Janji Manis Berakhir Tragis, Uang Pelicin Pun Sirna

  • Whatsapp
Sabungan ayam
Diorama Sabungan Ayam. (Image: Nusaweek)
banner 468x60

Sekitar dekade 1970-an, mencari pekerjaan formal amat susah. Seorang ibu, sebut saja namanya Bu Made, sangat memikirkan nasib anak lelaki semata wayangnya. Karena sayangnya terhadap si buah hati, ia rela bekerja membanting tulang agar bisa mengumpulkan uang untuk menyiapkan uang ‘pelicin.’  Sebagai petani, ia pun berusaha mencari lahan garapan tambahan agar ada tambahan hasil.

Dari seorang tetangga jauh, ia mendapat informasi bahwa ada lowongan kerja pegawai di perusahaan plat merah, tanpa menyebut secara spesifik, untuk satu orang saja.

“Begini Bu, lowongan ini hanya tersedia untuk satu orang saja di cabang daerah kita,” kata Pak Goro, si tetangga yang mengaku lincah dan banyak kenalan.

“Kira-kira apa saja syaratnya agar saya mudah menyiapkan surat lamarannya untuk anak saya itu, Pak?”

“O ya, untuk itu, Ibu tinggal menyuruh anak Ibu menyiapkan fotokopi KTP, fotokopi ijazah terakhir, daftar riwayat hidup dan keterangan sedang mencari pekerjaan dari Disnaker setempat yang disertai surat lamaran.”

“Apakah ada lagi yang lainnya?”

“Nah, ada satu lagi Bu. Ini nanti yang sangat menentukan lulus atau tidaknya dalam seleksi.”

“Apa itu?”

“Yaaa…. Ibu pasti tahulah. Itu uang pelicinnya …Bu.”

“Ngomong-ngomong, berapa yang harus Ibu siapkan?” kata si ibu sambil bisik-bisik.

“Nah… menurut teman saya itu, cukup lima juga rupiah saja. Kalau ibu belum ada uang sejumlah segitu, cukup bayar dulu 3 juta saja. Nanti sisanya bisa dicicil.”

“Baiklah. Benar ya, bantu anak saya agar bisa mendapatkan posisi itu.”

“Tidak usah khawatir, Ibu seperti tidak tahu saya saja,” kata Pak Goro meyakinkan.

“Saya usahakan uang itu secepatnya.”

“Jangan pakai lama ya Bu, keburu ada orang lain yang bayar. Ibu bisa kehilangan kesempatan nanti.”

“Yaa.”

*****

Sang ibu pun menyiapkan uang yang diminta tersebut. Tapi tidak dilunasi karena ia masih menyisakan sedikit keraguan. Toh nanti kalau dia curang, misalnya, ia tidak akan rugi banyak.

Uang tiga juga rupiah itu dibawa sendiri dalam amplop warna coklat ke rumah Pak Goro. Dengan penuh harap, ia pun berdoa agar ini bisa menjadi jalan yang terbaik untuk anaknya mendapatkan pekerjaan.

Setelah menyerahkan uang itu, dalam perjalanan pulang ia merasa sedikit lega karena paling tidak 25 persen tahapan mencarikan anaknya pekerjaan sudah berjalan sesuai harapan. Tiga tahapan lainnya adalah pelunasan, panggilan tes dan pengumuman kelulusan.

*******

Keesokan harinya, Pak Goro datang ke rumah Ibu itu untuk menyampaikan terima kasih serta rencana menyerahkan uang itu kepada kenalannya.

“Bu, uang yang Ibu titipkan pada saya itu akan saya serahkan nanti sore. Selanjutnya beliau yang akan mengurus karena ia juga bekerja di kantor itu. Mudah-mudahan nanti bisa berjalan mulus seperti harapan Ibu,” harap Pak Goro.

“Ya, Ibu pun berharap demikian. Jadi mohonlah dibantu agar anak saya bisa diterima di perusahaan itu.”

“Pastilah Bu. Saya akan usahakan. Ibu harus sabar menunggu karena ini prosesnya agak panjang.”

“Nanti tolong kabari lagi Ibu tentang perkembangannya ya.”

******

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, namun belum ada kabar yang ditunggu-tunggu dari Pak Goro. Ibu itu selalu berdoa agar ada kabar baik dari Pak Goro terkait dengan lamaran kerja anaknya.

Tidak berselang lama, ia mendengar kabar dari saudaranya yang tinggal di dusun sebelah bahwa Pak Goro kalah judi sekitar dua jutaan di sana.

Mendengar berita itu, ia pun tak berburuk sangka karena ia menganggap Pak Goro itu orang baik dan bisa dipercaya.

Tapi dalam pikirannya ada sedikit ganjalan menggelayut, darimana ia mendapat uang sebabanyak itu untuk taruhan. Kalau dilihat dari pekerjaan sehari-harinya, lahan garapannya tidak lebih luas dari garapan Bu Made. Kalau pekerjaan sampingannya, tidak ada.

Banyak pertanyaan yang mengganggu pikirannya, dari mana ia dapat uang sebanyak itu. Kendatipun demikian si ibu tidak merespons kabar itu dengan datang secara langsung ke rumahnya.

Berselang sekitar tiga harinya setelah kejadian itu, ia datang lagi ke rumah ibu itu dan menyampaikan maksudnya.

“Bu, kedatangan saya kemari tidak lain untuk meminta tambahan ‘uang pelicin’ agar proses lamaran anak ibu bisa dipercepat. Hari gini, usaha apapun pasti butuh uang.”

“Langsung saja Nak, kamu butuh berapa lagi?” tanya ibu itu.

“Untuk tahapan ini, Ibu hanya perlu membayar satu juta. Sisanya bisa menyusul setelah ada kepastian mendapat pekerjaan.”

