- Karena penyakit kulit menahun, Nyoman Kelor pasrah entah kemana lagi ia harus berobat.
- Suatu ketika ia dikasitahu teman untuk memohon kepada alam gaib penunggu pohon beringin di pinggir pantai.
ZAMAN dahulu, sebelum adanya Puskesmas di kecamatan, beberapa masyarakat di desa masih enggan berobat ke rumah sakit kabupaten. Bagi sebagian dari mereka menganggap jaraknya cukup jauh dan biayanya tidak terjangkau.
Pilihannya jatuh pada dukun atau penyembuh alternatif. Dengan keyakinan yang kuat, faktor nasib dan karma, beberapa pasien mendapat kesembuhan karenanya. Namun tidak sedikit juga yang harus pulang dengan tangan hampa. Artinya, penyakit mereka tidak kunjung sembuh.
Salah seorang pasien yang bernasib seperti ini, katakanlah namanya Nyoman Kelor. Sudah lama ia menderita penyakit kulit, yaitu kusta. Entah sudah berapa dukun ia datangi untuk mencari kesembuhan. Setelah itu, ia pun memasrahkan diri.
Suatu ketika ia diberitahu oleh seorang sahabat jika ada beberapa orang memohon obat kepada alam gaib penghuni pohon beringin yang angker di pinggir pantai. Tantangannya, permohonan itu harus dilakukan seorang diri pada malam hari atau tengah malam.
“Wah, cara ini harus dicoba. Siapa tahu saya berjodoh di sana,” katanya dalam hati.
Keesokan harinya ia menyampaikan keinginannya itu kepada isterinya. Seperti diharapkan, sang isteri pun menyiapkan satu canang ceper, dupa dan korek api sebagai sarana ritualnya.
Kira-kira menjelang tengah malam, Nyoman Kelor berangkat sendirian dengan membawa lampur senter dan sarana ritual yang sudah disiapkan tersebut.
Ketika tiba di lokasi, suasananya gelap sekali, gemuruh ombak keras sekali kerena pohon beringin yang dimaksud hanya berjarak kira-kira 50 meter dari bibir pantai. Kebetulan lokasi tersebut juga berdekatan dengan muara sungai. Pada malam hari, tempat itu mendadak sepi. Sesekali hanya terdengar suara-suara burung malam yang membuat merinding. Sementara pada siang harinya suasananya sangat bertolak belakang. Banyak pengunjung yang memancing dan menjala ikan.
Mari kembali ke cerita kita. Setelah melakukan beberapa persiapan, Nyoman pun memulai ritualnya. Dalam kegelapan, ia mencoba berkonsentrasi untuk memohon kesembuhan dengan khusuk dan berusaha memasrahkan diri. Kendati berusaha keras, ia masih bisa mendengar deburan ombak. Kakinya mulai terasa kesemutan. Dia membiarkan dan berusaha menahan sebisanya.
“Blugg… ,” tiba-tiba ia mendengar suara benda berat yang jatuh di hadapannya. Betapa kagetnya dia, ketika membuka mata dan memerhatikan dalam keremangan benda jatuh itu adalah talenan kayu besar dengan diameter sekira dua kali ukuran pelukannya. Ia mencoba pasrah dan melanjutkan doanya. Tak bisa dipungkiri, pikirannya menerawang kemana-mana sembari bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi berikutnya.
“Kletakk…,” parang besar jatuh di sebelah talenan. Tubuhnya bergetar dan keringat dingin membasahi tubuhnya.
“Jangan-jangan ini pertanda aku akan dijagal di sini. Berarti tamat sudah riwayatku. Wah..hh, aku mendingan kabur saja daripada sesuatu yang lebih buruk terjadi berikutnya,” demikian pikirnya. Karena rasa takut sudah menjalar ke seluruh tubuhnya, ia pun beranjak dan bergegas meninggalkan tempat itu sambil setengah berlari.
Akhirnya, Nyoman Kelor pun pulang dengan tangan hampa. Sama, semua usahanya sudah gagal. Ia tidak tahu lagi harus ke mana mencari kesembuhan.
Kata orang, itu adalah godaan saja. Kalau sudah pasrah, semestinya apapun akan dihadapi karena antara hidup dan mati sudah dianggap sama. Jadi tidak ada lagi keraguan dan hal yang ditakuti. Namun Nyoman Kaler rupanya belum pasrah 100 persen, sehingga masih ada ketakutan yang tersisa. (*)