Kesurupan di Batu Besar di Pinggir Sungai

  • Whatsapp
Batu besar
Ilustrasi batu besar di pinggir sungai dekat bendungan tradisional. (Image: Nusaweek)
banner 468x60

Udara dingin merasuk seperti ke dalam tulang sumsum karena hari masih pagi dan lokasi bendungan tradisional atau empelan ini berada di dataran tinggi. Walau demikian, karena merupakan sebuah kewajiban, warga subak segera memulai gotong royong memperbaiki bendungan tradisional tersebut karena dijebol air bah semalam.

“Ayo kita mulai pekerjaan kita hari ini. Semoga dalam setengah hari ini sudah rampung mengingat kerusakannya cukup parah,” ajak Pak Ketut, sang ketua.

“Baik. Kawan-kawan kita bagi tugas. Ada yang mengumpulkan batu-batu besar itu. Lalu yang lainnya mengangkat dan membawanya ke sini. Cukup dua atau tiga orang lainnya memasangnya batu-batu tersebut,” tambah Made, sang wakil.

********

Mereka bekerja bahu-membahu dengan sigap agar pekerjaannya bisa segera selesai. O ya, sebelumnya Pak Ketua sudah menghaturkan sesajen di pelinggih hulu bendungan untuk memohon izin dan keselamatan dalam bekerja.

Subak membuat bendungan tradisional dengan cara membendung sungai. Batu-batu besar dideretkan dan dialasi rerumputan atau jerami. Kemudian di sela-selanya direkatkan dengan tanah liat.

Untuk mengarahkan aliran air ke saluran irigasi yang dibuat, konstruksi deretan batu tersebut dibuat dalam posisi diagonal atau tidak menyiku dengan mulut saluran air tersebut. Kemudian, pemeliharaan diadakan secara berkala dan insidental bila ada kerusakan.

*********

“Nah, ini sudah menunjukkan pukul 11:00, kita istirahat dulu, nanti kita lanjutkan lagi sedikit untuk menuntaskan. Sekarang kita istirahat dan makan siang. Silakan membersihkan diri masing-masing. Nanti kita lanjutkan kembali sekitar pukul 1 siang,” kata Pak Ketua.

“Boleh kami naik ke desa sebentar, mau beli kopi Pak Ketua?” tanya seorang warga.

“Oh.. tentu boleh. Tolong diingat ya, nanti sudah berada di lokasi sebelum pukul satu siang.”

“Baik Pak.”

*********

Setelah itu, ada yang mandi di sungai sambil berenang dan ada pula yang merokok dulu sebentar di atas batu-batu. Maklumlah, habis bekerja berat mereka ingin bersantai sejenak sebelum mandi.

Mereka menikmati bekal setelah mandi di sungai. Pas sedang asyiknya menyatap makan siang, mereka dikejutkan oleh suara seorang temannya. Mereka pun memencar mencari tempat yang nyaman.

*********

“Aahhhh….ahhhhaa, kalian jangan macam-macam di sini. Ini tempatku. Jangan ganggu aku.!!!”

*********

Tentu saja, aksi ini membelah kesunyian warga yang sedan beristirahat siang. Tentu saja mereka kaget dan berhamburan lalu mengampirinya. Dia adalah Kadek yang tadinya beristirahat di atas batu besar.

Tadinya ia melompat dari batu besar itu. Lalu mengambuk dan teriak-teriak. Tangannya memukul-mukul dadanay seperti king kong yang sedang marah.

**********

“Kawan-kawan, ayo kita pegangi tangan rekan kita ini,” kata Pak Ketua.

“Pak, tampaknya Kadek benar-benar kesurupan ini,” sahut Made.

“Tadi kan ada sesajen canang. Bawa ke sini man untuk di haturkan di sekitar batu besar. Mungkin tadinya kelupaan. O ya, tolong bantu telpon juga Pak Mangku Subak dan jelaskan apa yang tengah terjadi di sini.”

“Baik pak.”

**********

Pak Ketua sibuk menghaturkan sesajen canang dan segehan dan mohon maaf kepada penunggu batu besar tersebut. Mungkin tadinya ada yang salah atau kelupaan mebanten.

Karena cukup lama merontan-ronta dan berteriak, Kadek yang kesurupan itu jatuh lemas dan dibaringkan di atas rerumputan di pinggir sungai.

Sementara di sisi lain, Kakek Mangku pura subak juga sudah dihubungi agar bisa datang ke lokasi. Nah, sekitar 10 menit kemudian, kakek Mangku sudah tiba di lokasi.

**********

“Gimana, mana si Kadek?” tanya Kakek Mangku.

“Ini Kek, di sini,” jawab Pak Ketua.

