UDARA malam di Desa Kamaligi yang berada di dataran tinggi atau pegunungan terasa dingin dan sarat aroma dupa cendana yang membumbung dari Pura Dalem. Besok adalah puncak upacara piodalan agung, perayaan suci yang diadakan lima tahun sekali. Namun, ketenangan menjelang hari suci itu dicabik oleh teriakan panik karena hilangnya topeng dewi, sebuah topeng sakral.
******
Jero Mangku Wayan (28 tahun), seorang pemangku (pemimpin ritual di pura setempat) dengan mata tajam dan sorot mata yang teduh, berlari menuju pelinggih utama. Di sana, Kelihan Adat (Kepala Adat), Pak Raka, terduduk lemas di lantai batu.
“Ada apa, Pak Kelihan?” tanya Wayan, suaranya berusaha tenang walau jantungnya berdebar kencang.
Pak Raka menunjuk ke pelinggih yang kini kosong. “Wayan, Topeng Dewi… ia hilang! Aku baru saja memeriksa pengunciannya, seperti yang kulakukan setiap malam. Kuncinya masih tergantung, segelnya utuh, tapi peti penyimpanannya… kosong!”
Wayan mendekat, memeriksa pelinggih. Peti kayu jati berukir itu memang terbuka sedikit, tanpa ada tanda-tanda paksaan. Topeng pusaka yang menjadi jantung upacara penutup itu benar-benar lenyap.
“Tidak mungkin,” bisik Wayan. “Topeng ini dijaga ketat. Tidak ada yang diizinkan masuk ke area jeroan (halaman terdalam pura) setelah matahari terbenam, kecuali kita berdua.”
Pak Raka mendongak, wajahnya pucat. “Ini adalah pertanda buruk, Mangku. Legenda mengatakan, jika Sidakarya gagal menutup upacara, desa kita akan dihukum karena ketidakseimbangan Tri Hita Karana. Bisa jadi ini ulah leak (penyihir jahat) yang ingin mengacaukan niskala (alam gaib)!”
Wayan menggeleng. Sebagai pemangku muda, ia dididik untuk mencari jawaban di ranah sekala (alam nyata) terlebih dahulu.
“Kita tidak boleh panik, Pak Kelihan. Itu akan merusak yadnya (persembahan) besok. Tolong kumpulkan semua krama (anggota kelompok adat) dan pecalang (petugas keamanan desa adat). Kita harus mencari tahu siapa yang memiliki motif dan akses.”
Pagi tiba, membawa sinar matahari yang ironisnya cerah. Suasana desa tegang. Penyelidikan kecil-kecilan Wayan menghasilkan tiga fakta mencurigakan:
- Seorang kolektor barang antik dari Kota sempat datang ke desa seminggu lalu, menawarkan harga tinggi untuk topeng tersebut.
- Desa tetangga, yang baru saja gagal panen, sempat mengirimkan utusan yang bersikap aneh.
- Tadi malam, seekor anjing pelacak desa menangis tanpa henti di perbatasan hutan kecil di belakang pura, area yang dikenal angker.
Wayan menemui Kelihan Adat lagi di Balai Desa.
“Hasilnya nihil, Pak. Tidak ada jejak pencuri manusia. Tidak ada sidik jari aneh, tidak ada pintu yang rusak. Ini seolah… Topeng itu berjalan pergi,” kata Wayan.
“Aku sudah bilang, Mangku. Ini leak,” desah Pak Raka. “Kita harus memanggil balian (dukun) sekarang, sebelum tengah hari. Jika tidak, upacara gagal.”
Wayan menatap Kelihan Adat, lalu ke lantai batu. Ia melihat sesajen (persembahan) yang baru diletakkan oleh seorang ibu desa. Daun janur yang membungkus canang itu tampak terlalu kusut.
“Tunggu, Pak Kelihan. Jika ini leak, ia akan mencoba mengganggu yang sakral. Tapi mengapa tidak ada tanda-tanda kekuatan jahat? Udara di sekitar pelinggih juga terasa damai, bukan mencekam.”
Wayan teringat ajaran dari gurunya: benda sakral yang hilang tanpa paksaan seringkali bukan dicuri, melainkan dipindahkan oleh kehendak niskala itu sendiri, sebagai ujian.
“Kemarin malam, saat Bapak memeriksa, apakah Bapak ingat sesuatu yang berbeda? Suara, aroma?”
Pak Raka berpikir keras. “Hanya satu. Aku mencium aroma bunga jepun (kamboja) yang sangat kuat, padahal pohonnya jauh. Dan, aku melihat ada sepasang sandal jepit baru di tangga pura. Milik siapa, aku tidak tahu.”
Sandal jepit baru? Di area suci? Wayan menajamkan pandangannya. Sandal jepit, yang di Bali sering dipakai untuk sembahyang, bisa berarti perjalanan… atau persembahan.
“Pak Raka, tolong jangan panik. Topeng itu tidak dicuri untuk dijual atau dihancurkan. Ia sedang bersembunyi,” kata Wayan. “Aku yakin ia berada di tempat yang paling kita lupakan, di tempat yang dianggap paling suci, tetapi terlantar.”
***
Wayan bergegas ke belakang Pura Dalem, melewati hutan kecil tempat anjing menangis semalam. Ia berhenti di depan sebuah pura kecil tak bernama yang hampir tertutup semak belukar. Pura ini jarang digunakan, hanya dikunjungi saat upacara pembersihan desa yang sangat jarang.
“Tempat ini jarang disentuh, paling murni dari campur tangan manusia,” gumamnya.
Ia masuk. Di tengah pelinggih kecil yang tertutup lumut, diapit oleh dua sesajen kecil yang tampak baru, Topeng Sidakarya itu bersandar dengan anggun. Wayan terpaku.
Topeng itu tidak kotor, tidak rusak. Tepat di depannya, tergeletak sepasang sandal jepit merah baru, sama seperti yang diceritakan Pak Raka.
Wayan tersenyum. Sandal itu adalah simbol. Sandal merah adalah kode bahwa seseorang telah melakukan perjalanan sunyi ke tempat sakral ini. Topeng itu tidak dicuri, melainkan diantar ke tempat yang lebih sepi, untuk menguji Wayan—pemangku muda—apakah ia akan terpaku pada ketakutan leak atau mencari kedamaian spiritual sejati.
Ia mengangkat topeng itu dengan hati-hati.
“Terima kasih, Hyang Widhi,” bisiknya, suaranya dipenuhi rasa syukur. “Engkau menguji keimananku, bukan menghukum desa ini.”
Wayan kembali ke desa saat jarum jam hampir menunjuk pukul sebelas. Upacara bisa dimulai tepat waktu. Topeng Dewi tersenyum di pelukannya, senyum yang kini Wayan pahami: bukan senyum penutup, melainkan senyum awal dari sebuah pelajaran. Keseimbangan (Tri Hita Karana) bukan hanya tentang upacara besar, tapi tentang menjaga setiap sudut kesucian, bahkan yang terlupakan. (*)







