di tengah hawa dingin pagi itu.
***
Hari berikutnya, Gede mengajak Diana untuk menjelajahi beberapa spot terbaik di Kintamani. Mereka berjalan bersama melewati jalan setapak menuju tepi danau, di mana Gunung Batur menjulang dengan megah. Kabut masih menggantung rendah, namun sinar matahari perlahan menembus, menciptakan efek dramatis yang memukau.
“Ini salah satu tempat favoritku,” kata Gede sambil memotret. “Kabut dan sinar matahari yang muncul seperti ini selalu memberikan kesan magis.”
Diana mengangguk, merasa terinspirasi oleh suasana yang begitu tenang dan misterius. “Rasanya seperti ada cerita yang tersembunyi di balik kabut ini, ya?”
Gede tersenyum. “Mungkin ada. Seperti cinta yang kadang tidak terlihat, tapi kita bisa merasakannya.”
Diana tertawa kecil. “Kamu berbicara seperti tokoh novel romantis saja.”
Mereka melanjutkan perjalanan ke sebuah warung kecil yang menyajikan kopi khas Kintamani dan nasi sela makanan tradisional Bali yang terbuat dari campuran nasi dan ketela rambat. Di sana, sambil menikmati secangkir kopi hangat, mereka berbicara lebih dalam tentang hidup.
“Kamu suka menulis tentang cinta, kan?” tanya Gede sambil menyeruput kopi.
Diana mengangguk. “Ya, tapi kadang aku merasa sulit menemukan inspirasi baru. Semua cerita cinta terasa seperti sudah pernah ditulis.”
Gede menatapnya sejenak. “Mungkin yang kamu butuhkan bukan cerita baru, tapi cara baru untuk melihatnya. Cinta, seperti alam, selalu ada. Kadang kita hanya perlu melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.”
Kata-kata Gede membuat Diana merenung. Mungkin benar, selama ini ia terlalu terpaku pada formula dan pola pikir yang sama. Alam di Kintamani, dengan keheningannya, memberinya kesempatan untuk melihat cinta dari sudut yang lebih alami, lebih tenang, seperti kabut yang datang perlahan, tanpa paksaan.
***
Hari demi hari, Diana dan Gede semakin dekat. Mereka menjelajahi setiap sudut Kintamani, dari pemandangan Gunung Batur yang dramatis hingga hutan-hutan yang rimbun. Setiap momen di antara mereka terasa hangat, meski udara pegunungan selalu dingin. Di setiap percakapan, ada rasa saling memahami yang tumbuh tanpa perlu diucapkan.
Suatu sore, di tepi danau yang tenang, Diana duduk di atas batu besar sambil menatap air yang memantulkan langit kelabu. Gede berdiri di sampingnya, kamera di tangan, tapi kali ini ia tidak memotret. Mereka hanya diam, menikmati suasana yang penuh kedamaian.
“Aku suka tempat ini,” kata Diana akhirnya. “Rasanya tenang, tapi juga penuh misteri.”
Gede tersenyum, menatapnya dengan lembut. “Seperti kabut yang menyembunyikan sesuatu di baliknya, ya?”
Diana menoleh dan menatap Gede. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat hatinya berdebar. Di antara kabut dan keheningan Kintamani, Diana merasa ada sesuatu yang tak terucapkan, tapi begitu nyata.
“Mungkin kita juga seperti itu,” bisik Gede. “Kita baru saling mengenal, tapi rasanya seperti sudah lama. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi, yang belum kita ungkapkan.”
Diana merasa pipinya memanas. “Mungkin. Tapi aku tidak terbiasa dengan hal-hal yang terlalu cepat.”
Gede tertawa kecil. “Cinta, seperti kabut, datang tanpa diundang. Kadang dia datang perlahan, tapi begitu dia ada, kamu tidak bisa mengabaikannya.”
Diana tersenyum mendengar kata-kata itu. Mungkin memang benar. Dalam setiap perjalanan mencari inspirasi, kadang yang kita temukan bukan hanya cerita, tapi juga seseorang yang tak terduga.
Di tepi Danau Batur, di tengah kabut yang tebal, Diana dan Gede menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar inspirasi. Mereka menemukan kehangatan cinta yang perlahan terungkap, seperti kabut yang terbuka oleh sinar matahari pagi.
Dan di sana, di Kintamani, cinta mereka mulai terjalin—perlahan, lembut, dan tak terbendung. Mereka pun saling menginspirasi dan menyirami benih-benih cinta mereka yang tengah bersemi. (*)