“Hal ini sudah kakek duga. Pasti tadi ada yang duduk di atas batu besar itu. Mungkin juga lupa menghaturkan sesajen di batu besar itu. Kita mohon maaf sekarang. Mana canangnya?”

“Ini Kek. Di mana taruh canang ini Kek?”

“Sebelah sini, ikut Kakek.”

Kadek yang nampak lemas dan berbaring di atas rumput. Ia diperciki tirta atau air suci setelah Kakek Mangku menghaturkan permohonan maaf di batu besar dekat pinggir sungai.

“Nah, sekarang gimana rasanya Dek?” tanya Kakek Mangku.

“Yaa…ssudah mendingan Kek. Tadi berat sekali rasanya kepala saya,” sahutnya pelan.

“Apakah tadi Kadek ada melihat sosok tertentu?”

“O ya, ada penampakan sosok yang tinggi dan berbadan kekar. Wajahnya aneh dan mengerikan….waaahh…. pokoknya seramm.”

“Konon itu adalah penjaga di kawasan ini.”

“Maksud Kakek?”

“Ayo…kalian semua duduk merapat di sini. Kakek ingin kasi cerita terkait dengan keberadaan bendungan tradisional dan batu besar ini. Nah, cerita ini sudah disampaikan dari generasi ke generasi.”

“Ayoo…. Kawan-kawan mendekat ke sini ya,” ajak Pak Ketua.

“Begini… Kakek yakin tadi kalian pasti sudah menghaturkan sesajen sebelum bekerja di sini. Nah, yang belum atau terlupakan di batu besar sebelah situ,” kata kakek sambil menunjuk ke arah batu itu.

“Maaf Kek, saya bertanya sedikit. Mengapa kita menyembah batu lagi, kan sudah ada pelinggih atau pura di hulu empelan ini?” tanya Ketut, Pak Ketua.

“Itu berbeda Tut. Pelinggih memang sudah dibuatkan di situ. Tapi batu besar itu kita juga sakralkan secara turun temurun. Kita tidak menyembah batu itu, tapi roh suci yang bersemayam di batu. Konon, menurut orang tua kakek, yang juga mangku subak merangkap medium, pernah mengatakan bahwa roh suci penghuni batu itu adalah seorang kakek yang sudah renta berpakaian serba putih.”

“Lalu kami kok tidak pernah diberitahu Kek tentang hal ini. Misalnya, kan bisa diceritakan lewat rapat anggota subak?”

“Maaf, mungkin pengurus subak yang baru belum pernah menyampaikan hal ini. Sebenarnya hal ini sudah ditulis di monografi subak kita. Dulu sebelum lomba subak, kakek ikut menyusunnya bersama tim persiapan. Nanti silakan dibuka arsipnya.”

“Oohh….begitu.”

“Satu lagi,  di sebelah batu besar itu adalah gerbang masuk ke perkampungan roh halus. Di kedua pinggir sungai ini ke hulu mulai dari sini, penuh dengan perkampungan mereka. Walaupun demikian, kita tidak usah takut. Yang penting kita tidak macam-macam atau kita harus selalu berlaku sopan, etis dan bilang permisi.”

 

“Kenapa kita harus percaya hal-hal seperti itu lagi seperti zaman batu besar dulu. Sekarang kan sudah zaman moderen Kek?” tanya Edola.

“Begini Do, kamu boleh saja tidak percaya, itu hak kamu dan tak masalah. Tetapi ingat, bila kamu tidak percaya, mereka tidak berhenti ada. Kalau di kita itu namanya konsep alam sekala (nampak) dan niskala (tak tampak). Tadi buktinya, teman kamu kesurupan. Nah, itu berarti ada masalah dalam hubunga kita dengan mereka. Lewat sesajen itu, tadi kita sudah komunikasikan dan memohon maaf. Intinya kita harus menjaga keharmonisan di kedua alam ini agar aktivitas dan kehidupan kita berjalan baik.”

“Terus Kek, mau tanya satu lagi ya. Apa lagi fungsi batu besar tersebut Kek?”

“Nah.. batu itu juga dulu sering digunakan oleh para leluhur anggota subak kita untuk memohon hujan bila kemarau berkepanjangan melanda.”

“Apakah 100  persen bisa terkabul permohonan tersebut Kek?”

“Tentu saja tidak. Berhasil atau tidaknya tentu juga sangat ditentukan oleh banyak faktor, seperti kondisi alam dan lain-lain. Tetapi dapat dikatakan sebagian besar ya…”

“Ooh… begitu.”

“Baik, Kakek rasanya masalah ini sudah tuntas. Kadek sudah siuman, permohonan maaf kita sudah lakukan. Nah, sekarang tinggal melanjutkan sisa pekerjaan kalian. Sekarang kakek mohon diri.”

“Hati-hati…..ya Kek,” kata mereka kompak. (*)

banner 300x250

Related posts

banner 468x60