GARENG, seorang pemuda berusia 25 tahun, baru saja diterima bekerja sebagai pemandu wisata atau tour guide di kota kelahirannya, sebuah kota kecil yang dikenal dengan arsitektur klasik dan warisan budayanya. Meskipun ini adalah pekerjaan pertamanya sebagai tour guide, Gareng sangat antusias karena merasa sudah mengenal setiap sudut kota ini sejak kecil.
Namun, ada satu hal yang membuat Gareng agak cemas: dia belum pernah benar-benar memandu tur sebelumnya. Untuk mengatasi kegugupannya, Gareng memutuskan untuk mengandalkan GPS di ponselnya agar tidak ada kemungkinan tersesat. Dengan keyakinan penuh pada teknologi, ia merasa siap untuk menghadapi hari pertamanya.
Pagi itu, Gareng bersiap memandu sekelompok turis asing yang datang dari berbagai negara. Mereka semua tampak bersemangat untuk mengeksplorasi kota kecil yang indah ini. Setelah memperkenalkan diri, Gareng mengajak mereka menuju destinasi pertama, sebuah gereja tua yang terkenal di pusat kota.
“Selamat datang di kota kami yang menakjubkan ini,” kata Gareng dengan penuh percaya diri.
“Hari ini, kita akan mengunjungi beberapa tempat bersejarah dan menarik. Ikuti saya!”
Namun, saat mereka mulai berjalan, Gareng langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat GPS-nya menunjukkan rute yang berbeda dari yang ia ingat.
“Tidak masalah,” pikir Gareng, “GPS pasti lebih tahu jalan terbaik.”
Setelah berjalan sekitar 20 menit, Gareng dan rombongan malah tiba di sebuah kompleks perumahan yang sepi, jauh dari tempat wisata mana pun. Para turis mulai bertanya-tanya, namun Gareng dengan cepat meyakinkan mereka bahwa ini adalah “rute alternatif” untuk menghindari keramaian.
Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin jelas bahwa mereka tersesat. Gareng mulai panik, tapi tetap berusaha terlihat tenang. Dia mengikuti GPS dengan setia, berharap perangkat tersebut akan segera membawa mereka ke tempat yang benar.
Rombongan mulai berkeliling kota tanpa arah yang jelas, melewati gang-gang sempit, jembatan kecil, dan bahkan berputar-putar di sekitar taman bermain anak-anak. Beberapa turis mulai mengambil foto, menganggap ini sebagai bagian dari pengalaman “off the beaten path,” sementara yang lain mulai tertawa kecil menyadari kebingungan pemandu mereka.
Setelah lebih dari satu jam berjalan tanpa hasil, mereka tiba di tempat yang terlihat sangat familiar. Para turis tertawa terbahak-bahak ketika mereka menyadari bahwa Gareng, dengan bantuan GPS, telah membawa mereka kembali ke titik awal tur di mana mereka memulai perjalanan.
Gareng merasa sangat malu, tetapi ia tidak bisa menahan tawa saat para turis mulai menggodanya.
“Terima kasih sudah menunjukkan kota ini dari sisi yang belum pernah kami lihat sebelumnya!” kata salah satu turis sambil tertawa.
Gareng dengan jujur mengakui bahwa ia terlalu mengandalkan GPS dan meminta maaf kepada rombongan. Namun, para turis justru menganggap kejadian ini sebagai pengalaman unik yang akan mereka ceritakan kepada teman-teman mereka.
Dengan semangat yang lebih ringan, Gareng memutuskan untuk memulai tur dari awal lagi, kali ini tanpa bantuan GPS. Ia mengandalkan ingatannya dan berhasil membawa rombongan ke semua destinasi wisata yang seharusnya.
Saat tur berakhir, salah satu turis mendekati Gareng dan berkata, “Jangan khawatir, Gareng. Kadang, tersesat adalah bagian terbaik dari petualangan.” Gareng pun tersenyum, menyadari bahwa meskipun hari itu penuh dengan kesalahan, ia telah memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi para turis.
Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi Gareng. Ia mulai lebih percaya pada pengetahuannya sendiri tentang kota tersebut dan tidak terlalu mengandalkan teknologi. Para turis yang mengikuti tur hari itu kembali ke negara masing-masing dengan cerita lucu tentang tour guide yang kesasar di kotanya sendiri, sementara Gareng melanjutkan pekerjaannya dengan lebih percaya diri dan, tentu saja, tanpa perlu GPS lagi. (*)