MENTARI pagi di Desa Amayaderu menyambut rombongan wisatawan dengan kehangatan lembut, menembus kabut tipis yang masih enggan beranjak dari punggung-punggung bukit. Suara gamelan sayup-sayup mulai terdengar, membangunkan desa yang akan merayakan Festival Lembah Bunga Teratai. Untuk pertama kalinya, festival tahunan ini dibuka lebih lebar, tidak hanya untuk dinikmati, tapi juga untuk diikuti.
“Wah, indah sekali!” seru Anya, matanya berbinar melihat anak-anak desa berbaris rapi dengan pakaian adat warna-warni, membawa obor kecil berisi bunga teratai. Ia melirik sahabatnya, Bima, yang sibuk memotret setiap sudut.
“Amayaderu memang punya aura magis, ya,” sahut Bima, menjauhkan kamera dari wajahnya. “Aku dengar kita bisa ikut berpartisipasi, tapi tidak yakin bagian apa.”
Seorang pria paruh baya dengan senyum ramah mendekat. Rambutnya diikat rapi, mengenakan batik berwarna indigo. “Selamat datang, Nak. Saya Pak Karta, koordinator acara. Kalian pasti wisatawan yang tertarik dengan festival kami?”
“Betul sekali, Pak!” jawab Anya antusias. “Kami ingin tahu lebih banyak tentang budaya di sini.”
Pak Karta tertawa kecil. “Bagus! Tahun ini kami punya inovasi. Kami ingin wisatawan tidak hanya menonton, tapi merasakan. Apakah kalian tertarik menjadi bagian dari ‘Nyanyian Lembah’? Kami butuh beberapa ‘Penjaga Harmoni’ untuk mengarak bunga teratai, pembawa payung dan ‘Penyebar Wangi’ untuk menaburkan serbuk sari di akhir prosesi.”
Anya dan Bima saling pandang, raut terkejut sekaligus senang tergambar jelas. “Serius, Pak? Kami boleh ikut?” tanya Bima, takjub.
“Tentu saja! Itu ide kami,” Pak Karta mengangguk. “Tujuannya agar kalian lebih mengenal. Anya, sepertinya cocok jadi Penyebar Wangi. Bima, dengan posturmu, Penjaga Harmoni akan pas.”
Anya memilih menjadi Penyebar Wangi, tugasnya menaburkan serbuk sari teratai di sepanjang rute arak-arakan. “Wah, ini kesempatan langka!” bisiknya pada Bima saat mereka dipisah untuk persiapan.
Bima, yang mendapat jubah sederhana dan sebuah tongkat kayu berukir, merasa sedikit canggung. “Aku cuma berharap tidak merusak formasi mereka,” gumamnya pada seorang pemuda desa di sampingnya, bernama Rio.
Rio tersenyum menenangkan. “Tidak apa-apa, Kak. Kami akan membimbing. Intinya adalah kebersamaan dan merayakan.”
Festival dimulai. Dentingan gamelan semakin kuat, mengiringi para penari pembuka yang gemulai. Kemudian, arak-arakan bunga teratai dimulai. Bima berjalan di barisan kedua, merasa detak jantungnya berpacu seirama tabuhan kendang. Ia berusaha menyelaraskan langkahnya dengan ritme perlahan barisan di depannya. Tongkat di tangannya terasa berat sekaligus agung. Sesekali ia melirik Rio yang memberinya panduan tanpa kata.
Di sisi lain, Anya, dengan kantung kecil berisi serbuk sari, berjalan di bagian akhir prosesi. Saat obor bunga teratai terakhir melintas, ia mulai menaburkan serbuk sari, menyebarkan aroma khas bunga teratai yang lembut. Ia melihat senyum lebar dari penduduk lokal yang berjejer, beberapa melambaikan tangan kepadanya. Perasaan hangat dan haru menjalar. Ia bukan lagi sekadar penonton, ia adalah bagian dari mereka.
Arak-arakan berakhir di sebuah panggung terbuka di tengah lembah, tempat sebuah kolam teratai raksasa membentang. Setelah semua obor bunga teratai diletakkan, Bima dan Penjaga Harmoni lainnya berdiri di pinggir panggung. Anya, bersama Penyebar Wangi lain, menaburkan sisa serbuk sari ke kolam, menciptakan kilauan keemasan di atas air.
Kemudian, semua peserta festival—termasuk Bima dan Anya—diajak duduk melingkar. Kepala Desa, seorang wanita bijaksana bernama Ibu Wati, naik ke panggung.
“Terima kasih atas partisipasi kalian, para wisatawan,” ucap Ibu Wati, suaranya lembut namun berwibawa. “Kami berharap pengalaman ini membuka hati kalian pada kekayaan budaya kami. Ini adalah tradisi kami merayakan kehidupan, keindahan, dan kebersamaan. Kini, kalian adalah bagian dari Nyanyian Lembah kami.”
Bima merasakan gejolak emosi. “Ini… ini luar biasa,” katanya pada Anya setelah upacara selesai, matanya masih berkaca-kaca. “Aku tidak hanya melihat, tapi benar-benar merasakan tradisi mereka. Ada kebanggaan yang kurasakan, seolah aku sudah lama di sini.”
Anya mengangguk setuju, pipinya masih merona. “Betul sekali. Aroma serbuk sari, tatapan ramah penduduk, musiknya… aku merasa sangat terhubung. Ini bukan hanya liburan biasa, Bim. Ini pelajaran hidup.”
Mereka berdua bergabung dengan kerumunan, menikmati hidangan lokal yang disajikan, bercengkrama dengan penduduk desa dan wisatawan lain. Mereka menemukan bahwa partisipasi aktif ini memang jauh melampaui sekadar mengamati. Mereka telah menari dalam irama yang sama, berbagi napas yang sama, dan kini membawa pulang bukan hanya foto dan kenangan, tetapi juga sepotong jiwa Suralaya dalam diri mereka. Festival Lembah Bunga Teratai telah mengajarkan mereka bahwa budaya bukan hanya tentang pertunjukan, melainkan tentang pengalaman dan kebersamaan. (*)