“Ya, baiklah kamu harus pegang janjimu.”

“Ya, pastilah Bu.”

*****

Sama saja, setelah bermingu-minggu tidak ada juga kabar tentang perkembangan lamaran anaknya. Si ibu semakin khawatir bahwa uangnya pasti akan hilang.

Seperti sebelumnya, saudaranya dari dusun sebelah menyampaikan bahwa di desanya ada sabungan ayam lagi. Dia mendapat kabar pula bahwa Pak Goro kalah bertaruh 900 ribu.

Mendengar kabar itu, si ibu merasa semakin khawatir akan nasib lamaran anaknya. Ia menduga kuat bila uang yang sudah disetorkan itu digunakan untuk bertaruh di arena sabungan ayam. Kendati pun demikian, ia tidak berani menuduh karena tidak memiliki bukti atau pun saksi. Ia pun hanya bisa pasrah.

*****

Pada kesempatan lain si ibu ini ikut kerja gotong royong membuat sesajen di desanya karena ada warga banjar yang akan mengadakan upacara agama.  Sambil ngobrol bersama ibu-ibu lainnya, di sana ada seorang penjual nasi yang kebetulan sering berjualan nasi campur di arena sabungan ayam.

Si penjual nasi itu menceritakan ada penjudi sabung ayam yang makan di warungnya. Yang satunya mengaku kalah pertama 3 jutaan dan kedua kalah 900 ribu. Dia bilang uang itu pinjaman dari saudaranya yang akan melamar kerja. Nah, di situ ia menyampaikan kesulitan untuk mengembalikannya karena tak mempunyai sumber pendapatan tetap.

Mendengar cerita itu, Bu Made semakin yakin bila uang yang ia sudah titipkan itu digunakan untuk berjudi.

*****

Keesokan paginya, Bu Made pergi ke sawah untuk menyiangi tanaman padinya. Secara kebetulan, Pak Goro melintas di dekat pematang sawahnya. Bu Made melihat sudah melihat kedatangannya dan ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk menanyakan masalah uangnya itu.

“Wah…Pak Goro mau kemana pagi-pagi begini?” tanya Bu Made yang menghentikan aktivitasnya.

“Saya mau ke ladang kakak untuk minta sebatang bamboo.”

“Untuk apa Pak?”

“Mau bikin tali, soalnya stok tali di rumah sudah habis. Siapa tahun nanti mau memperbaiki pagar di kebun.”

“Oooh… begitu. Ngomong-ngomong, gimana kabar tetang lamaran anak saya?”

“Yang itu, beliaunya masih sibuk. Saya sudah dua kali ke sana tapi dianya tak pernah ada di rumah.”

“Terus uangnya gimana?”

“Ya… amanlah Buu, masak Ibu tak percaya sama saya.”

“Percaya sih percaya, tapi siapa tahu salah ambil. Kan bisa saja?”

“Nggaklah Bu.”

“Ya.. saya percaya, apalagi Bapak waktu ini saya dengar menang banyak dua kali, ya?”

“Menang apa? Saya kalah hampir 3 jutaan Bu.”

“Bagi Bapak mungkin itu belum seberapa. Dari dulu kan sering menang, tentu punya banyak uang?”

“Itu pinjaman dari uang titipan Ibu!!!”

Rupanya ia bicara keceplosan tanpa ia sadari karena terus dipancing oleh Bu Made. Wajah Pak Goro tampak memerah sambil gelagapan.

“Maaf …… maaf sekali Bu Made. Pokoknya nanti saya akan kembalikan uangnya utuh bagaimana pun caranya. Kalau saya meninggal sebelum uang Ibu kembali, datanglah ke rumah bawakan aku sesajen punjung dan sampaikan doa dan permohonan Ibu di bale,” janji Pak Goro.

“Aah .. Bapak ini menyebut-nyebut mati segala. Jangan mati dulu Pak, nanti saya sulit nagihnya.”

“Ya. Hidup ini tidak ada yang tahu, kapan diambil sama yang punya. Ini janji saya Bu dan sudah menjadi tanggung jawab saya. Biarlah dari alam sana nanti saya mengusahakannya bagaimana pun caranya agar uang ibu bisa kembali ya..”

“Baiklah kalau begitu. Terserah Bapak saja.”

******

Sekitar delapan hari kemudian Bu Made mendengar kabar duka jika Pak Goro meninggal dunia. Ternyata apa yang dia omongkan kini menjadi kenyataan. Tentu saja ia terkejut.

“Aku tidak menyangka. Apa yang dibicarakan Pak Goro tempo hari akhirnya menjadi kenyataan. Kesedihan dan kepahitan bercampur. Sedih atas meninggalnya beliau dan pahit karena kehilangan uang yang dikumpulkan dengan susah payah demi anak,” kata Bu Made dalam hati.

******

Seperti pesan Pak Goro, Bu Made membuat sesajen punjung khusus, walau tak ada hubungan kerabat langsung seperti tradisi setempat bila ada orang meninggal.

“Permohonan Bapak saya kabulkan. Ini saya bawakan sesajen punjung ya … Pak. Semoga perjalanan Bapak tanpa menemui rintangan dan mendapat kebahagiaan di alam roh sesuai karma Bapak. Mohon maaf bila saya ada salah dan bantulah mewujudkan janji Bapak. Saya tak ingin memberatkan keluarga Bapak.”

Demikianlah Bu Made sudah memenuhi permintaan Pak Goro dengan ikhlas tanpa kebencian atau dendam. Ia berharap bisa mengumpulkan kembali rezeki yang dipinjam dan dengan bantuan Pak Goro dari alam sana, ia tetap bekerja keras. (*)

banner 300x250

Related posts

banner 468x60