Sepuluh Menit Berjalan-Jalan di Pasar Gaib

Pasar gaib
Ilustrasi pasar gaib di bawah pohon beringin. (Image: GwAI/Nusaweek)
banner 468x60

UDARA pagi di Bali masih segar ketika Daniel tiba di lokasi kelas yoga. Ia sengaja datang lebih awal, berharap bisa menikmati ketenangan sebelum peserta lain berdatangan. Kelas yoga diadakan di sebuah bale terbuka atau yoga salla yang menghadap ke sungai kecil, dengan sebuah Pura Beji di sampingnya. Di bawah pohon beringin besar yang menaungi pura itu, suasana terasa begitu damai.

Namun, karena suasana masih sepi dan peserta lain belum datang, Daniel memutuskan untuk berjalan-jalan ke tepi sungai. Ia menuruni beberapa anak tangga batu yang tampak tua dan berlumut, lalu menyusuri jalur setapak di sepanjang aliran air jernih. Tak jauh dari sana, ia melihat sesuatu yang membuatnya terpana: sebuah pasar yang ramai.

Read More

Di pasar itu, orang-orang berpakaian adat Bali berlalu-lalang. Para pedagang menawarkan berbagai dagangan, mulai dari buah-buahan segar hingga jajan tradisional yang menggoda selera. Daniel tertarik pada sebuah gerai kecil yang menjual jajanan Bali. Seorang wanita tua dengan senyum ramah menyodorkan sepiring kue berwarna-warni.

“Silakan, Nak. Coba ini, jajan uli dan laklak,” katanya dengan nada lembut.

Daniel mencicipi kue itu. Rasanya manis dengan tekstur yang kenyal dan sedikit gurih. Ia kemudian membeli sebungkus dan lanjut berjalan-jalan lebih jauh, menikmati suasana pasar yang begitu hidup dan penuh warna.

Namun, tak lama kemudian, seorang pria tua berjanggut putih datang dan mendekatinya.

“Nak, sebaiknya kau kembali sekarang,” katanya dengan suara rendah, namun tegas.

“Kenapa, Pak?” tanya Daniel bingung.

Orang tua itu tidak menjawab. Hanya dengan tatapan tajam, ia memberi isyarat agar Daniel segera pergi. Meskipun penasaran, Daniel memutuskan untuk menurut. Ia bergegas kembali ke lokasi kelas yoga.

Saat ia tiba, kelas sudah berlangsung. Ia melihat peserta lain tengah khusyuk dalam pose meditasi. Instruktur yoga, seorang wanita Bali berwajah tenang, menatapnya dengan alis terangkat.

“Maaf, saya terlambat,” ujar Daniel, merasa bersalah.

“Kau dari mana saja?” tanya instruktur.

“Saya tadi jalan-jalan ke pasar di dekat sungai. Saya membeli jajan Bali dan melihat-lihat sebentar,” jawabnya.

Mendengar itu, wajah sang instruktur berubah. Matanya menajam, dan nada suaranya menegang. “Pasar? Kau melihat pasar di dekat Pura Beji?”

Daniel mengangguk. “Ya, saya hanya sekitar sepuluh menit di sana.”

Instruktur yoga menarik napas dalam. “Daniel, di sana tidak ada pasar. Kau pasti telah memasuki kawasan alam gaib, komunitasnya wong samar. Pasar yang kau lihat adalah pasar alam gaib, yang hanya muncul di waktu-waktu tertentu. Waktu di sana berjalan berbeda. Kalau kau merasa hanya sepuluh menit, di sini sudah hampir sembilan puluh menit berlalu.”

Darah Daniel seketika berdesir. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia menatap sisa jajan Bali yang masih dipegangnya. Sejenak, kue itu tampak sama seperti sebelumnya, namun dalam pandangan matanya yang semakin tajam, ia melihat sesuatu yang janggal. Tekstur kue itu berubah sedikit transparan, seolah-olah berasal dari dunia yang berbeda.

Ia meletakkannya perlahan di atas meja, merasa jantungnya berdebar kencang. Tak pernah ia bayangkan bahwa perjalanannya pagi ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ia telah melangkah ke sebuah dimensi yang tak terlihat oleh kebanyakan orang, sebuah tempat di mana waktu dan realitas berjalan dengan cara yang berbeda.

Dan ia beruntung telah diperingatkan untuk kembali tepat waktu.

Namun, rasa penasaran menggelayut di benaknya. Apa yang akan terjadi jika ia menghabiskan lebih banyak waktu di sana? Apa yang terjadi pada orang-orang yang tidak kembali? Ia mencoba menepis pikiran itu, tetapi ketakutan dan keingintahuan terus berperang dalam pikirannya.

Malam harinya, di vila tempatnya menginap, Daniel terjaga dari tidur dengan tubuh berkeringat. Dalam mimpinya, ia kembali ke pasar itu, melihat wajah-wajah yang sama, mendengar suara-suara yang mengundang. Wanita tua penjual kue tersenyum padanya, tetapi kali ini, senyumnya terasa berbeda—lebih dalam, lebih menyeramkan.

Esoknya, sebelum meninggalkan Bali, Daniel kembali mengunjungi lokasi kelas yoga.

Ia berdiri di tepi sungai, menatap ke arah di mana pasar itu dulu muncul. Tapi yang terlihat hanyalah hutan dan aliran air yang tenang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada suara. Tidak ada pasar.

Namun, di sudut matanya, ia melihat sekilas bayangan seseorang berdiri di balik pohon beringin besar itu. Daniel bergidik dan buru-buru pergi. Ia tahu satu hal dengan pasti—ada sesuatu di sana yang seharusnya tetap tak terlihat oleh manusia. (*)

banner 300x250

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *