- KERAJAAN Vanaloka sudah termasyur karena kemakmurannya. Akan tetapi, dalam tiga tahun terakhir ini penerimaan kerajaan dari upeti menurun padahal keadaan baik-baik saja
- Berkat kesabaran dan kebijaksanaan sang Prabu Vira Kunjara, sedikit demi sedikit teratasi walaupun tak tuntas
Diceritakan di pinggiran hutan lebat di perbukitan dengan pemandangan laut ada sebuah kerajaan kecil yang asri yang bernama Vanaloka. Di dekatnya mengalir sebuah sungai kecil yang berair jernih dan berudara sejuk. Uniknya lagi, balairung istana menghadap ke sebuah air terjun yang indah. Siapa pun yang menyaksikan keelokan ini pasti akan kagum dan enggan beranjak.
Pada suatu kesempatan tengah malam, sang Raja Vanaloka, Vira Kunjara, mengadakan pertemuan penting rahasia bertiga dengan penasehat kerajaan dan patih muda. Adapun pokok pembicaraan mereka adalah ikhwal keuangan yang terdampak karena menurunnya upeti tahunan. Capaiannya cenderung terus menurun, padahal kondisi kerajaan aman-aman saja, tidak ada wabah, tidak ada kekacauan ataupun gagal panen.
“Saya minta paman penasehat, Purohita, dan patih muda, Rabhima, untuk mencari solusi dari permasalahan kita ini,” demikian titah sang raja.
“Baiklah, perintah Baginda akan segera kami laksanakan,” jawab Purohita, sang penasehat.
“Lalu Paman Rabhima, ada pendapat terkait masalah ini?”
“Sejauh ini belum Yang Mulia. Tapi, hamba harus menyelidikinya dulu. Berikan hamba waktu untuk mengumpulkan informasinya.”
“Tentu paman, silakan. Nanti, kalau sudah siap, sampaikan kepadaku.”
“Baik Yang Mulia.”
********
Hampir dua pekan berlalu, pengumpulan informasi di lapangan dari para sumber rahasia kerajaan sudah selesai dilakukan oleh bagian telik sandi. Setelah dilakukan analisis mendalam, pertemuan lanjutan bertiga pun dilakukan. Mengapa patih senior, Rakuni, tidak diikutsertakan? Karena ini masalah yang sensitif.
“Bagaimana Paman, informasi apa yang paman berhasil dapatkan?”
“Ampun Yang Mulia, mungkin info ini agak sedikit tidak mengenakkan?” kata penasehat kerajaan.
“Lho, mengapa demikian Paman?” tanya baginda.
“Begini, dari keterangan yang kami himpun, ada dugaan keterlibatan orang dalam yang menyelewengkan sejumlah upeti yang disetorkan oleh rakyat. Dan ini dilakukan secara periodik dan sitematis. Misalnya, dari 100 karung emas setoran yang seharusnya diterima, mungkin hanya 50 karung yang sampai ke kas kerajaan. Menurut informan kita, masing-masing adipati sudah membukukan upeti yang sesuai dengan daftar nama wajib upeti.”
“Baiklah. Dari info paman itu, aku bisa memahami. Pengambilan upeti itu biasanya hanya dilakukan oleh lima orang, termasuk patih senior. Itu artinya, yang paling berkuasa di antara mereka adalah patih senior, Rakuni. Tentu saja bawahannya tak berani ‘bermain.’”
“Idealnya Yang Mulia, tak mungkin capaian upeti kita menurun sementara kondisi kerajaan kita baik-baik saja.”
“Betul. Aku paham maksudmu. Begini saja, aku perintahkan Paman untuk melakukan yang terbaik dan itu harus bersifat rahasia.”
“Siap Yang Mulia, hamba laksanakan.”
*********
Sang prabu menitahkan patih senior untuk mengambil pembayaran upeti tahunan dari 18 kadipaten. Rincian daftar tagihan upetipun diberikan oleh bendahara kerajaan. Ditemani 4 orang, sang patih pun siap berangkat. Sang patih dan pengawal naik kuda, sementara 3 lainnya naik kereta.
“Paman, ini daftar jumlah upeti dari masing-masing kadipaten. Jangan sampai hilang.”
“Siap Baginda. Percayalah pada hamba. Semuanya akan aman sampai di istana.”
“Apakah perbekalan sudah lengkap untuk seharian? Ingat, jangan ada yang kurang, nanti bisa sakit di perjalanan dan jaga diri kalian baik-baik,” pesan baginda.
Sebelum tengah hari, mereka sudah berhasil memungut di 12 kadipaten. Segalanya sesuatunya berjalan lancar karena masing-masing adipati sudah menyiapkan dan menghubungi kerajaan lewat surat bahwa upetinya sudah siap diambil. Itu berarti tinggal kurang dari setengah perjalanan lagi.
Dalam perjalanan melintasi hutan, sang patih Rakuni tiba-tiba berhenti di bawah pohon besar. Ia melompat turun dari kudanya dan berdiri di samping kereta yang mengangkut karung-karung upeti itu.
