RAKA adalah seorang pemandu wisata berpengalaman di Desa Adat Puspa Wangi, sebuah desa Bali yang terkenal karena situs-situs sucinya yang masih terjaga. Sebagai seorang yang lahir dan besar di desa itu, Raka sangat mengenal setiap sudutnya—dari pura kecil di tengah sawah hingga hutan beringin yang lebat di ujung desa.
Akan tetapi, ada satu tempat yang selalu dia hindari saat memimpin tur: Paitu pohon Beringin Tua yang berada di bagian paling terpencil desa. Tempat itu dianggap sakral, bahkan oleh penduduk desa. Hanya para tetua desa yang diperbolehkan mendekatinya saat upacara tertentu.
Suatu hari, Raka ditugaskan memandu rombongan turis asing yang sangat penasaran dengan budaya dan sejarah Bali. Mereka tertarik pada cerita-cerita mistis yang beredar, dan salah satu dari mereka mendengar desas-desus tentang pohon beringin sakral itu. Mereka memaksa Raka untuk membawa mereka ke sana. Raka awalnya ragu, tapi tekanan dari para turis membuatnya terpaksa setuju, meski hatinya penuh dengan kecemasan.
Ketika mereka mendekati area pohon beringin, suasana berubah drastis. Angin yang tadinya sepoi-sepoi tiba-tiba menjadi dingin dan berputar di sekitar mereka. Pohon beringin itu tampak lebih besar dan lebih menakutkan dari yang Raka ingat, dengan akar-akar yang menjulur seperti tangan raksasa. Para turis, yang tadinya antusias, mulai merasa tidak nyaman, tetapi rasa penasaran mereka masih lebih kuat.
Raka mulai bercerita tentang legenda pohon itu, tentang bagaimana leluhur desa dulu sering melakukan upacara di bawah naungannya untuk meminta perlindungan. Namun, Raka sendiri tidak tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita rakyat.
Salah seorang dari mereka adalah perempuan yang bernama Emily, mendekati akar besar pohon dan tanpa sadar menyentuhnya. Sejenak, suasana hening, namun tiba-tiba tanah di bawah mereka bergetar pelan. Raka langsung merasa ada yang tidak beres.
“Jangan sentuh apa pun!” teriaknya, tapi sudah terlambat. Getaran kecil berubah menjadi bisikan angin yang aneh, seolah ada suara-suara yang berbicara di antara dedaunan pohon.
Tak lama kemudian, bayangan aneh mulai muncul di sekitar pohon. Bentuknya seperti sosok manusia, tapi tidak jelas. Para turis mulai panik, sementara Raka mencoba menenangkan mereka. Saat dia melangkah lebih dekat ke pohon untuk membawa Emily menjauh, tiba-tiba bayangan itu mendekatinya.
Sebuah suara tua dan berat berbicara dari dalam bayangan.
“Kalian telah melupakan kami,” katanya.
“Leluhurmu telah terkubur dalam ingatan yang pudar.”
Raka membeku. Dia menyadari bahwa bayangan itu adalah roh leluhur desa—entitas yang sudah lama terlupakan oleh generasi muda, termasuk dirinya. Mereka adalah penjaga pohon beringin, dan selama bertahun-tahun, para leluhur terlupakan oleh keturunannya. Itulah sebabnya pohon itu dianggap begitu sakral. Namun, tanpa penghormatan, kekuatan gaib mereka menjadi terpendam dan marah.
Roh itu melanjutkan, “Kami bukan musuhmu, tetapi kami telah diabaikan terlalu lama. Kekuatan kami berakar dalam pohon ini, dan kami butuh pengakuan untuk tetap menjaga desa ini dari ancaman yang tidak terlihat.”
Raka mengerti bahwa dia dan desa telah melupakan pentingnya leluhur dalam menjaga keseimbangan dunia spiritual dan dunia nyata. Dengan hati-hati, dia menjelaskan pada roh itu bahwa generasi muda tidak sengaja melupakan mereka, tetapi kehidupan modern telah mengubah banyak hal.
Sadar bahwa leluhur membutuhkan pengakuan dan penghormatan, Raka memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dia meminta izin kepada roh itu untuk membawa para turis pergi dengan selamat, berjanji akan melakukan upacara persembahan di bawah pohon beringin untuk menghormati leluhur yang terlupakan.
Roh itu setuju, dan bayangan-bayangan mulai menghilang perlahan. Namun sebelum mereka pergi, roh itu berpesan, “Jangan pernah lupakan siapa yang melindungimu. Kembali kepada kami, atau bencana akan menimpa desa ini.”
Keesokan harinya, Raka menemui tetua desa dan menceritakan semua yang terjadi. Awalnya, mereka skeptis, tetapi setelah mendengar pengalaman Raka dan bagaimana pohon beringin bergetar, mereka setuju untuk menghidupkan kembali tradisi penghormatan kepada leluhur.
Upacara besar pun digelar, dihadiri oleh seluruh penduduk desa dan para wisatawan yang ingin menyaksikan. Di bawah naungan pohon beringin, doa dan persembahan disampaikan, menghubungkan kembali generasi muda dengan kekuatan leluhur yang telah lama dilupakan.
Raka, kini lebih dari sekadar pemandu wisata, menjadi penjaga baru tradisi desa. Dia belajar bahwa dalam setiap kisah mistis, ada kearifan yang tak boleh dilupakan. Pohon beringin kembali tenang, dan desanya pun terlindungi dari ancaman gaib—selama mereka terus mengingat leluhur yang menjaga mereka.
Di bawah naungan pohon beringin itu, rahasia leluhur tak lagi terlupakan, dan Raka menjadi penghubung antara dunia nyata dan dunia spiritual yang masih hidup di dalam tradisi desanya. (*)