SARAH tidak percaya hantu. Sebagai arsitek dari Jakarta yang menjunjung tinggi logika dan struktur beton, baginya segala sesuatu memiliki penjelasan teknis. Ketika ia menyewa “Villa Sunyi“—sebuah hunian privat di pinggiran Sungai Otan yang berasitektur Bali dan bertengger tepat di bibir jurang Sungai Otan—ia mencari ketenangan untuk menyelesaikan tenggat waktu desainnya, bukan cerita mistis.
Malam pertama berjalan mulus. Namun, memasuki malam kedua, logika Sarah mulai diuji.
Pukul sebelas malam, saat ia sedang sibuk dengan laptopnya di ruang tengah yang terbuka, suara air mengucur terdengar deras dari kamar mandi. Sarah tersentak. Ia bergegas memeriksa. Keran wastafel menyala penuh.
“Dasar pipa tua,” gumamnya kesal sambil memutar keran hingga tertutup rapat. “Tekanan air pasti tidak stabil.”
Ia kembali bekerja. Setengah jam kemudian, konsentrasinya buyar lagi. Kali ini bukan air, melainkan suara. Sayup-sayup, terbawa angin lembah yang dingin, terdengar denting gamelan. Iramanya lambat, repetitif, dan anehnya terasa sangat dekat. Bukan dari pura di kejauhan, melainkan seolah berasal dari pojok kebun villa yang gelap.
Sarah mencoba mengabaikannya, mengira itu latihan malam warga desa. Namun, ketika ujung matanya menangkap vas bunga di meja makan bergeser pelan—hanya beberapa sentimeter, tapi cukup menimbulkan bunyi gesekan keramik ke kayu—nyalinya menciut.
Dengan napas memburu, ia mengambil ponsel dan menelpon penjaga villa.
“Pak Wayan, tolong ke sini. Sekarang. Ada orang iseng masuk ke villa.”
***
Pak Wayan datang sepuluh menit kemudian dengan senter dan wajah tenang yang, entah kenapa, justru membuat Sarah makin frustrasi. Pria paruh baya itu mengenakan kain sarung kotak-kotak dan udeng yang sedikit miring.
“Saya sudah cek keliling, Bu Sarah. Pagar terkunci. Tidak ada orang,” kata Pak Wayan santai setelah berkeliling.
“Saya dengar sendiri, Pak! Ada suara gamelan di kebun belakang. Keran air nyala sendiri. Lalu vas bunga itu…” Sarah menunjuk meja makan dengan jari gemetar. “Itu bergeser. Kalau bukan pencuri, pasti pondasi villa ini miring sampai barang bisa gerak sendiri. Bapak harus panggil teknisi besok.”
Pak Wayan tersenyum tipis, sorot matanya teduh namun menyiratkan sesuatu yang tidak dipahami Sarah.
“Bukan teknisi yang Ibu butuhkan,” jawab Pak Wayan pelan. Ia menunjuk ke arah pohon beringin besar yang akar gantungnya menjuntai hingga ke halaman belakang villa. “Ibu lihat pohon itu?”
“Ya, kenapa? Itu cuma pohon.”
“Itu pohon tua, Bu. ‘Penjaga’ jurang ini. Di Bali, kita hidup berdampingan. Ada Sekala—yang terlihat seperti Ibu dan saya—dan Niskala—yang tidak terlihat.” Pak Wayan menatap Sarah lurus. “Ibu datang ke sini, masuk, langsung buka laptop, mungkin bicara agak keras, dan lupa ‘kulonuwun‘ (permisi). ‘Tuan rumah’ yang di sana mungkin merasa Ibu kurang sopan.”
Sarah mendengus, melipat tangannya di dada. “Pak, tolonglah. Kita di tahun 2025. Jangan bawa-bawa takhayul. Saya bayar mahal villa ini, saya mau fasilitasnya beres.”
“Ini bukan takhayul, Bu. Ini tata krama,” suara Pak Wayan sedikit menekan, namun tetap halus. “Ibu bertamu ke rumah orang, pasti salam dulu, kan? Alam ini juga rumah bagi mereka yang tak terlihat. Solusinya bukan panggil tukang ledeng, tapi menyapa mereka.”
Sarah terdiam. Ada kewibawaan dalam suara Pak Wayan yang membuat egonya goyah. Angin malam berhembus lagi, kali ini membawa wangi bunga kamboja yang menusuk hidung, padahal tidak ada pohon kamboja di dekat situ. Bulu kuduk Sarah meremang. Logikanya menyerah pada insting purba: rasa takut.
“Terus saya harus apa? Panggil pengusir hantu?” tanya Sarah, suaranya melunak.
“Bukan diusir, Bu. Tapi diajak berdamai,” koreksi Pak Wayan. Ia mengeluarkan sebuah janur dan beberapa bunga dari tas kain yang dibawanya. “Kita buatkan Canang Sari. Ibu yang harus menghaturkan.”
“Saya? Saya kan tidak mengerti cara doanya.”
“Tidak perlu mantra rumit. Cukup niat baik. Bilang permisi, maaf kalau mengganggu, dan mari hidup berdampingan.”
Di bawah bimbingan Pak Wayan, Sarah duduk bersila di lantai teras yang dingin. Tangannya yang biasa memegang mouse komputer kini canggung menyusun bunga pacar air, kembang kertas, dan irisan pandan ke dalam wadah janur kecil.
Pak Wayan menyalakan dupa, lalu menyerahkannya pada Sarah. “Taruh di dekat pohon beringin itu. Rasakan saja, Bu. Jangan dilawan dengan pikiran.”
Dengan ragu, Sarah berjalan mendekati pohon besar itu. Gelap dan menakutkan. Namun, ia memejamkan mata, menghela napas panjang, dan meletakkan canang itu di sela-sela akar. Asap dupa mengepul.
“Maaf kalau saya tidak sopan,” bisik Sarah dalam hati, merasa konyol sekaligus khidmat. “Saya cuma numpang kerja. Tolong jangan ganggu saya, saya tidak akan ganggu kalian.”
Sarah mengibaskan tangan di atas dupa seperti yang diajarkan Pak Wayan, lalu mundur perlahan.
Saat ia berbalik kembali ke teras, sesuatu yang aneh terjadi. Udara yang tadi terasa berat dan menekan, tiba-tiba terasa ringan. Suara jangkrik yang tadi senyap kini terdengar lagi, wajar dan alami. Angin tak lagi terasa dingin menusuk, melainkan sejuk menyegarkan.
“Gimana rasanya, Bu?” tanya Pak Wayan yang menunggu di teras.
Sarah menatap tangannya yang masih wangi dupa. “Lebih… tenang. Aneh ya, Pak.”
“Itulah harmoni, Bu. Di Bali, kita tidak memusuhi gelap, kita merangkulnya biar seimbang,” Pak Wayan merapikan sarungnya. “Nanti keran airnya tetap saya cek besok pagi, siapa tahu memang karetnya longgar.”
Sarah tertawa kecil, tawa pertamanya sejak tiba di sana. Ketegangan di bahunya lenyap. Malam itu, ia tidur nyenyak tanpa gangguan suara gamelan ataupun keran air. Ia belajar bahwa menghargai tempat baru bukan hanya soal menjaga kebersihan fisik, tapi juga menghormati “nyawa” yang mendiami setiap sudutnya. Villa itu tidak lagi terasa asing; kini mereka berbagi ruang dalam damai. (*)