“Hai kalian prajurit setiaku, sudah berapa lama kalian mengabdi di Kerajaan Vanaloka ha….?” tanya Rakuni kepada kusir kereta.
“Saya sudah 25 tahun, Paman.”
“Nah, itu waktu yang tidak sebentar. Apakah gajimu cukup untuk kebutuhan keluarga?”
“Cukup … sih cukup paman. Tapi, kalau dihitung-hitung ya kurang juga.”
“Begini, itu di belakangmu ada limpahan rezeki untuk kita. Maksudnya, kalau dibawa ke istana, kita akan dikasih segitu-segitu saja. Mungpung ada kesempatan, ayo ambil beberapa untuk kita bagi bersama nanti. Cepat ambil lalu lempar ke semak-semak itu. Nanti kita ambil?”
“Tidak berani paman.”
“Aaah……., jangan takut ‘kan ada aku, sang patih senior. Siapa yang berani melawan aku?” kata patih itu sambil menepuk dada.
Baru akan mengambil beberapa karung upeti di atas kereta, tiba-tiba datanglah kawanan begal bertopeng berjumlah tiga orang dan merangsak mendekati patih yang masih berada dekat kereta upeti itu.
Perkelahian pun tak terhindarkan. Patih mengahadapi satu penyerang, sementara empat lainnya menghadapi sisanya. Namanya juga begal, mungkin saja serangan itu sudah direncanakan dengan matang. Seorang begal akhirnya mendapat kesempatan mengambil 20 karung upeti dan ditaruhnya di atas pelana kuda mereka, lalu kabur. Sementara itu dua lainnya masih berkelahi. Namun, begitu patih dan prajuritnya kelihatan lengah, dua orang bertopeng itu kabur.
“Heii…. Jangan kabur, urusan kita belum selesai,” seru sang patih.
“Terima kasih……lain kali kita selesaikan,” sahut seorang dari dua begal tersebut sambil terus memacu kudanya dan segera menyelinap di baliknya rerimbunan pohon itu.
“Sia**n…..kita kalah cepat. Sebelum bertindak, kita sudah keduluan!” gumam sang patih.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang paman?” tanya sang kusir kereta.
“Kita harus tetap mendapatkan bagian kita seperti rencana semula, bagaimana pun caranya.”
“Apa rencana kita selanjutnya?” celetuk seorang pengawal.
“Sepertinya kita harus tetap mengambil bagian kita dulu. Sambil berjalan kita lihat situasinya dimana cocok untuk menyembunyikan bagian kita.”
“Ya… aku serahkan kepada paman bagaimana baiknya lah,’” sahut sang kusir kereta.
**********
Berikutnya ada kesempatan lagi ketika melewati hutan lebat. Patih menghentikan perjalanan.
“Ada apa paman?” tanya sang kusir.
“Sepertinya ini tempat yang kita cari. Ayo cepat, kalian semua bantu menurunkan 15 karung dan taruh di semak-semak itu. Jangan sampai gagal lagi!” perintah sang patih.
“Baik paman. Kami segera laksanakan,” sahut prajuritnya serentak.
“Cepat ya…. Jangan sempai gagal lagi,” tegas sang patih.
Mereka pun semua bergotong royong mengambil 15 karung upeti dan menyembunyikannya di semak-semak yang agak jauh dari jalan di dalam hutan tersebut. Kusir naik ke atas kereta mengambil karung-karung itu. Yang lainnya di bawah dan mengangkutnya ke semak-semak.
“Begini ya….. paman menyuruh kalian melakukan ini agar kalian mendapatkan lebih. Nanti di istana pun kalian akan dapat upah bulanan. Jadi biar ada sisa untuk keluarga kalian. Tapi ingat, jangan bilang siapa-siapa,” pinta sang patih.
********
Setelah rehat sejenak, mereka melanjutkan perjalanan dan tinggal mengambil di tiga kadipaten lagi. Harapannya, sebelum hari mulai gelap mereka sudah tiba di di depan gerbang istana.
“Mari kita lanjutkan perjalanan dan tugas kita biar cepat tuntas,” ajak sang patih.
“Mari Paman,” jawab kusir kereta.
Karena segala sesuatunya sudah disiapkan, jadi mereka tinggal mengambil karung-karung itu saja dan tidak ada masalah. Karena itu, apa yang diharapkan, yakni tiba sebelum hari gelap pun bisa dicapai. Kereta pengangkut upeti itu dimasukkan ke gudang setelah diperiksa di depan oleh penjaga untuk laporan.
********
Keesokan harinya patih senior Rakuni melaporkan kepada sang raja perjalanan mengambil upeti ke 18 kadipaten beserta jumlah total capaiannya.
“Ampun Baginda, hamba mau melaporkan perjalanan hamba kemarin bersama rombongan untuk mengambil upetinya.”
“Silakan Paman.”
“Begini Baginda, seperti direncakan, perjalanan kemarin bisa berjalan sesuai rencana yaitu tuntas dalam satu hari. Mohon maaf, rombongan kami dijegal oleh kawanan begal bertopeng berkuda berjumlah tiga orang. Kami sudah berupaya mempertahankan dan membela diri, namun 15 karung berhasil dibawa kabur. Jumlah totalnya ada 85 karung. Dikurangi 15 karung yang diambil kawanan begal, jadi yang berhasil dibawa ke istana adalah 85-15 atau 70 karung.”
“Baiklah, Paman Rakuni. Untuk sementara, aku terima laporan Paman. Nanti, bila diperlukan keterangan tambahan, paman akan kupanggil lagi.”
“Siap Baginda.”
********
Purohita dan Rabhima menghadap sang raja karena dipanggil untuk membahas laporan Rakuni terkait pengambilan upeti dari seluruh kadipaten.
“Pertama-tama, hamba mohon maaf Baginda,” buka Rabhima.
“Kenapa harus minta maaf segala, tolong jelaskan Paman!” pinta sang raja.
“Begini Baginda. Itu semua adalah sekenario hamba untuk menakar kinerja agar kita mengetahui karakter prajurit kita, termasuk paman patih Rakuni. Adapun kawanan begal itu adalah orang-orang kita yang Mulia,” kata Rabhima.
“Apa maksudnya Paman?”
“Hamba ingin mengurangi jumlah upeti yang dibawa. Kalau jumlahnya sedikit, nanti kalau ada keinginan untuk menggelapkan biar mengambilnya lebih sedikit jika dibandingkan jumlahnya utuh. Jadi dia juga akan mengira-ngira agar tak kentara.”
“Lalu Paman?”
“Nah, yang berikutnya mereka mengambil 15 karung dan ditaruh di balik semak-semak. Itupun semuanya aman di dalam kendali kita.”
“Kok bisa paman?”
“Ya Baginda karena saya sudah menyusupkan satu orang kita di dalam rombongan prajurit itu. Jadi totalnya ada 100 karung upeti yang kita terima sesuai dengan laporan masing-masing adipati kepada kita.”
“Di mmana sekarang karung-karung itu Paman?”
“Semuanya aman di gudang istana, Baginda.”
“Paman Rabhima, apakah ada kaitannya dengan penurunan upeti yang diterima kerajaan selama tiga tahun terakhir ini?” sela Purohita, penasehat kerajaan.
“Saya kira ada Paman. Saya sengaja selalu menyisipkan orang kita, seorang telik sandi, dalam kelompok pengambil upeti itu. Jadi kita bisa mendapatkan keterangan dari dua sisi, dari patih dan prajurit informan kita.”
“Nah, bagaimana dengan upeti yang ditilep itu, kemana itu?” lanjut Purohita.
“Itu masih ada Paman dan kami menyimpannya di tempat rahasia. Maksud saya, itu akan menjadi barang bukti komprehensif dari penyelewengan upeti selama ini.”
“Oh….begitu. Bagus kerja paman. Ini patut diapresiasi,” lanjut Purohita.
“Kalau demikian, berarti kita kecolongan selama ini. Itu kan bisa dipidana hukuman mati Paman Rabhima?” tanya sang raja.
“Tidak Baginda, ayahanda sudah lama merevisinya dengan hukuman dengan kisaran 30-40 tahun karena alasan kemanusiaan. Jadi mereka bisa menghabiskan sisa hidupnya di dalam penjara. Kalaupun mendapat pengurangan hukuman, umur mereka tentu tak akan cukup untuk menebus,” jelas Purohita.
“Sekarang kita sudah menemukan akar permasalahan dari kemelut penerimaan upeti kerajaan. Paman Purohita coba susun rencana untuk memberi kenaikan upah bagi seluruh pegawai kerajaan dan penegakan hukum yang adil.”
“Terima kasih Paman Purohita dan Paman Rabhima sudah memberikan yang terbaik kepada kerajaan. Tolong siapkan hasil audit dari laporan Paman Rakuni serta bukti dan saksi-saksi yang melibatkan dirinya dalam penggelapan upeti selama ini untuk keperluan pemeriksaan,” pinta sang prabu.
“Baik Baginda,” jawab Purohita.
“Hamba juga demikian Baginda,” sambung Rabhima.
Setelah selesai membuat audit laporan yang ditugaskan tersebut Purohita dan Rabhima pun melengkapi perkara penggelapan upeti kerajaan dengan mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi.
Dalam sidang kerajaan, Patih Rakuni terbukti bersalah menggelapkan upeti kerajaan selama tiga tahun dan dijatuhi hukuman 35 tahun penjara dan diasingkan di pulau terpencil. Di sana Rakuni hidup bersama narapidana lainnya sambil berkebun serta belajar banyak untuk penyadaran diri.
Kerajaan Vanaloka di bawah pemerintahan Vira Kunjara hidup makmur dan menegakkan hukum secara adil. Kerajaannya yang indah bagaikan pelangi yang diwarnai riak-riak kehidupan, ada kebahagiaan ada penderitaan, ada kejujuran ada kejahatan. (*)